Pilihan Ariya
Karya : Srisa
Suara bel istirahat baru saja
berhenti. Kelas XII-1 mulai tenang kembali. Di bangku dekat jendela, Ariya menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Pesan dari panitia Kompetisi
Putra-Putri Daerah Sampang (KPPDS) baru saja masuk.
“Selamat!
Kamu lolos seleksi tahap awal dan wajib mengikuti karantina mulai tanggal 2
sampai 8!”
Ariya menelan ludah.
Tanggal 2 sampai 8... bukankah itu juga jadwal Tes Kemampuan Akademik (TKA)
SNBP?
“Kenapa
wajahmu tegang banget, Ariya?” tanya Nita, sahabat sebangkunya.
Ariya menghela napas panjang. “Aku baru aja dapet
kabar kalau aku lolos KPPDS. Tapi… karantinanya bentrok sama TKA.”
“Lho,
dua-duanya penting, kan?” Nita menatapnya prihatin. “Tapi, kalau salah pilih…
bisa fatal juga.”
Ariya diam. Ia tahu Nita benar.
Sementara di sudut kelas, Endi—cowok yang selama ini selalu jadi penyemangat
sekaligus sumber baper-nya—sedang tertawa bersama teman-teman. Ia juga
peserta KPPDS. Semakin rumit rasanya.
Siang itu, setelah jam pelajaran terakhir, Ariya dipanggil ke ruang guru.
Bu Hera, wali kelasnya, duduk dengan ekspresi lembut tapi tegas.
“Ariya, Ibu
dengar kamu terpilih ikut KPPDS, ya?”
“Iya, Bu…” jawab Ariya pelan.
“Bagus, kamu anak yang aktif. Tapi Ibu ingin kamu pertimbangkan baik-baik. TKA
itu menentukan masa depan kuliahmu. Kalau kamu tinggalkan seminggu, risikonya
besar.”
“Tapi Bu, kesempatan ikut KPPDS itu juga langka. Aku pengen coba… pengen
banggain sekolah juga.”
“Ibu paham,” kata Bu Hera lembut. “Tapi kamu juga harus realistis. Kamu
termasuk siswa eligible. SNBP bisa jadi jalan masa depanmu.”
“Jadi Ibu tidak mendukung saya ikut KPPDS?”
“Ibu tidak bilang begitu. Ibu hanya ingin kamu menimbang: mana yang benar-benar
menjadi harapanmu.”
Kata-kata Bu Hera menggantung di kepala Ariya bahkan sampai malam.
Di rumah, Ariya berdebat dengan dirinya sendiri. Endi
sempat menelpon.
“Ariya, kamu
bakal ikut KPPDS juga, kan? Seru lho kalau kita satu karantina,” suara Endi
terdengar bersemangat.
“Aku… belum tahu, Di. TKA-nya bentrok.”
“Ya ampun, Ariya. Kamu bisa kok bagi waktu. Aku yakin kamu bisa. Lagian, ini
kesempatan langka!”
“Tapi, kalau aku gagal TKA, gimana?”
“Kamu gak akan gagal. Aku yakin kamu hebat.”
Ariya terdiam. Suara Endi menenangkan, tapi juga menambah beban di pikirannya.
Hari berganti cepat. Tanggal 2 tiba.
Semua teman di kelas sibuk mengerjakan soal TKA hari pertama. Ariya menatap
lembar jawabannya dengan perasaan campur aduk. Setiap kali menulis jawaban,
pikirannya terbang ke KPPDS.
Bu Hera lewat di sela-sela bangku dan menepuk
pundaknya pelan.
“Fokus
dulu pada satu hal, Ariya Setelah itu baru putuskan langkah berikutnya.”
Ariya mengangguk pelan. Tapi di hatinya, badai belum reda.
Tapi di saat yang sama, ponselnya kembali bergetar.
Pesan baru dari panitia KPPDS:
“Selamat!
Anda lolos ke tahap karantina. Harap hadir besok pukul 08.00.”
Ariya menatap
dua pesan di depan matanya, satu dari dunia akademik, satu dari dunia mimpi dan
panggung. Ia menatap ke luar jendela, tempat matahari sore menembus kisi-kisi
kelas.
“Jadi…
apa sebenarnya harapanku?” bisiknya lirih.
Dan
cerita berhenti di situ, menggantung di antara dua jalan, di antara logika dan
perasaan, antara masa depan dan kesempatan sesaat.
Sampang, 16-10-2025; 03:13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar