Cerita Mini
Bapak Tulus
Karya: Srisa
Embun pagi masih menempel di dedaunan halaman
sekolah. Di balik pohon bintaro yang rindang, tampak seorang lelaki tua sedang
menyapu halaman dengan tenang. Tubuhnya sudah agak bongkok, rambutnya memutih, tapi
sapu lidi di tangannya bergerak mantap. Namanya Bapak Tulus, tukang kebun di SMA
Negeri 3 Karang Ayem.
Selama puluhan tahun, Bapak Tulus setia bekerja di
sekolah itu. Tak peduli panas, hujan, atau gaji yang tak seberapa. Bagi beliau,
bekerja adalah bentuk ibadah dan rasa syukur.
“Kalau tangan ini masih kuat, berarti Gusti Allah masih beri kesempatan untuk berbuat baik,” ucapnya lirih setiap kali memeras keringat.
Setiap pagi, ia datang lebih awal bersama anak
laki-lakinya, Tegar, yang masih duduk di bangku SMA di sekolah yang sama. Mereka
berjalan kaki dari rumah di pinggir sawah, sambil membawa bekal nasi bungkus
dan segelas air putih dalam botol bekas.
Di
sela-sela membersihkan taman, Bapak Tulus sering berkata,
“Garuk daun ini, Gar… bukan cuma biar halaman bersih. Tapi biar hatimu juga
bersih dari malas dan iri.”
Tegar mengangguk, menahan haru. Kadang, sebelum masuk kelas, ia membantu
Bapaknya memungut daun-daun kering di halaman belakang, lalu cuci tangan dan
berganti seragam di ruang kecil dekat gudang alat kebun.
Menjelang
pukul setengah tujuh, lonceng tanda masuk berbunyi.
“Sudah, Gar. Sana masuk kelas, jangan terlambat,” ujar Bapak Tulus sambil
menepuk bahunya.
Tegar tersenyum. “Iya, Pak. Doain Tegar bisa bikin Bapak bangga.”
“Bapak nggak minta apa-apa, Nak. Asal kamu jadi orang jujur dan berguna, itu sudah
lebih dari cukup.”
Waktu terus berjalan. Hari berganti tahun. Bapak
Tulus tetap bekerja, meski umurnya sudah melewati tujuh puluh. Kepala sekolah
dan para guru sepakat untuk tetap mempekerjakannya karena kejujurannya tak
ternilai.
Hingga suatu hari, Tegar lulus. Ia diterima di perguruan
tinggi negeri di Surabaya melalui beasiswa. Tangis haru pun pecah di beranda
rumah kecil mereka.
“Pak, Tegar berangkat ya…”
“Iya, Nak. Jangan lupa, ilmu tanpa kejujuran itu hampa.”
Empat tahun setengah berlalu.
Tegar lulus dengan IPK yang memuaskan, dan tak lama kemudian mengikuti tes CPNS
dan diterima sebagai guru PNS. Takdir membawanya kembali ke tempat yang
membesarkannya: SMA Negeri 3 Karang Ayem.
Hari pertamanya mengajar, ia
berdiri di depan gerbang sekolah, menatap halaman yang kini tidak ada Bapak
membersihkan rumput atau pun daun kering. Di sana, dulu ia dan Bapaknya menyapu
bersama setiap pagi. Tapi kini, sapu lidi itu sudah tergantung diam di gudang,
tak lagi tergenggam tangan renta yang penuh kasih. Tukang kebun yang baru sudah
selesai membersihkan dan mungkin pulang.
Sore itu, setelah kelas usai, Tegar duduk di bangku
taman dekat pohon bintaro. Angin berhembus pelan. Ia menunduk, suaranya nyaris
berbisik,
“Pak… Tegar sudah di sini lagi. Tapi tanpa Bapak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar