Sabtu, 18 Oktober 2025

Cerita Mini : Harus Bisa : Patuh Apa Takut?

 Cerita Mini True Story


 


   
                        Harus Bisa Nyanyi dan Nari: Patuh Apa Takut?

                                                                    Karya: Srisa

        Namaku Asti. Aku tinggal bersama Nanang dan Emak di rumah tua peninggalan keluarga di Tulungagung. Setiap hari, suara gamelan dari radio tua di ruang tengah seakan menjadi irama yang tak pernah berhenti dalam hidupku. Aku tumbuh di tengah keluarga yang mencintai seni—entah itu nyanyian keroncong, campur sari, atau tarian tradisional. 

“Asti, kamu nanti harus bisa nyanyi keroncong kayak Mbak Sundari Soekotjo, ya!” kata Nanang suatu sore, sembari menepuk-nepuk bahuku dengan bangga.
Aku hanya mengangguk kecil. “Iya, Nang… kalau Asti bisa.”
“Bukan kalau, tapi harus!” sahut Emak dari dapur. “Kamu itu darah seni, turunan dari ibu dan kakekmu. Nanti kalau ada pentas, Emak yang jahitkan bajunya.”

        Dulu, waktu aku masih TK, aku sudah dimasukkan ke Sanggar Tari Bagong Kusudiarjo. Aku masih kecil sekali—anggota termungil di antara para penari yang sudah bisa menari dengan gemulai. Tapi pelatihku selalu sabar. Setiap kali selesai pementasan, aku pasti digendongnya. Aku masih ingat betapa bangganya Nanang dan Emak melihatku menari Tari Batik di panggung Pabrik Gula Modjopanggoong.

        Sayangnya, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Pelatihku pindah ke Yogyakarta, dan aku dimasukkan ke Sanggar Tari Kembang Melati. Latihannya berat—harus menguasai tari klasik di awal aku belajar, yaitu Tari Klasik “Ragam” yang indah, lambat, dan harus benar-benar menjiwai gerak tarinya. Aku berusaha keras, tapi entah mengapa semangatku luntur.


“Mak, Asti kok nggak betah ya di sanggar itu. Latihannya susah dan orangnya banyak banget. Asti kayak nggak dianggap.”
Emak menatapku lama. “Kalau begitu, cari yang kamu suka, Nduk. Yang penting tetap menari.”

        Akhirnya, waktu SMP aku menemukan tempat yang membuatku jatuh cinta lagi—Sanggar Tari Tirto Kencono. Di sana aku bisa menari dengan bebas, penuh warna, seperti dulu. Tapi seiring waktu, aku mulai sadar bahwa hidup bukan cuma soal menari. Aku mulai ikut les Matematika, mempersiapkan diri untuk masa depan.

        Suatu hari, wali kelasku menunjukku ikut mengisi acara perpisahan sekolah.
“Asti, kamu nyanyi, ya. Lagu campur sari dan keroncong. Suaramu bagus!”
Aku kaget tapi senang. Aku berlatih keras dengan grup band Kalangbret, menyanyikan “Gethuk” dan “Melati dari Jaya Giri.” Ketika tampil di panggung, aku melihat Nanang dan Emak tersenyum dari barisan depan. Wajah mereka sumringah, seolah berkata ‘itu cucu kami!’

        Masuk SMA, hidupku berubah cepat. Aku ikut les Bahasa Inggris di Persahabatan English Course, les komputer, juga Bahasa Jepang. Aku mulai jarang menari, tapi sesekali tetap menerima job pentas karena permintaan keluarga. Namun suatu kali, aku mengikuti kompetisi pop singer se-Karesidenan Kediri bersama grup Walles ‘88.

        Saat pulang, Nanang tampak marah.
“Asti! Kenapa ikut lomba lagu pop? Keluarga kita itu penyanyi keroncong, bukan penyanyi pop!”
Aku menunduk. “Asti cuma ingin coba, Nang. Lagunya juga bagus, Asti dapat juara harapan satu, lho.”
Nanang mendengus pelan. “Juara bukan segalanya. Patuh itu yang penting.”

Aku diam. Entah aku patuh karena cinta atau karena takut mengecewakan mereka.

        Seiring waktu, aku berhenti menari. Aku mulai berkerudung dan lebih fokus pada kuliah di Surabaya. Tapi di sela-sela kuliah, aku tetap menyalurkan bakatku dengan ikut les organ bersama Kak Agung, kakak kelas jurusan Seni Rupa.
“Asti, kamu berbakat, lho. Sayang kalau berhenti. Tampil aja di pentas kampus nanti.”
Aku tersenyum tipis. “Lihat nanti, Kak. Aku takut keluarga nggak setuju.”

        Tapi waktu terus berjalan. Aku kehilangan satu per satu orang yang paling kucintai—Nanang, Buyut, Bapak, Emak, dan akhirnya Ibu.
        Aku duduk di depan rumah suatu sore, memandangi langit jingga yang perlahan meredup. “Asti belum sempat bikin mereka bangga sepenuhnya...” bisikku pelan.

        Kini aku sadar, mungkin dulu aku patuh bukan karena takut. Aku hanya terlalu ingin mereka bahagia. Kini, ketika semuanya telah tiada, aku ingin meneruskan semangat mereka dalam cara yang berbeda—dengan tetap mencintai seni, tapi juga mencintai diriku sendiri.

                                                                                                            Sampang, 18-10-2025; 16:35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...