Cerita Mini
Warna Cita-cita Musaiya
Karya: Srisa
Di kaki bukit Taddan, berdirilah sebuah desa kecil
yang tenang, dikelilingi hamparan sawah menghijau dan pepohonan yang berdesir
lembut diterpa angin. Pagi di desa itu selalu beraroma tanah basah, dengan
suara ayam jantan bersahutan dan sinar mentari yang perlahan muncul di balik
bukit. Di sanalah, seorang gadis remaja bernama Musaiya menata harapannya
pelan-pelan, seperti petani yang menabur benih dengan hati-hati di ladang yang
subur.
Sejak kecil, Musaiya tumbuh
dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh tani yang sudah mulai renta.
Setiap hari, ayahnya berangkat ke sawah membawa cangkul di pundak, menantang
panas dan hujan demi sesuap nasi. Ibunya, meski sering sakit-sakitan, tetap
memaksakan diri membantu suaminya di sawah milik bibinya yang kini bekerja di
Malaysia. Keduanya tak pernah mengeluh, hanya diam, menahan letih demi anak
semata wayang mereka bisa bersekolah lebih tinggi dari mereka.
Setelah lulus dari SMP, Musaiya
menyimpan keinginan besar: ia ingin melanjutkan sekolah ke pondok pesantren di Pamekasan. Ia
membayangkan bisa hidup di lingkungan yang religius, belajar kitab kuning, dan
memperdalam ilmu agama. Tapi impian itu tidak mendapat restu. Orang tuanya
berkata dengan suara berat,
“Nak, biaya pondok itu tidak
sedikit. Jaraknya juga jauh. Bapak dan Ibu tidak sanggup.”
Malam itu, Musaiya diam saja.
Ia hanya menatap pelita kecil di ruang tamu, membayangkan nyalanya yang
bergetar, seperti hatinya sendiri. Namun pada akhirnya, dengan hati seberat
karung padi yang biasa ia pikul di lumbung, ia menerima keputusan orang tuanya.
Ia pun melanjutkan sekolah di
SMA negeri yang jaraknya sekitar sepuluh
menit dari rumah. Setiap pagi, ia berangkat dengan sepeda
tuanya melewati jalan berbatu, sambil membawa tas yang mulai lusuh di punggung.
Meski sederhana, baginya sekolah adalah tempat di mana ia bisa bermimpi tanpa
batas.
Musaiya tahu betul keadaan
keluarganya. Ayahnya sering pulang dengan pakaian penuh lumpur, sementara
ibunya kerap batuk-batuk karena kelelahan di sawah. Karena itu, setiap Sabtu
dan Minggu, Musaiya turun tangan membantu mereka. Ia menanam padi, mencabut
rumput, bahkan sesekali ikut menjemur gabah di halaman. Ia tak malu. Baginya,
tangan yang kotor karena bekerja jauh lebih mulia daripada tangan yang diam
tanpa usaha.
Namun di balik semangatnya,
Musaiya kerap menangis diam-diam. Ia takut masa depannya berhenti sampai di
sini. “Apakah aku bisa melanjutkan sekolah nanti setelah lulus SMA?” gumamnya
lirih suatu malam. Air matanya menetes di buku catatan yang masih terbuka,
menyatu dengan tinta yang mulai luntur.
Setiap kali ditanya guru
tentang cita-citanya, Musaiya menjawab dengan suara pelan tapi tegas,
“Saya ingin menjadi guru, Bu.”
Ia ingin membantu orang lain
dengan ilmu, mungkin masih banyak yang ingin melanjutkan sekolah tetapi terkendala
biaya. Akan tetapi, keraguan sering datang lagi. Bisakah aku benar-benar menjadi
seorang guru? pikirnya.
Meski begitu, ia tak mau
menyerah. Ia belajar sungguh-sungguh, mengulang pelajaran di malam hari meski
lampu sering padam. Kadang ia menyalakan lilin, kadang hanya mengandalkan
cahaya redup dari lampu minyak.
Sayangnya, perjuangannya tidak
selalu berjalan mulus. Dua teman sekelasnya, Sariyem dan Saritem, sering merundungnya. Mereka
mengejek baju seragamnya yang warnanya mulai pudar, atau sepedanya yang sudah
berkarat.
“Ngapain belajar keras, Sa? Toh
nanti juga nggak kuliah,” ejek Saritem suatu hari.
Musaiya hanya menunduk. Ia ingin membalas, tetapi memilih diam. Ia tahu, membalas
hanya akan menambah luka, bukan menumbuhkan kekuatan.
