Rabu, 15 Oktober 2025

Cerita Mini : Senyumin Aja, En

 Cerita Mini

Senyumin Aja, En

Karya: Srisa

Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kelas XII-1. Suasana ramai seperti biasa, tawa, ejekan, dan bisikan. En duduk di bangku depan, menatap buku catatannya yang penuh coretan kata-kata motivasi kecil yang ia tulis sendiri:

“Dunia gak akan berhenti cuma karena orang lain gak suka kamu.”

Namun, baru saja bel masuk berbunyi, suara khas Saritem langsung terdengar.

“Eh, eh, lihat tuh si En! Sendirian lagi! Ngomong sama boneka, ya?” ejek Saritem sambil disambut tawa Bebeb dan Boiyen.

En menarik napas. Ia tidak menoleh. Hanya tersenyum tipis.
“Biarin aja. Boneka nggak pernah jahat kayak manusia,” gumamnya pelan dan melemparkan senyum kepada mereka.

“Apaan tuh? Ngomong apa sih? Ih, aneh malah senyum!” seru Ecek, matanya melirik penuh sindiran.

Nameys, sahabatnya yang duduk dua baris di depan, langsung menoleh.
“Udah, kalian tuh keterlaluan!” katanya, menatap tajam.
Namun, perundung itu hanya tertawa dan kembali ke kursinya seolah tak terjadi apa-apa.

Jam istirahat, En berjalan ke perpustakaan sekolah, tempat yang biasa dikunjungi untuk sekadar membaca buku atau menuliskan pengalamannya hari ini. Ia duduk di lantai sambil “Ya Allah... kalau aku boleh minta,” bisiknya lirih, “turunkan hujan, ya. Biar hatiku juga adem.”

Angin berhembus lembut, tapi tidak ada tanda-tanda hujan. Dari jauh, Nameys datang membawa dua kotak susu stroberi.

“Eh, aku tahu kamu pasti ngelamun lagi,” katanya sambil duduk di samping En.
En tersenyum lemah. “Kadang aku pengen marah, Nameys. Tapi aku tahu, kalau aku marah, aku sama aja kayak mereka.”
“Ya, tapi kamu juga manusia, En. Kamu boleh capek,” ujar Nameys dengan gaya khasnya.

En menghela napas. “Bunda pasti tahu aku sedih, tapi beliau nggak pernah tanya langsung. Katanya, aku harus belajar menghadapi dunia. Dan... aku ngerti sekarang.”

Keesokan harinya, di pelajaran Bahasa Indonesia, Bu Srisa memerhatikan En yang tampak tidak fokus. Setelah pelajaran usai, beliau memanggilnya.

“En, ke sini sebentar, Nak.”
En menunduk, menunggu semua siswa keluar.

“Kamu kelihatan capek akhir-akhir ini. Ada yang ingin kamu ceritakan, mungkin?” tanya Bu Srisa lembut. En menggigit bibir. “Enggak, Bu. Saya cuma... ya, lagi belajar sabar aja.”
Bu Srisa tersenyum bijak. “Kamu itu kuat, tapi jangan sampai sabar membuat kamu terluka sendirian. Kadang, bicara itu bukan tanda lemah.”
En menatap mata gurunya. Ada kehangatan di sana—sesuatu yang tak ia temukan di tatapan teman-temannya.
“Terima kasih, Bu,” katanya pelan. “Doakan saya, ya.”

“Tentu, En. Saya selalu doakan semua murid saya, termasuk kamu.”

Beberapa hari berlalu. Perundungan tak berhenti, bahkan makin menjadi-jadi.
Suatu pagi, En datang lebih awal. Di papan tulis tertulis:

EN = EN Bodoh, EN tak Punya Teman!

Tawa kecil terdengar dari pojokan. Saritem dan Boiyen menutup mulut pura-pura tak tahu. En menatap tulisan itu lama. Dadanya panas, tapi ia tak mau menangis. Ia ambil penghapus, menghapus tulisan itu pelan-pelan. Lalu menulis balik:

Terima kasih sudah mengingat namaku. Aku masih berjuang kok!

Kelas hening sejenak. Bahkan Saritem menatapnya dengan tatapan bingung.

“Gila... dia nulis balik!” gumam Ribut pelan.
“Terserah dia deh,” sahut Idem dengan nada ogah-ogahan.
Namun dalam hati kecil mereka, ada rasa malu yang belum bisa mereka ungkapkan.

Beberapa bulan kemudian...
Pengumuman SNBP. Semua siswa menunggu dengan tegang. Saritem menjerit, “Aduh! Aku gak lolos!” Boiyen menunduk, wajahnya muram.

Sementara itu, Nameys berlari menghampiri En yang duduk di bawah pohon trembesi. Tempat biasa ia menenangkan diri selain di perpus.
“En! Kamu lulus SNBP?” teriaknya bertanya kepada En. En menjawab dengan tidak percaya, lalu air matanya jatuh.
“Alhamdulillah, Nameys?”
“Ya! Allah bales sabarmu, En!”

Tak lama, En langsung memberitahukan lewat WA kepada Bunda dan Ayahnya. Bunda membalas

“Bunda bangga banget sama kamu, Nak,”

“Bunda... akhirnya aku bisa buktiin kalau sabar itu bukan berarti kalah.”

Bu Srisa juga datang menghampiri, matanya berkaca-kaca.
“Selamat, En. Kamu layak mendapatkannya.”

En menatap ke langit. Awan mendung bergulung perlahan.
Tetes hujan pertama jatuh ke pipinya.

“Alhamdulillah...” bisiknya.
“Hujannya datang juga.”

Nameys tersenyum. “Senyumin aja, En. Dunia akhirnya ngerti bahasa hatimu.”

Sampang, 16-10-2025; 02:37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...