Sabtu, 18 Oktober 2025

Cerita Mini : Bapak Tulus

Cerita Mini 


 Bapak Tulus

Karya: Srisa

Embun pagi masih menempel di dedaunan halaman sekolah. Di balik pohon bintaro yang rindang, tampak seorang lelaki tua sedang menyapu halaman dengan tenang. Tubuhnya sudah agak bongkok, rambutnya memutih, tapi sapu lidi di tangannya bergerak mantap. Namanya Bapak Tulus, tukang kebun di SMA Negeri 3 Karang Ayem.

Selama puluhan tahun, Bapak Tulus setia bekerja di sekolah itu. Tak peduli panas, hujan, atau gaji yang tak seberapa. Bagi beliau, bekerja adalah bentuk ibadah dan rasa syukur.
“Kalau tangan ini masih kuat, berarti Gusti Allah masih beri kesempatan untuk berbuat baik,” ucapnya lirih setiap kali memeras keringat.

Setiap pagi, ia datang lebih awal bersama anak laki-lakinya, Tegar, yang masih duduk di bangku SMA di sekolah yang sama. Mereka berjalan kaki dari rumah di pinggir sawah, sambil membawa bekal nasi bungkus dan segelas air putih dalam botol bekas.

Di sela-sela membersihkan taman, Bapak Tulus sering berkata,
“Garuk daun ini, Gar… bukan cuma biar halaman bersih. Tapi biar hatimu juga bersih dari malas dan iri.”
Tegar mengangguk, menahan haru. Kadang, sebelum masuk kelas, ia membantu Bapaknya memungut daun-daun kering di halaman belakang, lalu cuci tangan dan berganti seragam di ruang kecil dekat gudang alat kebun.

Menjelang pukul setengah tujuh, lonceng tanda masuk berbunyi.
“Sudah, Gar. Sana masuk kelas, jangan terlambat,” ujar Bapak Tulus sambil menepuk bahunya.
Tegar tersenyum. “Iya, Pak. Doain Tegar bisa bikin Bapak bangga.”
“Bapak nggak minta apa-apa, Nak. Asal kamu jadi orang jujur dan berguna, itu sudah lebih dari cukup.”

Waktu terus berjalan. Hari berganti tahun. Bapak Tulus tetap bekerja, meski umurnya sudah melewati tujuh puluh. Kepala sekolah dan para guru sepakat untuk tetap mempekerjakannya karena kejujurannya tak ternilai.

Hingga suatu hari, Tegar lulus. Ia diterima di perguruan tinggi negeri di Surabaya melalui beasiswa. Tangis haru pun pecah di beranda rumah kecil mereka.
“Pak, Tegar berangkat ya…”
“Iya, Nak. Jangan lupa, ilmu tanpa kejujuran itu hampa.”

Empat tahun setengah berlalu. Tegar lulus dengan IPK yang memuaskan, dan tak lama kemudian mengikuti tes CPNS dan diterima sebagai guru PNS. Takdir membawanya kembali ke tempat yang membesarkannya: SMA Negeri 3 Karang Ayem.

Hari pertamanya mengajar, ia berdiri di depan gerbang sekolah, menatap halaman yang kini tidak ada Bapak membersihkan rumput atau pun daun kering. Di sana, dulu ia dan Bapaknya menyapu bersama setiap pagi. Tapi kini, sapu lidi itu sudah tergantung diam di gudang, tak lagi tergenggam tangan renta yang penuh kasih. Tukang kebun yang baru sudah selesai membersihkan dan mungkin pulang.

Sore itu, setelah kelas usai, Tegar duduk di bangku taman dekat pohon bintaro. Angin berhembus pelan. Ia menunduk, suaranya nyaris berbisik,
“Pak… Tegar sudah di sini lagi. Tapi tanpa Bapak.”

Air matanya menetes, jatuh di atas tanah yang dulu sering ia bersihkan bersama sang ayah. Ia tahu, semua yang dimilikinya hari ini bukan semata hasil kepintaran, tapi berkat ketulusan seorang Bapak Tulus- yang bekerja dalam diam, jarang mengeluh, berdoa tanpa pamrih, dan meninggalkan warisan paling berharga: kejujuran dan cinta tanpa batas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...