Rabu, 16 Desember 2015

CERBUNG : Daun Pinus Kering 2



Daun Pinus Kering 2
Karya : Srisa
Jam menunjukkan pukul 19.59 WIB. Satu tahun sudah, aku menunggu musim hujan tiba. Gerimis kecil sejak ashar sore tadi, membasahi bumi kota ku. Seakan mengiringi keyakinan yang tidak pernah pudar. Apalagi suara merdu penyanyi 80-90-an, Richard Mark Right Here Waiting for You  membuyarkan penantianku, pasti Badrut. Pikirku. 
“Hallo, Assalamualaikum warohmatullahi wabaroatuh. Iya, dengan Yoshinta di sini”, Jawabku.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh. Yo, doakan aku, pekan depan aku akan menemui ayahmu. Aku akan melamarmu, apa pun jawaban Ayahmu, akan ku terima!”, suara lembut itu dari seberang sana.
“Sekarang Mas di mana?” Tanyaku.
“Aku di Bluto”, jawabnya.
“Ooo”, jawabku.
“Kok, datar sekali”, katanya agak sinis.
“Lalu, aku harus bagaimana?” Tanyaku.
“Ya, sudah. Istirahatlah. Jangan lupa berdoa agar lancar. Inshaallah. Selamat Malam. Assalamualaikum warohmatullahi wabaroatuh”, pamitnya.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh, Mas...tidak jadi, ah!”, jawabku.
“Ada apa?” tanyanya penasaran.
Bel pulang berdentang. Siang ini mendung. Lumayan adem. Ketika ku naiki scoopy-ku dan hendak berbelok pulang ke arah jalan raya, ada yang menghentikanku.
“Yoshinta, tunggu!” Suara yang sudah kukenal itu mengejutkanku.
“Asalaikum warohmatullahi wabaroatuh”, sapanya.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh”, jawabku.
“Kok datang sekarang?” Tanyaku.
“Kamu tidak senang, aku datang?” Tanyanya ganti.
Aku hanya tersenyum.
Kami pulang menuju rumahku. Badrut benar-benar ingin menemui ayah. Hal itu sudah tidak dapt dihalangi. Akan tetapi, ayah belum datang. Berarti dia harus menunggu.
“Yo, aku akan menunggu di masjid dekat rumahmu. Mungkin nanti setelah magrib saja. Beliau perlu istirahat kan?” Katanya.
“Ya, sudah terserah. Aku mengerti, kok”, jawabku.
Aku sedikit nervous. Aku membayangkan apa yang hendak Ayah katakan nanti. Ya, Allah semoga usaha Badrut untuk memetikku di langit tidak sia-sia. Terwujudkah?
Dengan terus-terang Ayah mengatakan ketidaksukaannya.
“Saya tidak suka kamu. Karena kamu, putriku terhipnotis. Teman-teman kantorku yang masih muda dan mapan tidak mampu meluluhkan hatinya. Aku tidak suka!” Kata Ayah.
“Saya mohon maaf, Pak. Saya memang bukan apa-apa. Saya belum mapan. Namun, saya yakin Yoshinta  dan upaya yang saya lakukan ini...”
“Itu klise. Semua laki-laki yang melamar perempuan selalu begitu”,  Kata Ayah memotong perkataan Badrut.
Aku terhenyak. Ingin rasanya aku berlari mengajaknya pergi. Aku bisa merasakan betapa sakitnya dia.
“Kau akan memberi apa untuk putri yang sangat kusayangi?” Tanya Ayah pada Badrut.
“Ayah...aku semakin tidak kuat. Ayah tidak memikirkan perasaan orang lain!” Kataku agak meninggi.
Ayah berbuat begini, ini semua demi masa depan kamu, Yo! Bukan demi Ayah dan Ibu”, kata Ayah yang tak kalah tinggi.
“Ya, Pak saya yang salah. Saya mohon maaf telah merusak hubungan Bapak dan Yoshinta. Namun, izinkan saya membuktikan mimpi saya pada Yoshinta, pada Bapak, pada Ibu, dan pada orang tua saya...Jelasnya dengan tegas tetapi tidak membentak atau tidak dengan nada marah”. Jelas Badrut.
Mengapa kau tidak marah, Badrut. Ayah sudah berbuat begitu. Kataku dalam hati.
“Sudahlah, aku ingin tenang dulu. Sudah Isya. Nanti, datanglah setelah pukul 21.00 WIB. Aku akan menjawabnya. Akan kuterima atau tidak. Aku mau istirahat dulu”, kata Ayah.
            Ibu ku yang tidak banyak bicara pun bergerak menguatkan Badrut.
“Maafkan Ayah Yoshinta. Bersabarlah!” Kata Ibuku dan tersenyum padanya.
Kemudian Badrut pamit dan inshaallah akan datang lagi nanti. Aku mengantarnya sampai di depan pagar.
“Mas, sabar, ya? Aku tetap berdoa untuk kita”, Kataku menenangkannya.
“Ya, sesulit apa pun pasti ada jalan keluarnya”, jawabnya.
Badrut tampak tegar, dengan sabar dia menunggu Ayah keluar kamar. Biasanya aku sudah mengantuk tetapi hari ini mataku rasanya tidak ingin terpejam.
Apa yang aku lihat ini? Ayah menyalami dan memeluk Badrut.
“Sungguh luar biasa upayamu anak muda! Aku titipkan Yoshinta padamu”, kata Ayah.
Badrut tidak kuasa menahan matanya yang berkaca-kaca walaupun tidak bersuara. Aku pun juga demikian. Ibu ku pun berderai air mata.
“Terima kasih atas kepercayaan Bapak”, jawab Badrut.
“Dua bulan ini apakah kamu sanggup untuk menikahi putriku? Kalau tidak sanggup, ya jangan teruskan!” Kata ayah.
“Inshaallah saya sanggup”, Badrut menjawab dengan yakin.
Karena, memang Badrut sudah menyiapkan diri setahun yang lalu. Ketika Badrut pertama menemui Ayah. Tetapi, dia telah bersabar dengan sikap Ayah.
“Aku tidak menyukai pesta-pesta besar dan mewah. Lebih baik sederhana saja. Sebenarnya aku sanggup membeli bintang untuk putriku. Namun,semua itu sia-sia. Sisihkan biaya pernikahan untuk anak-anak yatim piatu dan fakir-miskin. Katakan pada orang tuamu juga”, jelas Ayah.
“Terimakasih Ayah! Aku bangga pada Ayah”, kataku sambil memeluk Ayah.
            Berita gembira ini sampai ke telinga keluarga Mas Badrut.  Mereka dengan kesahajaannya, memberi ruang lebih pada kami berdua. Ayah dan Ibunya sangat sayang padaku seperti anak sendiri. Di tengah suka cita suasana, salah satu adiknya bertanya padaku.
“Mbak Yoshinta, mengapa masih mau sama Mas Badrut  yang miskin, ya?  Kami orang miskin, pekerjaannya di sawah, tidak seperti Mbak”, kata Hotimah padaku. Seakan dia turut meyakinkan atas pilihanku.
Aku menjawab dengan senyum dan memeluknya. Aku ingin menangis mendengarkan pertanyaan tulusnya. Semua juga terdiam seketika. Sampai akhirnya Badrut memecah suasana.
“Oh, ya,  tiga puluh hari lagi, Hotimah dan Badrotin mau kan jadi pagar ayu di acara walimahan Mas? Kami tidak akan mengadakan resepsi besar-besaran, kok. Pestanya sekalian waktu walimahan. Tidak usah narik bang-sumbang. Ayah Yoshinta tidak menghendaki itu.  Lebih baik, uang itu disumbangkan ke yatim piatu dan fakir-miskin agar hidup kami berkah.  Betul kan, Yo?” Tanyanya meminta persetujuanku.
            Aku mengangguk mengiyakan.
Ayah dan Ibu Mas Badruttaman ternyata menurut apa yang diucapkan anak laki-lakinya.   Mereka sangat menghormatiku sebagai gadis keturunan Jawa, yang mungkin berbeda budaya dan pandangan dengan mereka.
Dua bulan kemudian kami menikah. Ning, nong, ning, gung...ning, nong, ning... ning, nong, ning, gung...ning, nong, ning...
Akhirnya, aku harus mengikuti Badrut, suamiku, ke Bluto. Aku bahagia.
Badrut membisikkan kalimat padaku:
“Yoshinta, perjalanan kita masih panjang. Akan banyak cobaan dan rintangan menghadang. Tetaplah di sisiku selagi napas masih di badan”.
Aku pun membisikkan padanya:
“Ini adalah awal dan akhir kisah cinta sampai maut memisahkan. Semoga Allah memberkahi kita”. “Aamiin”, doa kami berdua.
Selesai.
16-12-2015: 19.44 selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...