Rabu, 16 Desember 2015

CERBUNG : Daun Pinus Kering



Daun Pinus Kering
Karya: Srisa
Daun-daun pinus kering sesekali menyapa wajahku ketika turun dari bus rombongan  studi banding. Suasana kampus ini segar sekali, hijau, dan sangat asri. Aku terus melangkah mengikuti ketua rombongan.  Tiba-tiba kudengar suara langkah kaki mengikuti dan mendekatiku.
“Yoshinta?” Suara itu siapa
Tanya atau memanggil sungguh tidak jelas. Suara itu tampak ragu.
“Yoshinta!” Panggil cowok itu
“Ya, ada bisa saya bantu?” Tanyaku
“Maaf, aku Badrut”, jelasnya.
Di  sepanjang perjalanan dia bercerita. Ternyata kami berasal dari kota yang sama.
“Kamu saja yang cuek padaku. Padahal kita masih satu kota. Aku dari Desa Tambelangan. Mungkin karena kamu terkenal di fakultas kita. Jadi, tidak pernah memerhatikan sekitarnya, termasuk aku”, jelasnya. 
Asik juga ternyata. Akhirnya, kami pun selalu bersama. Kuberanikan diri menatap wajahnya. Kelihatan tulus dan lugu sekali.
Saat adzan tiba, dia mengajakku untuk salat di salah satu sudut kampus tersebut. Setelah itu kami melanjutkan aktivitas. Mulai pengenalan kegiatan kampus dan kegiatan kemahasiswaan lainnya di kampus tersebut. Tidak dirasa, waktu semakin berlalu. Sampai akhirnya kami dalam perjalanan pulang. Kami harus berpisah lain bus.
Tibalah di kampus kami kembali, dia menghampiriku. Dia membawakan tas jinjingku.
“Aku ingin berteman. Bolehkah?” Katanya.
Aku menjawab dengan senyum. Memang dia bukan cowok terkenal. Dari penampilannya, dia bukan cowok berada. Bersahaja namun bersemangat. Aku terharu melihat dia. Dia bukan cowok-cowok yang selama ini mendekatiku. Semua penuh sandiwara. 
Aku langsung berjalan pulang ke rumah kos.
“Bolehkah aku mengantarmu?” Tawarnya.
Sekali lagi tanpa menjawab, aku hanya tersenyum.
Di sepanjang perjalanan kami sering diam. Kali ini dia tidak banyak bicara. Dan, sampailah di rumah kosku. Dia langsung pamit pulang ke masjid kampus, tempat dia mengabdikan diri sebagai takmir. Menurut ceritanya, di salah satu ruang selatan masjid, dia diberikan tempat.  Katanya, syukurlah sebagai tempat berteduh yang nyaman karena tidak ada biaya untuk nge-kos. Orang tuanya hanya buruh tani di desanya. Dia berkuliah ditanggung beasiswa pondok pesantren yang didapatnya. Memang dia dulu santri pondok pesantren sekaligus siswa SMA pondok.
Entah mengapa aku sangat terinspirasi olehnya. Tanpa disadari, dia juga membawa pengaruh dalam kehidupanku selanjutnya. Aku pinter kata teman-teman. Aku pun menjadi asisten salah satu dosen mata kuliah bahasa. Orang tuaku, keduanya PNS. Aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Seharusnya, aku harus lebih daripada dia. Seharusnya aku harus lebih sukses daripada dia.
“Yo! Aku beli makan, kamu beli pa gak!” Suara Ani membuyarkan lamunanku.
Akan tetapi, aku tidak berasa lapar.
“Ayo”, jawabku pura-pura tidak ada sesuatu.
Sewaktu lewat di depan kios fotokopi, kulihat Badrut. Aku pura-pura tidak tahu.
“Yoshinta! Mau ke mana?” Panggilnya. Ternyata dia melihatku.
“Mau beli maem!” Jawabku dan tersenyum padanya.
Aku dan temanku meneruskan laku.
“Siapa dia? Sepertinya dari logat bicaranya, dia Madura, ya?” Tanya temanku.
“Ya, satu kota denganku”, Jawabku.
Kesibukan berkuliah menyapaku. Tugas-tugas bertumpuk. Aku sangat capek. Ingin rasanya keluar kamar. Ku putuskan untuk berjalan-jalan mencari buku ke Uranus naik bus kota.
Sore itu aku berjalan sendiri menyusuri jalan menuju halte bus kota.
“Yoshinta, kamu mau ke mana?” Suara yang sudah kukenal itu memanggil.
Aku menoleh ke belakang.
“Mau jalan-jalan, cari buku!” Jawabku.
“Bolehkah aku menemani?” Tawarnya.
Aku tersenyum. Dia berjalan di sampingku.
‘Kok, kamu selalu hanya tersenyum?” Tanyanya.
Aku tersenyum lagi padanya.
“Lho, tersenyum lagi”, jelasnya dengan logat Madura yang sangat kental.
“Beginilah aku”, jelasku.
“Aku enggan berbicara banyak. Bukannya aku malas. Tapi, beginilah aku”, Jelasku lagi.
“Aku segan pada kamu. Kamu cantik, pintar, tidak banyak bicara. Cowok-cowok di kampus selalu membicarakan kamu. Seharusnya aku tahu diri, ya?” Katanya.
Sekali lagi, aku hanya tersenyum. Kami diam seribu bahasa. Tanpa komitmen apa pun, perjalanan kami mengisi ruang kecil kehidupan seolah sedikit demi sedikit mulai terisi. Dia menjagaku. Aku memerhatikannya. Tidak ada kata cinta. Tapi kami sudah berbaur dengan bintang.
Dia selalu mengatakan kamu tidak malu berteman denganku. Aku menjawabnya dengan senyum indah untuknya.
Tak terasa waktu berlalu, masa wisuda memanggil kami berdua. Orang tua dan adik-adiknya hadir pada wisuda. Betapa bangga keluarganya! Ayah dan Ibuku juga hadir dalam acara wisudaku.
“Siapa cowok itu, Yo?” Tanya Ayah.
“Temanku, Yah”, Jawabku.
“Kamu dekat dengannya? Siapa orang tuanya?” Selidik Ayah.
“Ya, Yah. Orang tuanya buruh tani di Tambelangan”, jelasku
“Oooo”, jawab Ayah. Wajah masam Ayah setelah mendengarkan penjelasanku.
Badrut menghampiri kami. Dia memperkenalkan diri pada Ayah dan Ibu.
“Maaf, Bapak, Ibu. Saya, Badrut. Teman dekat Yoshinta”, jelasnya.
“O, ya”, Jawab Ayah cuek.
“Jam berapa Bapak sampai di kampus?” Tanya Badruttaman mencairkan suasana.
“Jam 07.00 tadi”, jawab Ayah jengah.
Badrut pun seakan tahu diri. Dia pamit menuju keluarganya. Ada sedikit gurat sedih dan kecewa di wajahnya. Akan tetapi, dia berupaya menyembunyikan dari ku. Aku ingin menghiburnya, tetapi waktu belum memungkinkan.
Lama waktu berlalu. Lima bulan kami tidak saling bertemu. Kebetulan dia tidak memiliki hp atau telepon yang bisa untuk dihubungi.  Dan!
Nada panggil “Kangen” bernyanyi dan seakan ingin mengobati kerinduanku padanya. Ternyata, nomor asing. Siapa, ya?
“Hallo, Assalamualaikum warohmatullahi wabaroatuh. Iya, dengan Yoshinta di sini”, jawabku.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh. Aku, Badrut, Yo!” Jawab suara di sana.
Dalam hati aku berteriak dan mataku berkaca-kaca, aku kangen! Aku tercengang.
“Yoshinta, kamu masih di situ?” Tanyanya.
“Eeeh, ya. Aku masih di sini. Oh, ya, kamu sekarang di mana?” Tanyaku mengalihkan suasana.
“Aku di tetap di Surabaya. Aku memang sengaja tidak bercerita ke kamu kalau aku mendapatkan beasiswa ikatan dinas. Jadi, aku menunggu SK CPNS dan datang seminggu lalu. Aku di tempatkan di Bluto, Sumenep”, jawabnya.
“Makanya, sekarang aku berani berbicara denganmu”, tambahnya.
“Kamu sekarang di mana?” Jawabnya ganti.
“Di Sampang. Aku sukwan di SMA ku dulu”, jawabku.
“Ini nomormu, ya? Hp baru? Alhamdulillah, sudah punya Hp. Dari mana tahu nomorku?” Tanyaku bertubi-tubi.
“Aku bingung, aku harus menjawab yang mana dulu?” Tanyanya bingung.
“Ah, maaf, ya`? Jawabku malu. (aku memang bahagia juga bingung).
“Yoshinta, orang tuaku ingin bertemu denganmu. Aku sudah bercerita tentang kamu pada mereka. Demikian juga dengan sikap Ayahmu beberapa waktu itu, katanya.
“Mereka menguatkanku”, tambahnya.
Aku hanya tersenyum dan dia tidak akan tahu kalau aku hanya senyum. Tapi...
“Kamu hanya tersenyum, kan?” Tebaknya.
“Inshaallah”, kali ini aku menjawab.
“Alhamdulillahi robbil alamin”, katanya.
“Hari Minggu besok aku pulang ke Tambelangan, Aku akan menjemputmu tapi apakah kamu ada waktu kan?” Katanya.
“Inshaallah”, Kataku. Tak terasa air mataku mengalir.
“Ada apa, kok nangis?”, tanyanya heran.
“Tidak apa-apa”, jawabku.
Jalanan berbatu-batu kami lalui. Sepeda motor Yamaha 75 bututnya menemani kami.
“Maaf, Yo. Aku hanya punya ini”, jawabnya.
Sebelum aku menjawab, dia mendahului ...
“Kamu tersenyum, kan?” Katanya menebak.
Aku tergelak. Kali ini dia, berucap syukur.
“Alhamdulillah, kamu tertawa”, Katanya.
Tiba di sebuah rumah berdinding separuh tembok separuh bambu sederhana. Keluarlah wajah-wajah ramah menyambutku. Ternyata, dua bibi dan adik-adiknya, Hotimah dan Badrotin.
“Mana, Emak dan Epak?” Tanyanya pada Bibi, Bik Rif  namanya.
“Ke Sabbah”, Jawab Bik Rif. Sabbah itu berarti sawah.
“Ini, tolong antar ke sabbah sebentar”, Kata Bik Fat.
“Yo, kamu di rumah saja dengan Bik Rif dan Bik Fat, ya?” Katanya.
“Atau mau ikut?” Katanya melanjutkan.
“Ajak saja, tidak apa-apa. Biar tahu!” Kata Bik Fat.
Aku mengangguk. “Ayo...”
Lima ratus meter bukan jarak yang dekat menurutku, tetapi aku berupaya enjoy.
“Kamu capek?” Katanya.
“Tidak. Aku senang”’, jawabku.
Sampai di sawah, aku melihat banyak orang memanen padi. Wooww...menyenangkan sekali. Bapak dan Ibu Baruttamam yang mana, ya? Tanyaku dalam hati.
Itu Bapak, dan itu Ibuku. Jelas Badrut sambil menunjuk orang yang dituju. Aku tersenyum pada mereka dan ingin bersalaman tetapi mereka melarang, katanya nanti saja karena tangan mereka kotor.
Sambil duduk-duduk di gubuk yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka, aku menikmati suasana sawah dan hiruk-pikuk orang memanen padi.
“Maaf, ya, kamu menjumpai hal seperti ini!” Kata Badrut.
“Aku senang dan menikmati suasana yang tidak pernah aku jumpai dan aku bayangkan”, jelasku.
“Ayo, kita kembali ke rumah!” Kata Badrut.
Dengan agak malas aku beranjak dari tempat dudukku. Kami melewati kali-kali kecil di samping sawah. Apalagi, ada gemericik air dari bambu yang dialirkan ke sawah warga. Di perjalanan pulang itu, dia sesekali mengambil kayu kering di jalan yang akan kami lewati. Katanya untuk kayu bakar. Aku mengikutinya. Jika kujumpai kayu kering, aku mengambilnya.
“Mana, nanti tanganmu kotor dan luka terkena kayu”, pintanya memaksa.
“Enggak, ah. Biar kubawa. Kamu kan tidak merasa kotor dan terluka,kan?” Kataku.
Kemudian, dia berjalan agak pelan sehingga ku dului sambil berlari kecil. Dari belakang itulah dia berbicara sesuatu.
“Yo, aku ingin menikahimu. Walaupun, aku belum tahu apa yang akan aku hadapi setelah ini. Ayahmu! Ibumu! Keluargamu!” Ungkapnya.
Hahhh..bagai geledek di siang bolong.  Ku sembunyikan kegembiraan dan harapanku. Aku hanya tersenyum. Aku takut kamu akan berjalan mundur.
“Mas, (untuk pertama kalinya ku panggil dia begitu) aku berharap, kamu tidak akan melangkah mundur”, tegasku.
Kali ini dia yang tersenyum dan mengucap terima kasih dengan lirih.
Keadaan keluarganya yang sederhana, penerimaan Bapak, Ibu, Bibi-bibinya, dan adik-adiknya, membuatku merasa nyaman.
“Yah, besok hari Minggu Badrut akan menemui Ayah dan Ibu”, jelasku pada Ayah.
“Badrut yang mana? Yang pernah menyapa Ayah sewaktu wisuda dulu?” Tanya Ayah.
“Yah, Ayah kok begitu”, kataku memberanikan diri.
“Punya apa Dia?” Tanya Ayah sungguh pedas.
“Dia punya segalanya, Yah”, kataku tak mau kalah.
“Maksudmu, apa, Yo?” Kata Ayah marah.
“Dia sudah diterima sebagai CPNS. Kalau Ayah tahu, perjuangan dia ketika bercita-cita menikahiku, pasti Ayah akan bangga. Dia berupaya keras mengikuti tes beasiswa ikatan dinas. Yang pertama, pada semester 7, dia gagal mendapatkannya. Kemudian, yang kedua, pada semeser 8, dia ikuti sekali lagi. Dan, berhasil. SK-nya datang seminggu yang lalu, Yah.  Dia  baru memberanikan diri menemui Ayah. Apakah Ayah masih meragukan kegigihannya?” Kataku.
“Sekalipun, dia tidak pernh mengumbar janji dan harapan pada Yoshinta. Semuanya mengalir apa adanya”, kataku menambahkan.
“Lalu, apakah dengan begitu dia berani hidup dengan kamu? Suksesnya masih di langit, masih jauh, Yo!” Kata Ayah sinis.
“Banyak teman Ayah yang masih muda dan mapan menanyakan kamu”, kata Ayah menambahkan.
Kata-kata Ayah semakin membuatku sakit dan berlinang air mata.
“Tolong, beri dia kesempatan menunjukkan pada Ayah, Ibu, dan Yoshinta, Yah!” Pintaku pada Ayah.
“Tolong, Yah. Aku merasa nyaman dan bahagia bersamanya”, kataku sekali lagi meyakinkan.
Mungkinkah daun pinus kering itu masih terbawa tertiup angin. Seperti awal perkenalanku dengannya. Aku resah menunggu saat itu datang.Saat angin tidak berhembus sangat kencang.
Akhirnya, saat itu datang.
“Maaf, Pak. Saya sudah lancang berbicara pada Bapak. Mungkin Bapak tidak berkenan dengan saya”, kata Badrut.
“Ya, saya sangat terganggu dengan kedatanganmu”, Kata Ayah.
Ya, Allah. tolong! Ya, Allah, tolong bukakan hati Ayahku.
“Sekal lagi, maaf, Pak. Saya ingin menikahi Yoshinta,” jelas Badrut.
“Saya belum bisa memberi jawaban sekarang. Maaf saya sibuk”, jawab Ayah.
“Maaf telah mengganggu dan terima kasih atas waktu Bapak”, kata Badrut dengan sabar.
Badrut keluar dari rumah dengan wajah masam yang disembunyikan. Dia tetap tersenyum dan meyakinkanku. Hingga aku semakin yakin padanya.
“Kita pasti bisa melaluinya, yakinlah Yoshinta”, katanya.
“Jangan kawatir, aku akan selalu memikirkanmu. Jadi kumohon jangan pernah meninggalkan langkahku”, katanya menambahkan.
            Untuk pertama kalinya, aku cium tangannya sebagai tanda bahwa aku pun ingin selalu taat padanya. Aku menangisinya. Seharusnya, akulah yang menenangkan di saat hatinya terguncang.
Sejak itu, kami hanya berkomunikasi melalui sms, email, WA, ataupun telepon. Pesannya, berdoa dan yakinlah.
Memang keyakinan yang membuat  kami bertahan. Walaupun apa yang terjadi nanti, hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Sampang, 14 Desember 2015
14.10 – 17.30 WIB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...