Daun
Pinus Kering 2
Karya
: Srisa
Jam
menunjukkan pukul 19.59 WIB. Satu tahun sudah, aku menunggu musim hujan tiba.
Gerimis kecil sejak ashar sore tadi, membasahi bumi kota ku. Seakan mengiringi
keyakinan yang tidak pernah pudar. Apalagi suara merdu penyanyi 80-90-an,
Richard Mark Right Here Waiting for You membuyarkan penantianku, pasti Badrut.
Pikirku.
“Hallo,
Assalamualaikum warohmatullahi wabaroatuh. Iya, dengan Yoshinta di sini”,
Jawabku.
“Waalaikum salam
warohmatullahi wabarokatuh. Yo, doakan aku, pekan depan aku akan menemui ayahmu.
Aku akan melamarmu, apa pun jawaban Ayahmu, akan ku terima!”, suara lembut itu
dari seberang sana.
“Sekarang Mas di mana?” Tanyaku.
“Aku di Bluto”, jawabnya.
“Ooo”, jawabku.
“Kok, datar sekali”, katanya agak sinis.
“Lalu, aku harus bagaimana?” Tanyaku.
“Ya, sudah.
Istirahatlah. Jangan lupa berdoa agar lancar. Inshaallah. Selamat Malam.
Assalamualaikum warohmatullahi wabaroatuh”, pamitnya.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh,
Mas...tidak jadi, ah!”, jawabku.
“Ada apa?” tanyanya penasaran.
Bel
pulang berdentang. Siang ini mendung. Lumayan adem. Ketika ku naiki scoopy-ku
dan hendak berbelok pulang ke arah jalan raya, ada yang menghentikanku.
“Yoshinta, tunggu!”
Suara yang sudah kukenal itu mengejutkanku.
“Asalaikum
warohmatullahi wabaroatuh”, sapanya.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh”,
jawabku.
“Kok datang sekarang?” Tanyaku.
“Kamu tidak senang, aku datang?” Tanyanya ganti.
Aku hanya tersenyum.
Kami pulang menuju
rumahku. Badrut benar-benar ingin menemui ayah. Hal itu sudah tidak dapt dihalangi.
Akan tetapi, ayah belum datang. Berarti dia harus menunggu.
“Yo, aku akan menunggu di masjid dekat rumahmu.
Mungkin nanti setelah magrib saja. Beliau perlu istirahat kan?” Katanya.
“Ya, sudah terserah. Aku mengerti, kok”, jawabku.
Aku sedikit nervous.
Aku membayangkan apa yang hendak Ayah katakan nanti. Ya, Allah semoga usaha
Badrut untuk memetikku di langit tidak sia-sia. Terwujudkah?
Dengan terus-terang
Ayah mengatakan ketidaksukaannya.
“Saya tidak suka
kamu. Karena kamu, putriku terhipnotis. Teman-teman kantorku yang masih muda
dan mapan tidak mampu meluluhkan hatinya. Aku tidak suka!” Kata Ayah.
“Saya mohon maaf,
Pak. Saya memang bukan apa-apa. Saya belum mapan. Namun, saya yakin
Yoshinta dan upaya yang saya lakukan
ini...”
“Itu klise. Semua laki-laki yang melamar perempuan
selalu begitu”, Kata Ayah memotong
perkataan Badrut.
Aku terhenyak. Ingin rasanya aku berlari
mengajaknya pergi. Aku bisa merasakan betapa sakitnya dia.
“Kau akan memberi apa untuk putri yang sangat
kusayangi?” Tanya Ayah pada Badrut.
“Ayah...aku semakin tidak kuat. Ayah tidak
memikirkan perasaan orang lain!” Kataku agak meninggi.
Ayah berbuat begini, ini semua demi masa depan
kamu, Yo! Bukan demi Ayah dan Ibu”, kata Ayah yang tak kalah tinggi.
“Ya, Pak saya yang salah. Saya mohon maaf telah
merusak hubungan Bapak dan Yoshinta. Namun, izinkan saya membuktikan mimpi saya
pada Yoshinta, pada Bapak, pada Ibu, dan pada orang tua saya...Jelasnya dengan
tegas tetapi tidak membentak atau tidak dengan nada marah”. Jelas Badrut.
Mengapa kau tidak
marah, Badrut. Ayah sudah berbuat begitu. Kataku dalam hati.
“Sudahlah, aku ingin tenang dulu. Sudah Isya.
Nanti, datanglah setelah pukul 21.00 WIB. Aku akan menjawabnya. Akan kuterima
atau tidak. Aku mau istirahat dulu”, kata Ayah.
Ibu
ku yang tidak banyak bicara pun bergerak menguatkan Badrut.
“Maafkan Ayah Yoshinta. Bersabarlah!” Kata Ibuku
dan tersenyum padanya.
Kemudian Badrut pamit
dan inshaallah akan datang lagi nanti. Aku mengantarnya sampai di depan pagar.
“Mas, sabar, ya? Aku tetap berdoa untuk kita”,
Kataku menenangkannya.
“Ya, sesulit apa pun pasti ada jalan keluarnya”,
jawabnya.
Badrut tampak tegar,
dengan sabar dia menunggu Ayah keluar kamar. Biasanya aku sudah mengantuk
tetapi hari ini mataku rasanya tidak ingin terpejam.
Apa yang aku lihat
ini? Ayah menyalami dan memeluk Badrut.
“Sungguh luar biasa upayamu anak muda! Aku
titipkan Yoshinta padamu”, kata Ayah.
Badrut tidak kuasa
menahan matanya yang berkaca-kaca walaupun tidak bersuara. Aku pun juga
demikian. Ibu ku pun berderai air mata.
“Terima kasih atas kepercayaan Bapak”, jawab
Badrut.
“Dua bulan ini apakah kamu sanggup untuk menikahi
putriku? Kalau tidak sanggup, ya jangan teruskan!” Kata ayah.
“Inshaallah saya sanggup”, Badrut menjawab dengan
yakin.
Karena, memang Badrut sudah menyiapkan diri
setahun yang lalu. Ketika Badrut pertama menemui Ayah. Tetapi, dia telah
bersabar dengan sikap Ayah.
“Aku tidak menyukai
pesta-pesta besar dan mewah. Lebih baik sederhana saja. Sebenarnya aku sanggup
membeli bintang untuk putriku. Namun,semua itu sia-sia. Sisihkan biaya
pernikahan untuk anak-anak yatim piatu dan fakir-miskin. Katakan pada orang
tuamu juga”, jelas Ayah.
“Terimakasih Ayah!
Aku bangga pada Ayah”, kataku sambil memeluk Ayah.
Berita
gembira ini sampai ke telinga keluarga Mas Badrut. Mereka dengan kesahajaannya, memberi ruang
lebih pada kami berdua. Ayah dan Ibunya sangat sayang padaku seperti anak
sendiri. Di tengah suka cita suasana, salah satu adiknya bertanya padaku.
“Mbak Yoshinta, mengapa masih mau sama Mas Badrut yang miskin, ya? Kami orang miskin, pekerjaannya di sawah,
tidak seperti Mbak”, kata Hotimah padaku. Seakan dia turut meyakinkan atas
pilihanku.
Aku menjawab dengan
senyum dan memeluknya. Aku ingin menangis mendengarkan pertanyaan tulusnya.
Semua juga terdiam seketika. Sampai akhirnya Badrut memecah suasana.
“Oh, ya,
tiga puluh hari lagi, Hotimah dan Badrotin mau kan jadi pagar ayu di
acara walimahan Mas? Kami tidak akan mengadakan resepsi besar-besaran, kok.
Pestanya sekalian waktu walimahan. Tidak usah narik bang-sumbang. Ayah
Yoshinta tidak menghendaki itu. Lebih
baik, uang itu disumbangkan ke yatim piatu dan fakir-miskin agar hidup kami
berkah. Betul kan, Yo?” Tanyanya meminta
persetujuanku.
Aku
mengangguk mengiyakan.
Ayah dan Ibu Mas
Badruttaman ternyata menurut apa yang diucapkan anak laki-lakinya. Mereka sangat menghormatiku sebagai gadis
keturunan Jawa, yang mungkin berbeda budaya dan pandangan dengan mereka.
Dua bulan kemudian
kami menikah. Ning, nong, ning, gung...ning, nong, ning... ning, nong, ning,
gung...ning, nong, ning...
Akhirnya, aku harus
mengikuti Badrut, suamiku, ke Bluto. Aku bahagia.
Badrut membisikkan
kalimat padaku:
“Yoshinta, perjalanan kita masih panjang. Akan
banyak cobaan dan rintangan menghadang. Tetaplah di sisiku selagi napas masih
di badan”.
Aku pun membisikkan
padanya:
“Ini adalah awal dan
akhir kisah cinta sampai maut memisahkan. Semoga Allah memberkahi kita”.
“Aamiin”, doa kami berdua.
Selesai.
16-12-2015: 19.44 selesai