Ketika pembagian rapor tiba,
Musaiya duduk di bangkunya dengan tangan bergetar. Saat namanya dipanggil dan
nilai-nilainya diumumkan, ia terperangah—semuanya di atas rata-rata. Ia bahkan
masuk peringkat tiga besar di
kelasnya. Air matanya hampir jatuh, bukan karena sedih, tetapi karena bahagia.
Sesampainya di rumah, ia menunjukkan rapor itu kepada ayah dan ibunya. Wajah
mereka berbinar, meski lelah tak pernah benar-benar pergi dari sorot mata
mereka.
“Alhamdulillah, Nak. Teruslah
rajin, ya. Bapak bangga,” ucap ayahnya sambil menepuk bahunya pelan.
Sejak saat itu, semangat
Musaiya tumbuh lebih besar. Salah satu guru yang paling ia kagumi adalah Bu Setia, guru Bahasa Indonesia yang
lembut dan penuh perhatian. Suatu sore setelah pelajaran usai, Bu Setia
memanggilnya.
“Musaiya, Ibu tahu kamu anak
yang rajin. Nanti kalau lulus, coba daftar ke Poltera. Banyak beasiswa di sana.
Insya Allah kamu bisa,” kata Bu Setia sambil tersenyum.
Kata-kata itu menyalakan
sesuatu di dalam dirinya. Harapan yang dulu pudar kini kembali menyala. Ia
mulai mencari informasi tentang beasiswa, bertanya kepada guru, bahkan menabung
sedikit demi sedikit dari hasil membantu orang tuanya di sawah.
Musaiya kini tak lagi ragu. Ia
tahu, cita-cita bukan tentang siapa yang paling kaya atau siapa yang paling
beruntung, tapi siapa yang paling teguh menjaga harapan. Setiap langkahnya ke
sekolah kini terasa lebih ringan. Setiap tetes keringat di sawah menjadi warna
tersendiri dalam lukisan hidupnya.
Di bawah langit Taddan yang
biru, Musaiya berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menjadi guru, bukan hanya
untuk dirinya, tapi untuk orang tuanya yang telah mengajarinya arti perjuangan
dan ketulusan.
Warna cita-citanya kini bukan
lagi abu-abu seperti dulu, melainkan warna langit pagi—cerah, lembut, dan penuh harapan.
Sampang, 14-10-2025; 04:03
Warna Cita-cita Musaiya
Karya: Srisa
Di kaki bukit Taddan, berdirilah sebuah desa kecil
yang tenang, dikelilingi hamparan sawah menghijau dan pepohonan yang berdesir
lembut diterpa angin. Pagi di desa itu selalu beraroma tanah basah, dengan
suara ayam jantan bersahutan dan sinar mentari yang perlahan muncul di balik
bukit. Di sanalah, seorang gadis remaja bernama Musaiya menata harapannya
pelan-pelan, seperti petani yang menabur benih dengan hati-hati di ladang yang
subur.
Sejak kecil, Musaiya tumbuh
dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh tani yang sudah mulai renta.
Setiap hari, ayahnya berangkat ke sawah membawa cangkul di pundak, menantang
panas dan hujan demi sesuap nasi. Ibunya, meski sering sakit-sakitan, tetap
memaksakan diri membantu suaminya di sawah milik bibinya yang kini bekerja di
Malaysia. Keduanya tak pernah mengeluh, hanya diam, menahan letih demi anak
semata wayang mereka bisa bersekolah lebih tinggi dari mereka.
Setelah lulus dari SMP, Musaiya
menyimpan keinginan besar: ia ingin melanjutkan sekolah ke pondok pesantren di Pamekasan. Ia
membayangkan bisa hidup di lingkungan yang religius, belajar kitab kuning, dan
memperdalam ilmu agama. Tapi impian itu tidak mendapat restu. Orang tuanya
berkata dengan suara berat,
“Nak, biaya pondok itu tidak
sedikit. Jaraknya juga jauh. Bapak dan Ibu tidak sanggup.”
Malam itu, Musaiya diam saja.
Ia hanya menatap pelita kecil di ruang tamu, membayangkan nyalanya yang
bergetar, seperti hatinya sendiri. Namun pada akhirnya, dengan hati seberat
karung padi yang biasa ia pikul di lumbung, ia menerima keputusan orang tuanya.
Ia pun melanjutkan sekolah di
SMA negeri yang jaraknya sekitar sepuluh
menit dari rumah. Setiap pagi, ia berangkat dengan sepeda
tuanya melewati jalan berbatu, sambil membawa tas yang mulai lusuh di punggung.
Meski sederhana, baginya sekolah adalah tempat di mana ia bisa bermimpi tanpa
batas.
Musaiya tahu betul keadaan
keluarganya. Ayahnya sering pulang dengan pakaian penuh lumpur, sementara
ibunya kerap batuk-batuk karena kelelahan di sawah. Karena itu, setiap Sabtu
dan Minggu, Musaiya turun tangan membantu mereka. Ia menanam padi, mencabut
rumput, bahkan sesekali ikut menjemur gabah di halaman. Ia tak malu. Baginya,
tangan yang kotor karena bekerja jauh lebih mulia daripada tangan yang diam
tanpa usaha.
Namun di balik semangatnya,
Musaiya kerap menangis diam-diam. Ia takut masa depannya berhenti sampai di
sini. “Apakah aku bisa melanjutkan sekolah nanti setelah lulus SMA?” gumamnya
lirih suatu malam. Air matanya menetes di buku catatan yang masih terbuka,
menyatu dengan tinta yang mulai luntur.
Setiap kali ditanya guru
tentang cita-citanya, Musaiya menjawab dengan suara pelan tapi tegas,
“Saya ingin menjadi guru, Bu.”
Ia ingin membantu orang lain
dengan ilmu, mungkin masih banyak yang ingin melanjutkan sekolah tetapi terkendala
biaya. Akan tetapi, keraguan sering datang lagi. Bisakah aku benar-benar menjadi
seorang guru? pikirnya.
Meski begitu, ia tak mau
menyerah. Ia belajar sungguh-sungguh, mengulang pelajaran di malam hari meski
lampu sering padam. Kadang ia menyalakan lilin, kadang hanya mengandalkan
cahaya redup dari lampu minyak.
Sayangnya, perjuangannya tidak
selalu berjalan mulus. Dua teman sekelasnya, Sariyem dan Saritem, sering merundungnya. Mereka
mengejek baju seragamnya yang warnanya mulai pudar, atau sepedanya yang sudah
berkarat.
“Ngapain belajar keras, Sa? Toh
nanti juga nggak kuliah,” ejek Saritem suatu hari.
Musaiya hanya menunduk. Ia ingin membalas, tetapi memilih diam. Ia tahu, membalas
hanya akan menambah luka, bukan menumbuhkan kekuatan.
Ketika pembagian rapor tiba,
Musaiya duduk di bangkunya dengan tangan bergetar. Saat namanya dipanggil dan
nilai-nilainya diumumkan, ia terperangah—semuanya di atas rata-rata. Ia bahkan
masuk peringkat tiga besar di
kelasnya. Air matanya hampir jatuh, bukan karena sedih, tetapi karena bahagia.
Sesampainya di rumah, ia menunjukkan rapor itu kepada ayah dan ibunya. Wajah
mereka berbinar, meski lelah tak pernah benar-benar pergi dari sorot mata
mereka.
“Alhamdulillah, Nak. Teruslah
rajin, ya. Bapak bangga,” ucap ayahnya sambil menepuk bahunya pelan.
Sejak saat itu, semangat
Musaiya tumbuh lebih besar. Salah satu guru yang paling ia kagumi adalah Bu Setia, guru Bahasa Indonesia yang
lembut dan penuh perhatian. Suatu sore setelah pelajaran usai, Bu Setia
memanggilnya.
“Musaiya, Ibu tahu kamu anak
yang rajin. Nanti kalau lulus, coba daftar ke Poltera. Banyak beasiswa di sana.
Insya Allah kamu bisa,” kata Bu Setia sambil tersenyum.
Kata-kata itu menyalakan
sesuatu di dalam dirinya. Harapan yang dulu pudar kini kembali menyala. Ia
mulai mencari informasi tentang beasiswa, bertanya kepada guru, bahkan menabung
sedikit demi sedikit dari hasil membantu orang tuanya di sawah.
Musaiya kini tak lagi ragu. Ia
tahu, cita-cita bukan tentang siapa yang paling kaya atau siapa yang paling
beruntung, tapi siapa yang paling teguh menjaga harapan. Setiap langkahnya ke
sekolah kini terasa lebih ringan. Setiap tetes keringat di sawah menjadi warna
tersendiri dalam lukisan hidupnya.
Di bawah langit Taddan yang
biru, Musaiya berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menjadi guru, bukan hanya
untuk dirinya, tapi untuk orang tuanya yang telah mengajarinya arti perjuangan
dan ketulusan.
Warna cita-citanya kini bukan
lagi abu-abu seperti dulu, melainkan warna langit pagi—cerah, lembut, dan penuh harapan.
Sampang, 14-10-2025; 04:03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar