Jumat, 24 Oktober 2025

Cerita Mini : Warna Cita-Cita Musaiya

 Cerita Mini




Warna Cita-cita Musaiya

Karya: Srisa

Di kaki bukit Taddan, berdirilah sebuah desa kecil yang tenang, dikelilingi hamparan sawah menghijau dan pepohonan yang berdesir lembut diterpa angin. Pagi di desa itu selalu beraroma tanah basah, dengan suara ayam jantan bersahutan dan sinar mentari yang perlahan muncul di balik bukit. Di sanalah, seorang gadis remaja bernama Musaiya menata harapannya pelan-pelan, seperti petani yang menabur benih dengan hati-hati di ladang yang subur.

Sejak kecil, Musaiya tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh tani yang sudah mulai renta. Setiap hari, ayahnya berangkat ke sawah membawa cangkul di pundak, menantang panas dan hujan demi sesuap nasi. Ibunya, meski sering sakit-sakitan, tetap memaksakan diri membantu suaminya di sawah milik bibinya yang kini bekerja di Malaysia. Keduanya tak pernah mengeluh, hanya diam, menahan letih demi anak semata wayang mereka bisa bersekolah lebih tinggi dari mereka.

Setelah lulus dari SMP, Musaiya menyimpan keinginan besar: ia ingin melanjutkan sekolah ke pondok pesantren di Pamekasan. Ia membayangkan bisa hidup di lingkungan yang religius, belajar kitab kuning, dan memperdalam ilmu agama. Tapi impian itu tidak mendapat restu. Orang tuanya berkata dengan suara berat,

“Nak, biaya pondok itu tidak sedikit. Jaraknya juga jauh. Bapak dan Ibu tidak sanggup.”

Malam itu, Musaiya diam saja. Ia hanya menatap pelita kecil di ruang tamu, membayangkan nyalanya yang bergetar, seperti hatinya sendiri. Namun pada akhirnya, dengan hati seberat karung padi yang biasa ia pikul di lumbung, ia menerima keputusan orang tuanya.

Ia pun melanjutkan sekolah di SMA negeri yang jaraknya sekitar sepuluh menit dari rumah. Setiap pagi, ia berangkat dengan sepeda tuanya melewati jalan berbatu, sambil membawa tas yang mulai lusuh di punggung. Meski sederhana, baginya sekolah adalah tempat di mana ia bisa bermimpi tanpa batas.

Musaiya tahu betul keadaan keluarganya. Ayahnya sering pulang dengan pakaian penuh lumpur, sementara ibunya kerap batuk-batuk karena kelelahan di sawah. Karena itu, setiap Sabtu dan Minggu, Musaiya turun tangan membantu mereka. Ia menanam padi, mencabut rumput, bahkan sesekali ikut menjemur gabah di halaman. Ia tak malu. Baginya, tangan yang kotor karena bekerja jauh lebih mulia daripada tangan yang diam tanpa usaha.

Namun di balik semangatnya, Musaiya kerap menangis diam-diam. Ia takut masa depannya berhenti sampai di sini. “Apakah aku bisa melanjutkan sekolah nanti setelah lulus SMA?” gumamnya lirih suatu malam. Air matanya menetes di buku catatan yang masih terbuka, menyatu dengan tinta yang mulai luntur.

Setiap kali ditanya guru tentang cita-citanya, Musaiya menjawab dengan suara pelan tapi tegas,

“Saya ingin menjadi guru, Bu.”

Ia ingin membantu orang lain dengan ilmu, mungkin masih banyak yang ingin melanjutkan sekolah tetapi terkendala biaya. Akan tetapi, keraguan sering datang lagi. Bisakah aku benar-benar menjadi seorang guru? pikirnya.

Meski begitu, ia tak mau menyerah. Ia belajar sungguh-sungguh, mengulang pelajaran di malam hari meski lampu sering padam. Kadang ia menyalakan lilin, kadang hanya mengandalkan cahaya redup dari lampu minyak.

Sayangnya, perjuangannya tidak selalu berjalan mulus. Dua teman sekelasnya, Sariyem dan Saritem, sering merundungnya. Mereka mengejek baju seragamnya yang warnanya mulai pudar, atau sepedanya yang sudah berkarat.

“Ngapain belajar keras, Sa? Toh nanti juga nggak kuliah,” ejek Saritem suatu hari.
Musaiya hanya menunduk. Ia ingin membalas, tetapi memilih diam. Ia tahu, membalas hanya akan menambah luka, bukan menumbuhkan kekuatan.

Ketika pembagian rapor tiba, Musaiya duduk di bangkunya dengan tangan bergetar. Saat namanya dipanggil dan nilai-nilainya diumumkan, ia terperangah—semuanya di atas rata-rata. Ia bahkan masuk peringkat tiga besar di kelasnya. Air matanya hampir jatuh, bukan karena sedih, tetapi karena bahagia. Sesampainya di rumah, ia menunjukkan rapor itu kepada ayah dan ibunya. Wajah mereka berbinar, meski lelah tak pernah benar-benar pergi dari sorot mata mereka.

“Alhamdulillah, Nak. Teruslah rajin, ya. Bapak bangga,” ucap ayahnya sambil menepuk bahunya pelan.

Sejak saat itu, semangat Musaiya tumbuh lebih besar. Salah satu guru yang paling ia kagumi adalah Bu Setia, guru Bahasa Indonesia yang lembut dan penuh perhatian. Suatu sore setelah pelajaran usai, Bu Setia memanggilnya.

“Musaiya, Ibu tahu kamu anak yang rajin. Nanti kalau lulus, coba daftar ke Poltera. Banyak beasiswa di sana. Insya Allah kamu bisa,” kata Bu Setia sambil tersenyum.

Kata-kata itu menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Harapan yang dulu pudar kini kembali menyala. Ia mulai mencari informasi tentang beasiswa, bertanya kepada guru, bahkan menabung sedikit demi sedikit dari hasil membantu orang tuanya di sawah.

Musaiya kini tak lagi ragu. Ia tahu, cita-cita bukan tentang siapa yang paling kaya atau siapa yang paling beruntung, tapi siapa yang paling teguh menjaga harapan. Setiap langkahnya ke sekolah kini terasa lebih ringan. Setiap tetes keringat di sawah menjadi warna tersendiri dalam lukisan hidupnya.

Di bawah langit Taddan yang biru, Musaiya berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menjadi guru, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk orang tuanya yang telah mengajarinya arti perjuangan dan ketulusan.

Warna cita-citanya kini bukan lagi abu-abu seperti dulu, melainkan warna langit pagi—cerah, lembut, dan penuh harapan.

Sampang, 14-10-2025; 04:03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...