Cerita Mini:
Cerita Sabrina dan Bagus
Oleh: Srisa
Di halaman sekolah yang rindang,
Sabrina baru saja turun dari mobil mewahnya. Dengan lembut, ia tersenyum pada
satpam dan menyapa teman-temannya. Meski berasal dari keluarga kaya, Sabrina
tidak pernah bersikap sombong. Ia terkenal sopan dan berperasaan halus di
kalangan siswa kelas X-2.
Namun, pagi itu suasananya berbeda. Sirla, teman sekelasnya yang dikenal suka membuat keributan, menghampirinya dengan tatapan sinis.
“Wah, Sabrina… ternyata kamu cuma anak angkat, ya? Pantas saja Mama bilang kamu
bukan anak kandung Bu Rine!” kata Sirla lantang, cukup keras untuk menarik
perhatian siswa lain.
Sabrina tertegun. Kata-kata itu
menusuk hatinya dalam-dalam. Ia tidak tahu dari mana Sirla tahu rahasia besar
yang selama ini disembunyikan oleh Mama Rine. Air matanya menetes tanpa bisa
ditahan.
Beberapa siswa mulai berbisik-bisik. Di tengah
keramaian itu, datanglah Bagus, ketua kelas XI-1 yang dikenal berjiwa pemimpin
dan disegani banyak siswa. Melihat Sabrina menangis, ia segera mendekat. “Ada
apa ini? Mengapa kamu mempermalukan temanmu sendiri, Sirla?” tanyanya dengan
tegas.
Sirla memutar bola matanya. “Aku hanya bilang yang
sebenarnya. Dia bukan anak kandung Bu Rine. Semua orang berhak tahu, kan?”
katanya dengan nada angkuh.
Bagus menatap Sirla dengan dingin. “Kamu tak berhak
membuka aib orang lain. Kalau pun itu benar, tidak ada yang salah menjadi anak
angkat. Yang salah adalah menghina orang lain.”
Sirla terdiam, lalu melengos pergi dengan kesal.
Sabrina hanya bisa menangis pelan. Bagus menatapnya
penuh iba. Saat menatap wajah Sabrina lebih lama, entah mengapa hatinya
bergetar aneh. Tatapan mata itu terasa sangat familiar, seolah ia pernah
melihatnya bertahun-tahun lalu.
Dalam
benak Bagus, terlintas kenangan masa kecil. Ia teringat adik perempuannya, Sabila,
yang hilang saat usianya baru lima tahun. Setelah ayah mereka meninggal karena
sakit jantung, ibu mereka terpaksa menitipkan Sabila pada keluarga kaya yang sebenarnya
masih family dan bersedia menanggung biaya hidupnya. Sejak saat itu, Bagus tidak
pernah melihat adiknya lagi.
Bagus menatap Sabrina lagi—nama, wajah, bahkan tahi
lalat kecil di bawah mata kirinya sama persis seperti adik yang dulu ia
rindukan.
“Sabrina…” gumamnya pelan, “kamu dulu… pernah tinggal di kampung Suka Jaya?”
Sabrina menatap Bagus dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tidak ingat banyak… tapi Mama Rine pernah bilang dulu aku diadopsi dari
keluarga jauh yang tinggal di daerah itu.”
Bagus tertegun. Air matanya mengalir tanpa sadar.
“Sabrina… kamu adikku. Kamu Sabila, adikku yang dulu hilang!”
Sabrina terisak. Dunia seolah berhenti berputar. Ia
memeluk Bagus erat, tangisnya pecah di bahu sang kakak yang lama ia rindukan
tanpa tahu wujudnya. Di kejauhan, Sirla yang melihat adegan itu merasa malu dan
menundukkan kepala.
Hari itu, di tempat parkir sekolah, dua saudara
yang lama terpisah itu akhirnya dipertemukan kembali oleh takdir. Sabrina
pulang ke rumah dan memeluk Mama Rine dengan penuh syukur. Ia tahu bahwa meski
bukan ibu kandung, Mama Rine telah merawatnya dengan kasih tulus.
“Terima kasih sudah membesarkanku, Ma,” ucapnya lembut. “Aku akan tetap menjadi anakmu, meski kini aku tahu siapa diriku.”Mama Rine hanya tersenyum sambil menghapus air mata bahagia.
Sampang, 7-10-2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar