Cerita Mini
Tangan
Kebaikan
Oleh : Srisa
Di sebuah sudut Pasar Ketandan, Kecamatan Kauman,
tampak seorang perempuan lebih dari paruh baya duduk di belakang lapak kecil
berisi tumpukan buku bacaan bekas. Dialah Bu Sukarti, seorang pensiunan guru SD
yang pernah mengabdikan dirinya di SD Negeri Sidorejo 1, Kabupaten Tulungagung.
Berkerudung, dan wajah yang mulai merenta tidak dapat disembunyikan. Namun, sorot
matanya tetap teduh, seperti dulu saat mengajar murid-muridnya membaca dan
menulis dengan penuh kesabaran.
Setiap pagi, Bu Sukarti datang ke
pasar dengan membawa beberapa kardus berisi buku-buku lama. Ia tahu,
dagangannya tak seramai pedagang sayur atau pakaian di sekitarnya. Tapi ia
tidak menyerah. “Buku memang tidak selalu dicari orang, tapi selalu dibutuhkan
orang yang mau belajar,” begitu katanya sambil tersenyum.
Suaminya, Pak Jatma, kini
sakit-sakitan. Gaji pensiun yang tak seberapa habis untuk biaya berobat dan
kebutuhan rumah tangga. Anak semata wayangnya, Kisya, sedang berkuliah di
Jakarta dengan beasiswa unggulan. Meski begitu, Bu Sukarti selalu menyisihkan
sebagian uang hasil dagangannya untuk dikirimkan kepada sang anak. “Orang tua
mana yang tega tak mengirim uang bulanan? Biarlah Ibu sedikit berlelah, asal
kamu semangat belajar, Nak,” tulisnya suatu kali lewat pesan singkat.
Suatu siang, pasar tak seramai
biasanya. Hujan turun rintik-rintik, membuat udara semakin dingin. Bu Sukarti
mengelus lengan tuanya, menatap buku-buku bekas yang seolah tak berdaya di atas
meja kayu. Namun tiba-tiba, seorang pria muda berjas rapi berhenti di depannya.
Pria itu tertawa kecil. Ia memandangi buku-buku
bekas di lapak itu, lalu berkata, “Bu, semua buku ini saya beli, ya.” Bu
Sukarti terkejut.
“Lho, Nak, untuk apa? Ini buku-buku lama semua.”
“Saya suka buku lama, Bu. Banyak kenangan di
dalamnya.”
Hari itu, Bu Sukarti pulang lebih
cepat dengan hati berbunga-bunga. Ia tak henti mengucap syukur karena
dagangannya laku semua. Bahkan, Pak Jatma yang biasanya terbaring lemah, tampak
ikut bahagia mendengar kabar itu.
“Alhamdulillah, Bu… mungkin rezeki kita dari jalan
yang tak terduga,” katanya dengan suara serak.
Uang hasil penjualan itu segera disisihkan untuk
dikirimkan kepada Kisya di Jakarta.
Namun, kebahagiaan itu bertambah
besar keesokan sore. Saat Bu Sukarti baru menyiapkan teh hangat untuk suaminya,
terdengar ketukan di pintu. Ternyata, tamu yang datang adalah pria yang kemarin
memborong buku-bukunya. Kali ini ia datang tidak sebagai pembeli, melainkan
sebagai seseorang yang ingin berterima kasih. Wajahnya tampak familiar, tapi Bu
Sukarti tidak langsung mengenalinya.
“Ibu masih ingat saya?” tanya pria itu dengan
senyum hangat.
Bu Sukarti memicingkan mata, mencoba mengingat. “Maaf, Nak, Ibu agak lupa…”
“Saya Iwan Andri, Bu. Murid Ibu di kelas dua SD
dulu.”
Bu Sukarti tertegun. “Masyaa Allah, Iwan! Kamu sekarang sangat berbeda,
ya. Ibu bangga sekali.”
“Bu, saya kembalikan buku-buku kemarin. Saya berpendapat
bahwa ibulah yang benar-benar membutuhkan buku-buku itu untuk menemani waktu
Ibu. Saya hanya ingin membantu sedikit, tolong terimalah, Ibu”, ujarnya sambil
menyerahkan beberapa kardus dan sebuah amplop cokelat.
Bu Sukarti menatap amplop itu dengan mata
berkaca-kaca. “Nak, ini terlalu banyak…”
Iwan tersenyum lembut. “Orang tua
saya walaupun hanya seorang buruh tani, selalu mengajarkan kepada saya untuk selalu
mengingat para guru yang pernah membesarkan nyali, pola pikir, dan semangat
saya. Salah satunya adalah Ibu Sukarti. “Dulu Ibu pernah memberi saya uang saku
dua ratus ribu ketika saya hendak berangkat ke Belanda dengan beasiswa LPDP.
Uang itu Ibu bilang, ‘Untuk bekal di perjalanan, jangan ditolak, Nak.’
Padahal saya tahu, Ibu bukan orang yang berkecukupan. Tapi kebaikan kecil itu
selalu saya ingat, Bu. Tanpa dorongan dan kasih Ibu, mungkin saya tidak akan
sampai seperti sekarang.”
Air mata Bu Sukarti menetes. Ia memandang mantan
muridnya itu dengan haru. “Nak, Ibu hanya melakukan apa yang seharusnya
dilakukan seorang guru.”
“Justru karena tangan kebaikan Ibu yang tulus, saya
bisa berdiri tegak seperti hari ini,” jawab Iwan lirih.
Iwan berpamitan dengan sopan,
meninggalkan kesan mendalam di hati Bu Sukarti. Sore itu, Bu Sukarti memandangi
langit yang mulai jingga. Ia tersenyum pelan. Ternyata, kebaikan sekecil apa
pun tak pernah hilang. Ia hanya menunggu waktu untuk kembali dengan cara yang
indah.
Sampang,
7-3-2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar