Cerita Mini True Story
Harus Bisa Nyanyi dan Nari: Patuh Apa Takut?
Karya:
Srisa
Namaku Asti.
Aku tinggal bersama Nanang dan Emak di rumah tua peninggalan keluarga di
Tulungagung. Setiap hari, suara gamelan dari radio tua di ruang tengah seakan
menjadi irama yang tak pernah berhenti dalam hidupku. Aku tumbuh di tengah
keluarga yang mencintai seni—entah itu nyanyian keroncong, campur sari, atau
tarian tradisional.
“Asti,
kamu nanti harus bisa nyanyi keroncong kayak Mbak Sundari Soekotjo, ya!” kata
Nanang suatu sore, sembari menepuk-nepuk bahuku dengan bangga.
Aku hanya mengangguk kecil. “Iya, Nang… kalau Asti bisa.”
“Bukan kalau, tapi harus!” sahut Emak dari dapur. “Kamu itu darah seni, turunan
dari ibu dan kakekmu. Nanti kalau ada pentas, Emak yang jahitkan bajunya.”
Dulu,
waktu aku masih TK, aku sudah dimasukkan ke Sanggar Tari Bagong Kusudiarjo. Aku
masih kecil sekali—anggota termungil di antara para penari yang sudah bisa
menari dengan gemulai. Tapi pelatihku selalu sabar. Setiap kali selesai
pementasan, aku pasti digendongnya. Aku masih ingat betapa bangganya Nanang dan
Emak melihatku menari Tari Batik di panggung Pabrik Gula Modjopanggoong.
Sayangnya, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Pelatihku pindah ke Yogyakarta, dan aku dimasukkan ke Sanggar Tari Kembang Melati. Latihannya berat—harus menguasai tari klasik di awal aku belajar, yaitu Tari Klasik “Ragam” yang indah, lambat, dan harus benar-benar menjiwai gerak tarinya. Aku berusaha keras, tapi entah mengapa semangatku luntur.
“Mak, Asti kok nggak betah ya di sanggar itu. Latihannya susah dan orangnya
banyak banget. Asti kayak nggak dianggap.”
Emak menatapku lama. “Kalau begitu, cari yang kamu suka, Nduk. Yang penting tetap
menari.”
Akhirnya,
waktu SMP aku menemukan tempat yang membuatku jatuh cinta lagi—Sanggar Tari
Tirto Kencono. Di sana aku bisa menari dengan bebas, penuh warna, seperti dulu.
Tapi seiring waktu, aku mulai sadar bahwa hidup bukan cuma soal menari. Aku
mulai ikut les Matematika, mempersiapkan diri untuk masa depan.
Suatu
hari, wali kelasku menunjukku ikut mengisi acara perpisahan sekolah.
“Asti, kamu nyanyi, ya. Lagu campur sari dan keroncong. Suaramu bagus!”
Aku kaget tapi senang. Aku berlatih keras dengan grup band Kalangbret,
menyanyikan “Gethuk” dan “Melati dari Jaya Giri.” Ketika tampil di panggung,
aku melihat Nanang dan Emak tersenyum dari barisan depan. Wajah mereka
sumringah, seolah berkata ‘itu cucu kami!’
Masuk
SMA, hidupku berubah cepat. Aku ikut les Bahasa Inggris di Persahabatan English
Course, les komputer, juga Bahasa Jepang. Aku mulai jarang menari, tapi
sesekali tetap menerima job pentas karena permintaan keluarga. Namun suatu
kali, aku mengikuti kompetisi pop singer se-Karesidenan Kediri bersama grup Walles
‘88.
Saat
pulang, Nanang tampak marah.
“Asti! Kenapa ikut lomba lagu pop? Keluarga kita itu penyanyi keroncong, bukan
penyanyi pop!”
Aku menunduk. “Asti cuma ingin coba, Nang. Lagunya juga bagus, Asti dapat juara
harapan satu, lho.”
Nanang mendengus pelan. “Juara bukan segalanya. Patuh itu yang penting.”
Aku diam.
Entah aku patuh karena cinta atau karena takut mengecewakan mereka.
Seiring
waktu, aku berhenti menari. Aku mulai berkerudung dan lebih fokus pada kuliah
di Surabaya. Tapi di sela-sela kuliah, aku tetap menyalurkan bakatku dengan
ikut les organ bersama Kak Agung, kakak kelas jurusan Seni Rupa.
“Asti, kamu berbakat, lho. Sayang kalau berhenti. Tampil aja di pentas kampus
nanti.”
Aku tersenyum tipis. “Lihat nanti, Kak. Aku takut keluarga nggak setuju.”
Tapi
waktu terus berjalan. Aku kehilangan satu per satu orang yang paling kucintai—Nanang,
Buyut, Bapak, Emak, dan akhirnya Ibu.
Aku duduk di depan rumah suatu sore, memandangi langit jingga yang perlahan
meredup. “Asti belum sempat bikin mereka bangga sepenuhnya...” bisikku pelan.
Kini aku
sadar, mungkin dulu aku patuh bukan karena takut. Aku hanya terlalu ingin
mereka bahagia. Kini, ketika semuanya telah tiada, aku ingin meneruskan
semangat mereka dalam cara yang berbeda—dengan tetap mencintai seni, tapi juga
mencintai diriku sendiri.
Sampang, 18-10-2025; 16:35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar