Daun
Pinus Kering
Karya:
Srisa
Daun-daun pinus
kering sesekali menyapa wajahku ketika turun dari bus rombongan studi banding. Suasana kampus ini segar
sekali, hijau, dan sangat asri. Aku terus melangkah mengikuti ketua rombongan. Tiba-tiba kudengar suara langkah kaki
mengikuti dan mendekatiku.
“Yoshinta?” Suara itu siapa
Tanya atau memanggil sungguh tidak jelas. Suara
itu tampak ragu.
“Yoshinta!” Panggil cowok itu
“Ya, ada bisa saya bantu?” Tanyaku
“Maaf, aku Badrut”, jelasnya.
Di sepanjang perjalanan dia bercerita. Ternyata
kami berasal dari kota yang sama.
“Kamu saja yang cuek
padaku. Padahal kita masih satu kota. Aku dari Desa Tambelangan. Mungkin karena
kamu terkenal di fakultas kita. Jadi, tidak pernah memerhatikan sekitarnya, termasuk
aku”, jelasnya.
Asik
juga ternyata. Akhirnya, kami pun selalu bersama. Kuberanikan diri menatap
wajahnya. Kelihatan tulus dan lugu sekali.
Saat
adzan tiba, dia mengajakku untuk salat di salah satu sudut kampus tersebut. Setelah
itu kami melanjutkan aktivitas. Mulai pengenalan kegiatan kampus dan kegiatan
kemahasiswaan lainnya di kampus tersebut. Tidak dirasa, waktu semakin berlalu.
Sampai akhirnya kami dalam perjalanan pulang. Kami harus berpisah lain bus.
Tibalah
di kampus kami kembali, dia menghampiriku. Dia membawakan tas jinjingku.
“Aku ingin berteman.
Bolehkah?” Katanya.
Aku
menjawab dengan senyum. Memang dia bukan cowok terkenal. Dari penampilannya,
dia bukan cowok berada. Bersahaja namun bersemangat. Aku terharu melihat dia.
Dia bukan cowok-cowok yang selama ini mendekatiku. Semua penuh sandiwara.
Aku
langsung berjalan pulang ke rumah kos.
“Bolehkah aku
mengantarmu?” Tawarnya.
Sekali lagi tanpa
menjawab, aku hanya tersenyum.
Di
sepanjang perjalanan kami sering diam. Kali ini dia tidak banyak bicara. Dan,
sampailah di rumah kosku. Dia langsung pamit pulang ke masjid kampus, tempat
dia mengabdikan diri sebagai takmir. Menurut ceritanya, di salah satu ruang
selatan masjid, dia diberikan tempat.
Katanya, syukurlah sebagai tempat berteduh yang nyaman karena tidak ada
biaya untuk nge-kos. Orang tuanya hanya buruh tani di desanya. Dia berkuliah
ditanggung beasiswa pondok pesantren yang didapatnya. Memang dia dulu santri
pondok pesantren sekaligus siswa SMA pondok.
Entah
mengapa aku sangat terinspirasi olehnya. Tanpa disadari, dia juga membawa
pengaruh dalam kehidupanku selanjutnya. Aku pinter kata teman-teman. Aku pun
menjadi asisten salah satu dosen mata kuliah bahasa. Orang tuaku, keduanya PNS.
Aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Seharusnya, aku harus lebih daripada dia.
Seharusnya aku harus lebih sukses daripada dia.
“Yo! Aku beli makan,
kamu beli pa gak!” Suara Ani membuyarkan lamunanku.
Akan
tetapi, aku tidak berasa lapar.
“Ayo”, jawabku
pura-pura tidak ada sesuatu.
Sewaktu
lewat di depan kios fotokopi, kulihat Badrut. Aku pura-pura tidak tahu.
“Yoshinta! Mau ke
mana?” Panggilnya. Ternyata dia melihatku.
“Mau beli maem!”
Jawabku dan tersenyum padanya.
Aku
dan temanku meneruskan laku.
“Siapa dia?
Sepertinya dari logat bicaranya, dia Madura, ya?” Tanya temanku.
“Ya, satu kota
denganku”, Jawabku.
Kesibukan
berkuliah menyapaku. Tugas-tugas bertumpuk. Aku sangat capek. Ingin rasanya
keluar kamar. Ku putuskan untuk berjalan-jalan mencari buku ke Uranus naik bus kota.
Sore
itu aku berjalan sendiri menyusuri jalan menuju halte bus kota.
“Yoshinta, kamu mau
ke mana?” Suara yang sudah kukenal itu memanggil.
Aku menoleh ke
belakang.
“Mau jalan-jalan,
cari buku!” Jawabku.
“Bolehkah aku
menemani?” Tawarnya.
Aku tersenyum. Dia
berjalan di sampingku.
‘Kok, kamu selalu
hanya tersenyum?” Tanyanya.
Aku tersenyum lagi
padanya.
“Lho, tersenyum
lagi”, jelasnya dengan logat Madura yang sangat kental.
“Beginilah aku”, jelasku.
“Aku enggan berbicara
banyak. Bukannya aku malas. Tapi, beginilah aku”, Jelasku lagi.
“Aku segan pada kamu.
Kamu cantik, pintar, tidak banyak bicara. Cowok-cowok di kampus selalu
membicarakan kamu. Seharusnya aku tahu diri, ya?” Katanya.
Sekali
lagi, aku hanya tersenyum. Kami diam seribu bahasa. Tanpa komitmen apa pun,
perjalanan kami mengisi ruang kecil kehidupan seolah sedikit demi sedikit mulai
terisi. Dia menjagaku. Aku memerhatikannya. Tidak ada kata cinta. Tapi kami
sudah berbaur dengan bintang.
Dia
selalu mengatakan kamu tidak malu berteman denganku. Aku menjawabnya dengan
senyum indah untuknya.
Tak
terasa waktu berlalu, masa wisuda memanggil kami berdua. Orang tua dan
adik-adiknya hadir pada wisuda. Betapa bangga keluarganya! Ayah dan Ibuku juga
hadir dalam acara wisudaku.
“Siapa cowok itu, Yo?”
Tanya Ayah.
“Temanku, Yah”,
Jawabku.
“Kamu dekat
dengannya? Siapa orang tuanya?” Selidik Ayah.
“Ya, Yah. Orang
tuanya buruh tani di Tambelangan”, jelasku
“Oooo”, jawab Ayah.
Wajah masam Ayah setelah mendengarkan penjelasanku.
Badrut menghampiri
kami. Dia memperkenalkan diri pada Ayah dan Ibu.
“Maaf, Bapak, Ibu.
Saya, Badrut. Teman dekat Yoshinta”, jelasnya.
“O, ya”, Jawab Ayah
cuek.
“Jam berapa Bapak
sampai di kampus?” Tanya Badruttaman mencairkan suasana.
“Jam 07.00 tadi”, jawab
Ayah jengah.
Badrut
pun seakan tahu diri. Dia pamit menuju keluarganya. Ada sedikit gurat sedih dan
kecewa di wajahnya. Akan tetapi, dia berupaya menyembunyikan dari ku. Aku ingin
menghiburnya, tetapi waktu belum memungkinkan.
Lama
waktu berlalu. Lima bulan kami tidak saling bertemu. Kebetulan dia tidak
memiliki hp atau telepon yang bisa untuk dihubungi. Dan!
Nada
panggil “Kangen” bernyanyi dan seakan ingin mengobati kerinduanku padanya.
Ternyata, nomor asing. Siapa, ya?
“Hallo,
Assalamualaikum warohmatullahi wabaroatuh. Iya, dengan Yoshinta di sini”, jawabku.
“Waalaikum salam
warohmatullahi wabarokatuh. Aku, Badrut, Yo!” Jawab suara di sana.
Dalam hati aku
berteriak dan mataku berkaca-kaca, aku kangen! Aku tercengang.
“Yoshinta, kamu masih di situ?” Tanyanya.
“Eeeh, ya. Aku masih di sini. Oh, ya, kamu
sekarang di mana?” Tanyaku mengalihkan suasana.
“Aku di tetap di Surabaya. Aku memang sengaja
tidak bercerita ke kamu kalau aku mendapatkan beasiswa ikatan dinas. Jadi, aku
menunggu SK CPNS dan datang seminggu lalu. Aku di tempatkan di Bluto, Sumenep”,
jawabnya.
“Makanya, sekarang aku berani berbicara denganmu”,
tambahnya.
“Kamu sekarang di mana?” Jawabnya ganti.
“Di Sampang. Aku sukwan di SMA ku dulu”, jawabku.
“Ini nomormu, ya? Hp baru? Alhamdulillah, sudah
punya Hp. Dari mana tahu nomorku?” Tanyaku bertubi-tubi.
“Aku bingung, aku harus menjawab yang mana dulu?”
Tanyanya bingung.
“Ah, maaf, ya`? Jawabku malu. (aku memang bahagia
juga bingung).
“Yoshinta, orang tuaku ingin bertemu denganmu. Aku
sudah bercerita tentang kamu pada mereka. Demikian juga dengan sikap Ayahmu
beberapa waktu itu, katanya.
“Mereka menguatkanku”, tambahnya.
Aku hanya tersenyum
dan dia tidak akan tahu kalau aku hanya senyum. Tapi...
“Kamu hanya tersenyum, kan?” Tebaknya.
“Inshaallah”, kali ini aku menjawab.
“Alhamdulillahi robbil alamin”, katanya.
“Hari Minggu besok aku pulang ke Tambelangan, Aku
akan menjemputmu tapi apakah kamu ada waktu kan?” Katanya.
“Inshaallah”, Kataku. Tak terasa air mataku
mengalir.
“Ada apa, kok nangis?”, tanyanya heran.
“Tidak apa-apa”, jawabku.
Jalanan berbatu-batu kami lalui. Sepeda motor Yamaha
75 bututnya menemani kami.
“Maaf, Yo. Aku hanya punya ini”, jawabnya.
Sebelum aku menjawab, dia mendahului ...
“Kamu tersenyum, kan?” Katanya menebak.
Aku tergelak. Kali ini dia, berucap syukur.
“Alhamdulillah, kamu tertawa”, Katanya.
Tiba
di sebuah rumah berdinding separuh tembok separuh bambu sederhana. Keluarlah
wajah-wajah ramah menyambutku. Ternyata, dua bibi dan adik-adiknya, Hotimah dan
Badrotin.
“Mana, Emak dan Epak?”
Tanyanya pada Bibi, Bik Rif namanya.
“Ke Sabbah”,
Jawab Bik Rif. Sabbah itu berarti
sawah.
“Ini, tolong antar ke sabbah sebentar”, Kata Bik Fat.
“Yo, kamu di rumah saja dengan Bik Rif dan Bik
Fat, ya?” Katanya.
“Atau mau ikut?” Katanya melanjutkan.
“Ajak saja, tidak apa-apa. Biar tahu!” Kata Bik
Fat.
Aku mengangguk. “Ayo...”
Lima ratus meter bukan jarak yang dekat menurutku,
tetapi aku berupaya enjoy.
“Kamu capek?” Katanya.
“Tidak. Aku senang”’, jawabku.
Sampai
di sawah, aku melihat banyak orang memanen padi. Wooww...menyenangkan sekali.
Bapak dan Ibu Baruttamam yang mana, ya? Tanyaku dalam hati.
Itu Bapak, dan itu
Ibuku. Jelas Badrut sambil menunjuk orang yang dituju. Aku tersenyum pada
mereka dan ingin bersalaman tetapi mereka melarang, katanya nanti saja karena
tangan mereka kotor.
Sambil
duduk-duduk di gubuk yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka, aku menikmati
suasana sawah dan hiruk-pikuk orang memanen padi.
“Maaf, ya, kamu
menjumpai hal seperti ini!” Kata Badrut.
“Aku senang dan
menikmati suasana yang tidak pernah aku jumpai dan aku bayangkan”, jelasku.
“Ayo, kita kembali ke rumah!” Kata Badrut.
Dengan
agak malas aku beranjak dari tempat dudukku. Kami melewati kali-kali kecil di
samping sawah. Apalagi, ada gemericik air dari bambu yang dialirkan ke sawah
warga. Di perjalanan pulang itu, dia sesekali mengambil kayu kering di jalan
yang akan kami lewati. Katanya untuk kayu bakar. Aku mengikutinya. Jika
kujumpai kayu kering, aku mengambilnya.
“Mana, nanti tanganmu
kotor dan luka terkena kayu”, pintanya memaksa.
“Enggak, ah. Biar
kubawa. Kamu kan tidak merasa kotor dan terluka,kan?” Kataku.
Kemudian, dia
berjalan agak pelan sehingga ku dului sambil berlari kecil. Dari belakang
itulah dia berbicara sesuatu.
“Yo, aku ingin menikahimu. Walaupun, aku belum
tahu apa yang akan aku hadapi setelah ini. Ayahmu! Ibumu! Keluargamu!”
Ungkapnya.
Hahhh..bagai geledek
di siang bolong. Ku sembunyikan
kegembiraan dan harapanku. Aku hanya tersenyum. Aku takut kamu akan berjalan
mundur.
“Mas, (untuk pertama kalinya ku panggil dia
begitu) aku berharap, kamu tidak akan melangkah mundur”, tegasku.
Kali ini dia yang tersenyum dan mengucap terima
kasih dengan lirih.
Keadaan
keluarganya yang sederhana, penerimaan Bapak, Ibu, Bibi-bibinya, dan adik-adiknya,
membuatku merasa nyaman.
“Yah, besok hari Minggu Badrut akan menemui Ayah
dan Ibu”, jelasku pada Ayah.
“Badrut yang mana? Yang pernah menyapa Ayah
sewaktu wisuda dulu?” Tanya Ayah.
“Yah, Ayah kok begitu”, kataku memberanikan diri.
“Punya apa Dia?” Tanya Ayah sungguh pedas.
“Dia punya segalanya, Yah”, kataku tak mau kalah.
“Maksudmu, apa, Yo?” Kata Ayah marah.
“Dia sudah diterima
sebagai CPNS. Kalau Ayah tahu, perjuangan dia ketika bercita-cita menikahiku,
pasti Ayah akan bangga. Dia berupaya keras mengikuti tes beasiswa ikatan dinas.
Yang pertama, pada semester 7, dia gagal mendapatkannya. Kemudian, yang kedua,
pada semeser 8, dia ikuti sekali lagi. Dan, berhasil. SK-nya datang seminggu
yang lalu, Yah. Dia baru memberanikan diri menemui Ayah. Apakah
Ayah masih meragukan kegigihannya?” Kataku.
“Sekalipun, dia tidak
pernh mengumbar janji dan harapan pada Yoshinta. Semuanya mengalir apa adanya”,
kataku menambahkan.
“Lalu, apakah dengan begitu dia berani hidup
dengan kamu? Suksesnya masih di langit, masih jauh, Yo!” Kata Ayah sinis.
“Banyak teman Ayah yang masih muda dan mapan
menanyakan kamu”, kata Ayah menambahkan.
Kata-kata Ayah semakin membuatku sakit dan
berlinang air mata.
“Tolong, beri dia kesempatan menunjukkan pada
Ayah, Ibu, dan Yoshinta, Yah!” Pintaku pada Ayah.
“Tolong, Yah. Aku merasa nyaman dan bahagia
bersamanya”, kataku sekali lagi meyakinkan.
Mungkinkah
daun pinus kering itu masih terbawa tertiup angin. Seperti awal perkenalanku
dengannya. Aku resah menunggu saat itu datang.Saat angin tidak berhembus sangat
kencang.
Akhirnya,
saat itu datang.
“Maaf, Pak. Saya
sudah lancang berbicara pada Bapak. Mungkin Bapak tidak berkenan dengan saya”, kata
Badrut.
“Ya, saya sangat terganggu dengan kedatanganmu”,
Kata Ayah.
Ya, Allah. tolong! Ya, Allah, tolong bukakan hati
Ayahku.
“Sekal lagi, maaf, Pak. Saya ingin menikahi
Yoshinta,” jelas Badrut.
“Saya belum bisa memberi jawaban sekarang. Maaf
saya sibuk”, jawab Ayah.
“Maaf telah mengganggu dan terima kasih atas waktu
Bapak”, kata Badrut dengan sabar.
Badrut keluar dari
rumah dengan wajah masam yang disembunyikan. Dia tetap tersenyum dan
meyakinkanku. Hingga aku semakin yakin padanya.
“Kita pasti bisa melaluinya, yakinlah Yoshinta”,
katanya.
“Jangan kawatir, aku
akan selalu memikirkanmu. Jadi kumohon jangan pernah meninggalkan langkahku”,
katanya menambahkan.
Untuk pertama
kalinya, aku cium tangannya sebagai tanda bahwa aku pun ingin selalu taat
padanya. Aku menangisinya. Seharusnya, akulah yang menenangkan di saat hatinya
terguncang.
Sejak
itu, kami hanya berkomunikasi melalui sms, email, WA, ataupun telepon.
Pesannya, berdoa dan yakinlah.
Memang keyakinan yang
membuat kami bertahan. Walaupun apa yang
terjadi nanti, hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Sampang, 14
Desember 2015
14.10 – 17.30
WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar