Jamu Sehat Mbah Putri
Karya : Srisa
Namaku Srita, siswa kelas XI-2 SMA Negeri 1 Tulungagung di sebuah
kota kecil di Jawa Timur. Aku dikenal sebagai anak yang pendiam, tidak banyak
bicara, dan tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Sejak kecil aku tinggal
bersama Mbah Putri, satu-satunya keluarga yang kumiliki. Mbah adalah segalanya
bagiku, orang tua, sahabat, sekaligus rumah tempat aku kembali.
Mbah Putri dulu seorang pensiunan guru dan untuk
mengisi hari-harinya, Mbah membuat jamu kunyit asam, beras kencur, cabe puyang,
dan jamu bentis. Setiap pagi ia menyiapkan botol-botol kaca berisi jamu kuning
yang aromanya selalu memenuhi dapur kecil kami. Kadang-kadang sebelum berangkat
sekolah, aku membantu mengikatkan botol-botol itu dengan tali rotan sebelum
Mbah keluar membawa dagangan menuju kios kecil di depan gang jalan raya. Sejak
aku mengenal internet, aku juga membantu menjual jamu Mbah lewat online tentunya
dengan kemasan botol plastik 500 ml. Beberapa pelanggan dari luar kota terdekat
dengan wilayah kami, mulai mengenal “Jamu Sehat Mbah Putri.”
Mbah sering tersenyum melihat pesan-pesan pembeli
yang datang. “Wah, cucuku pinter tenan. Jaman modern, tapi tetap jual jamu
tradisional,” katanya sambil menepuk pundakku lembut. Aku hanya tersenyum malu.
Dalam hatiku, aku bahagia bisa membuat Mbah bangga.
Tapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu
sore, ketika langit tampak mendung, Mbah Putri jatuh sakit. Tubuhnya lemah,
napasnya sesak. Aku membawa Mbah ke puskesmas, tapi dokter berkata usia Mbah
sudah terlalu renta. “Yang penting, dampingi beliau dengan kasih,” kata dokter
itu pelan.
Aku menatap wajah Mbah di ranjang, kulitnya yang
keriput masih menyimpan senyum. “Nduk, kalau Mbah nanti nggak ada, jangan sedih
ya. Rumah ini buat kamu. Tabungan Mbah juga. Hidup sederhana aja, yang penting
jujur dan rajin.” Suaranya pelan, hampir tak terdengar. Aku hanya menggenggam
tangannya, menahan air mata yang mulai jatuh.
Beberapa hari kemudian, Mbah Putri berpulang dengan
tenang. Rumah mungil peninggalannya menjadi sunyi. Setiap sudut rumah seperti
masih menyimpan aroma jamu dan tawa Mbah. Aku tinggal sendiri, tanpa suara
langkah Mbah di pagi hari, tanpa nasihat lembutnya sebelum tidur.
Beberapa saudara dari luar kota menanyakan kabar
dan berupaya membujukku untuk tinggal bersama mereka, tetapi aku tidak mau. Akhirnya,
mereka menyerah tetapi tetap menelponku hanya untuk sekadar menanyakan kabar
dan berniat memberikan bantuan keuangan juga. Sekali lagi aku tidak mau karena
sudah bisa menghasilkan uang dari berjualan online. Saudara Mbah Putri, cucu
dari adik Mbah Putri, memang baik-baik semua dan mereka kadang-kadang berkirim
uang, mau tidak mau ya harus diterima Srita karena mereka memaksanya dengan
alasan bahwa uang itu kan tidak setiap hari dikirimkan, paling tidak sebagai
tanda kepedulian keluarga Mbah yang masih ada.
Aku sempat merasa dunia berhenti berputar. Tidak
ada lagi yang memanggilku “Nduk” dengan penuh kasih. Tapi aku tahu, Mbah
tidak akan senang melihatku terus larut dalam kesedihan. Maka, aku menulis surat
pribadi untuk Mbah, seolah-olah beliau masih bisa membaca dari surga.
Sampang,
14 Februari
Untuk Mbah Putriku tercinta,
Mbah, hari ini Srita menulis surat sambil duduk di
teras rumah kita. Angin sore membawa aroma kenangan. Srita masih sering
mendengar suara Mbah memanggil dari dapur, padahal itu hanya angin yang
berhembus.
Mbah, Srita sudah lanjut bersekolah. Uang pensiun
Mbah masih ada banyak, dan Srita pakai sedikit-sedikit buat kebutuhan sekolah
dan jajan seadanya. Mbah bener, hemat itu penting. Srita juga masih menjual
bros dan gantungan kunci di Shopee, hasilnya lumayan buat beli bahan jamu yang
masih sering orang pesan. Mbah tahu? Nama toko online-nya Srita diberi nama
“Warisan Mbah.”
Mbah, Srita masih sering kangen. Tapi kata teman
Srita, kalau kita rindu orang yang kita cintai, cukup kirim doa, bukan air
mata. Jadi tiap malam, Srita selalu kirim doa buat Mbah, biar tenang di sana.
Rumah kita masih bersih, Mbah. Srita sapu tiap pagi, pel tiap sore.
Srita berusaha mengikuti resep Mbah dan insyaa Allah
tetap meneruskan membuat jamu. Maka itu, meja jamu Mbah masih di sudut dapur,
nggak Srita ubah. Seperti waktu Mbah masih ada.
Terima kasih sudah ngajari Srita untuk hidup
sederhana, jujur, dan mandiri. Mbah nggak perlu khawatir, cucu Mbah ini akan
terus kuat. Srita bakal terus jualan jamu, jualan bros, dan jual doa-doa baik
buat Mbah. Karena Srita percaya, selama Srita berbuat baik dan menjaga warisan
Mbah dengan tulus, bahagia pasti datang, karena bahagia itu harus dijemput,
bukan ditunggu.
Dari cucumu yang selalu sayang Mbah, Srita
Srita melipat surat itu perlahan dan meletakkannya
di meja kecil di samping foto Mbah Putri. Senyum lembut terukir di wajahnya. Ia
tahu, meski kini hidup seorang diri, Mbah Putri tak benar-benar pergi. Kasihnya
masih hidup di setiap botol jamu, di setiap doa, dan di setiap langkah kecil
Srita yang berani menjemput kebahagiaan.
Sampang, 25-10-2025; 09:45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar