Jumat, 24 Oktober 2025

Cerita Mini : Jamu Sehat Mbah Putri

 

Jamu Sehat Mbah Putri

Karya : Srisa

 

Namaku Srita, siswa kelas XI-2 SMA Negeri 1 Tulungagung di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Aku dikenal sebagai anak yang pendiam, tidak banyak bicara, dan tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Sejak kecil aku tinggal bersama Mbah Putri, satu-satunya keluarga yang kumiliki. Mbah adalah segalanya bagiku, orang tua, sahabat, sekaligus rumah tempat aku kembali.

Mbah Putri dulu seorang pensiunan guru dan untuk mengisi hari-harinya, Mbah membuat jamu kunyit asam, beras kencur, cabe puyang, dan jamu bentis. Setiap pagi ia menyiapkan botol-botol kaca berisi jamu kuning yang aromanya selalu memenuhi dapur kecil kami. Kadang-kadang sebelum berangkat sekolah, aku membantu mengikatkan botol-botol itu dengan tali rotan sebelum Mbah keluar membawa dagangan menuju kios kecil di depan gang jalan raya. Sejak aku mengenal internet, aku juga membantu menjual jamu Mbah lewat online tentunya dengan kemasan botol plastik 500 ml. Beberapa pelanggan dari luar kota terdekat dengan wilayah kami, mulai mengenal “Jamu Sehat Mbah Putri.”

Mbah sering tersenyum melihat pesan-pesan pembeli yang datang. “Wah, cucuku pinter tenan. Jaman modern, tapi tetap jual jamu tradisional,” katanya sambil menepuk pundakku lembut. Aku hanya tersenyum malu. Dalam hatiku, aku bahagia bisa membuat Mbah bangga.

Tapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu sore, ketika langit tampak mendung, Mbah Putri jatuh sakit. Tubuhnya lemah, napasnya sesak. Aku membawa Mbah ke puskesmas, tapi dokter berkata usia Mbah sudah terlalu renta. “Yang penting, dampingi beliau dengan kasih,” kata dokter itu pelan.

Aku menatap wajah Mbah di ranjang, kulitnya yang keriput masih menyimpan senyum. “Nduk, kalau Mbah nanti nggak ada, jangan sedih ya. Rumah ini buat kamu. Tabungan Mbah juga. Hidup sederhana aja, yang penting jujur dan rajin.” Suaranya pelan, hampir tak terdengar. Aku hanya menggenggam tangannya, menahan air mata yang mulai jatuh.

Beberapa hari kemudian, Mbah Putri berpulang dengan tenang. Rumah mungil peninggalannya menjadi sunyi. Setiap sudut rumah seperti masih menyimpan aroma jamu dan tawa Mbah. Aku tinggal sendiri, tanpa suara langkah Mbah di pagi hari, tanpa nasihat lembutnya sebelum tidur.

Beberapa saudara dari luar kota menanyakan kabar dan berupaya membujukku untuk tinggal bersama mereka, tetapi aku tidak mau. Akhirnya, mereka menyerah tetapi tetap menelponku hanya untuk sekadar menanyakan kabar dan berniat memberikan bantuan keuangan juga. Sekali lagi aku tidak mau karena sudah bisa menghasilkan uang dari berjualan online. Saudara Mbah Putri, cucu dari adik Mbah Putri, memang baik-baik semua dan mereka kadang-kadang berkirim uang, mau tidak mau ya harus diterima Srita karena mereka memaksanya dengan alasan bahwa uang itu kan tidak setiap hari dikirimkan, paling tidak sebagai tanda kepedulian keluarga Mbah yang masih ada.

Aku sempat merasa dunia berhenti berputar. Tidak ada lagi yang memanggilku “Nduk” dengan penuh kasih. Tapi aku tahu, Mbah tidak akan senang melihatku terus larut dalam kesedihan. Maka, aku menulis surat pribadi untuk Mbah, seolah-olah beliau masih bisa membaca dari surga.

Sampang, 14 Februari

Untuk Mbah Putriku tercinta,

Mbah, hari ini Srita menulis surat sambil duduk di teras rumah kita. Angin sore membawa aroma kenangan. Srita masih sering mendengar suara Mbah memanggil dari dapur, padahal itu hanya angin yang berhembus.

Mbah, Srita sudah lanjut bersekolah. Uang pensiun Mbah masih ada banyak, dan Srita pakai sedikit-sedikit buat kebutuhan sekolah dan jajan seadanya. Mbah bener, hemat itu penting. Srita juga masih menjual bros dan gantungan kunci di Shopee, hasilnya lumayan buat beli bahan jamu yang masih sering orang pesan. Mbah tahu? Nama toko online-nya Srita diberi nama “Warisan Mbah.”

Mbah, Srita masih sering kangen. Tapi kata teman Srita, kalau kita rindu orang yang kita cintai, cukup kirim doa, bukan air mata. Jadi tiap malam, Srita selalu kirim doa buat Mbah, biar tenang di sana. Rumah kita masih bersih, Mbah. Srita sapu tiap pagi, pel tiap sore.

Srita berusaha mengikuti resep Mbah dan insyaa Allah tetap meneruskan membuat jamu. Maka itu, meja jamu Mbah masih di sudut dapur, nggak Srita ubah. Seperti waktu Mbah masih ada.

Terima kasih sudah ngajari Srita untuk hidup sederhana, jujur, dan mandiri. Mbah nggak perlu khawatir, cucu Mbah ini akan terus kuat. Srita bakal terus jualan jamu, jualan bros, dan jual doa-doa baik buat Mbah. Karena Srita percaya, selama Srita berbuat baik dan menjaga warisan Mbah dengan tulus, bahagia pasti datang, karena bahagia itu harus dijemput, bukan ditunggu.

Dari cucumu yang selalu sayang Mbah, Srita

Srita melipat surat itu perlahan dan meletakkannya di meja kecil di samping foto Mbah Putri. Senyum lembut terukir di wajahnya. Ia tahu, meski kini hidup seorang diri, Mbah Putri tak benar-benar pergi. Kasihnya masih hidup di setiap botol jamu, di setiap doa, dan di setiap langkah kecil Srita yang berani menjemput kebahagiaan.     

                                                                                        Sampang, 25-10-2025; 09:45 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...