Selasa, 07 Oktober 2025

Cerita Mini : Tangan Kebaikan Oleh : Srisa

 

Cerita Mini

Tangan Kebaikan

Oleh : Srisa

 

Di sebuah sudut Pasar Ketandan, Kecamatan Kauman, tampak seorang perempuan lebih dari paruh baya duduk di belakang lapak kecil berisi tumpukan buku bacaan bekas. Dialah Bu Sukarti, seorang pensiunan guru SD yang pernah mengabdikan dirinya di SD Negeri Sidorejo 1, Kabupaten Tulungagung. Berkerudung, dan wajah yang mulai merenta tidak dapat disembunyikan. Namun, sorot matanya tetap teduh, seperti dulu saat mengajar murid-muridnya membaca dan menulis dengan penuh kesabaran.

Setiap pagi, Bu Sukarti datang ke pasar dengan membawa beberapa kardus berisi buku-buku lama. Ia tahu, dagangannya tak seramai pedagang sayur atau pakaian di sekitarnya. Tapi ia tidak menyerah. “Buku memang tidak selalu dicari orang, tapi selalu dibutuhkan orang yang mau belajar,” begitu katanya sambil tersenyum.

Suaminya, Pak Jatma, kini sakit-sakitan. Gaji pensiun yang tak seberapa habis untuk biaya berobat dan kebutuhan rumah tangga. Anak semata wayangnya, Kisya, sedang berkuliah di Jakarta dengan beasiswa unggulan. Meski begitu, Bu Sukarti selalu menyisihkan sebagian uang hasil dagangannya untuk dikirimkan kepada sang anak. “Orang tua mana yang tega tak mengirim uang bulanan? Biarlah Ibu sedikit berlelah, asal kamu semangat belajar, Nak,” tulisnya suatu kali lewat pesan singkat.

Suatu siang, pasar tak seramai biasanya. Hujan turun rintik-rintik, membuat udara semakin dingin. Bu Sukarti mengelus lengan tuanya, menatap buku-buku bekas yang seolah tak berdaya di atas meja kayu. Namun tiba-tiba, seorang pria muda berjas rapi berhenti di depannya.

Pria itu tertawa kecil. Ia memandangi buku-buku bekas di lapak itu, lalu berkata, “Bu, semua buku ini saya beli, ya.” Bu Sukarti terkejut.

“Lho, Nak, untuk apa? Ini buku-buku lama semua.”

“Saya suka buku lama, Bu. Banyak kenangan di dalamnya.”

Hari itu, Bu Sukarti pulang lebih cepat dengan hati berbunga-bunga. Ia tak henti mengucap syukur karena dagangannya laku semua. Bahkan, Pak Jatma yang biasanya terbaring lemah, tampak ikut bahagia mendengar kabar itu.

“Alhamdulillah, Bu… mungkin rezeki kita dari jalan yang tak terduga,” katanya dengan suara serak.

Uang hasil penjualan itu segera disisihkan untuk dikirimkan kepada Kisya di Jakarta.

Namun, kebahagiaan itu bertambah besar keesokan sore. Saat Bu Sukarti baru menyiapkan teh hangat untuk suaminya, terdengar ketukan di pintu. Ternyata, tamu yang datang adalah pria yang kemarin memborong buku-bukunya. Kali ini ia datang tidak sebagai pembeli, melainkan sebagai seseorang yang ingin berterima kasih. Wajahnya tampak familiar, tapi Bu Sukarti tidak langsung mengenalinya.

“Ibu masih ingat saya?” tanya pria itu dengan senyum hangat.


Bu Sukarti memicingkan mata, mencoba mengingat. “Maaf, Nak, Ibu agak lupa…”

“Saya Iwan Andri, Bu. Murid Ibu di kelas dua SD dulu.”

Bu Sukarti tertegun. “Masyaa Allah, Iwan! Kamu sekarang sangat berbeda, ya. Ibu bangga sekali.”

 “Bu, saya kembalikan buku-buku kemarin. Saya berpendapat bahwa ibulah yang benar-benar membutuhkan buku-buku itu untuk menemani waktu Ibu. Saya hanya ingin membantu sedikit, tolong terimalah, Ibu”, ujarnya sambil menyerahkan beberapa kardus dan sebuah amplop cokelat.

Bu Sukarti menatap amplop itu dengan mata berkaca-kaca. “Nak, ini terlalu banyak…”

Iwan tersenyum lembut. “Orang tua saya walaupun hanya seorang buruh tani, selalu mengajarkan kepada saya untuk selalu mengingat para guru yang pernah membesarkan nyali, pola pikir, dan semangat saya. Salah satunya adalah Ibu Sukarti. “Dulu Ibu pernah memberi saya uang saku dua ratus ribu ketika saya hendak berangkat ke Belanda dengan beasiswa LPDP. Uang itu Ibu bilang, ‘Untuk bekal di perjalanan, jangan ditolak, Nak.’ Padahal saya tahu, Ibu bukan orang yang berkecukupan. Tapi kebaikan kecil itu selalu saya ingat, Bu. Tanpa dorongan dan kasih Ibu, mungkin saya tidak akan sampai seperti sekarang.”

Air mata Bu Sukarti menetes. Ia memandang mantan muridnya itu dengan haru. “Nak, Ibu hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang guru.”

“Justru karena tangan kebaikan Ibu yang tulus, saya bisa berdiri tegak seperti hari ini,” jawab Iwan lirih.

Iwan berpamitan dengan sopan, meninggalkan kesan mendalam di hati Bu Sukarti. Sore itu, Bu Sukarti memandangi langit yang mulai jingga. Ia tersenyum pelan. Ternyata, kebaikan sekecil apa pun tak pernah hilang. Ia hanya menunggu waktu untuk kembali dengan cara yang indah.                                                                                      

             Sampang, 7-3-2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...