Cerita Mini
Senyumin Aja, En
Karya: Srisa
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kelas XII-1.
Suasana ramai seperti biasa, tawa, ejekan, dan bisikan. En duduk di bangku depan,
menatap buku catatannya yang penuh coretan kata-kata motivasi kecil yang ia
tulis sendiri:
“Dunia gak akan berhenti cuma karena orang lain gak suka kamu.”
Namun, baru saja bel masuk berbunyi, suara khas
Saritem langsung terdengar.
“Eh, eh,
lihat tuh si En! Sendirian lagi! Ngomong sama boneka, ya?” ejek Saritem sambil
disambut tawa Bebeb dan Boiyen.
En menarik
napas. Ia tidak menoleh. Hanya tersenyum tipis.
“Biarin aja. Boneka nggak pernah jahat kayak manusia,” gumamnya pelan dan
melemparkan senyum kepada mereka.
“Apaan
tuh? Ngomong apa sih? Ih, aneh malah senyum!” seru Ecek, matanya melirik penuh
sindiran.
Nameys, sahabatnya yang duduk dua baris di depan,
langsung menoleh.
“Udah, kalian tuh keterlaluan!” katanya, menatap tajam.
Namun, perundung itu hanya tertawa dan kembali ke kursinya seolah tak terjadi
apa-apa.
Jam istirahat, En berjalan ke perpustakaan sekolah,
tempat yang biasa dikunjungi untuk sekadar membaca buku atau menuliskan
pengalamannya hari ini. Ia duduk di lantai sambil “Ya Allah... kalau aku boleh
minta,” bisiknya lirih, “turunkan hujan, ya. Biar hatiku juga adem.”
Angin berhembus lembut, tapi tidak ada tanda-tanda
hujan. Dari jauh, Nameys datang membawa dua kotak susu stroberi.
“Eh, aku
tahu kamu pasti ngelamun lagi,” katanya sambil duduk di samping En.
En tersenyum lemah. “Kadang aku pengen marah, Nameys. Tapi aku tahu, kalau aku
marah, aku sama aja kayak mereka.”
“Ya, tapi kamu juga manusia, En. Kamu boleh capek,” ujar Nameys dengan gaya
khasnya.
En menghela napas. “Bunda pasti tahu aku sedih,
tapi beliau nggak pernah tanya langsung. Katanya, aku harus belajar menghadapi
dunia. Dan... aku ngerti sekarang.”
Keesokan harinya, di pelajaran Bahasa Indonesia, Bu
Srisa memerhatikan En yang tampak tidak fokus. Setelah pelajaran usai, beliau
memanggilnya.
“En, ke
sini sebentar, Nak.”
En menunduk, menunggu semua siswa keluar.
“Kamu
kelihatan capek akhir-akhir ini. Ada yang ingin kamu ceritakan, mungkin?” tanya
Bu Srisa lembut. En menggigit bibir. “Enggak, Bu. Saya cuma... ya, lagi belajar
sabar aja.”
Bu Srisa tersenyum bijak. “Kamu itu kuat, tapi jangan sampai sabar membuat kamu
terluka sendirian. Kadang, bicara itu bukan tanda lemah.”
En menatap mata gurunya. Ada kehangatan di sana—sesuatu yang tak ia temukan di
tatapan teman-temannya.
“Terima kasih, Bu,” katanya pelan. “Doakan saya, ya.”
“Tentu,
En. Saya selalu doakan semua murid saya, termasuk kamu.”
Beberapa hari berlalu. Perundungan tak berhenti,
bahkan makin menjadi-jadi.
Suatu pagi, En datang lebih awal. Di papan tulis tertulis:
EN = EN Bodoh,
EN tak Punya Teman!
Tawa kecil terdengar dari pojokan. Saritem dan
Boiyen menutup mulut pura-pura tak tahu. En menatap tulisan itu lama. Dadanya
panas, tapi ia tak mau menangis. Ia ambil penghapus, menghapus tulisan itu
pelan-pelan. Lalu menulis balik:
Terima
kasih sudah mengingat namaku. Aku masih berjuang kok!
Kelas hening sejenak. Bahkan Saritem menatapnya
dengan tatapan bingung.
“Gila...
dia nulis balik!” gumam Ribut pelan.
“Terserah dia deh,” sahut Idem dengan nada ogah-ogahan.
Namun dalam hati kecil mereka, ada rasa malu yang belum bisa mereka ungkapkan.
Beberapa bulan kemudian...
Pengumuman SNBP. Semua siswa menunggu dengan tegang. Saritem menjerit, “Aduh!
Aku gak lolos!” Boiyen menunduk, wajahnya muram.
Sementara itu, Nameys berlari menghampiri En yang
duduk di bawah pohon trembesi. Tempat biasa ia menenangkan diri selain di
perpus.
“En! Kamu lulus SNBP?” teriaknya bertanya kepada En. En menjawab dengan tidak
percaya, lalu air matanya jatuh.
“Alhamdulillah, Nameys?”
“Ya! Allah bales sabarmu, En!”
Tak lama,
En langsung memberitahukan lewat WA kepada Bunda dan Ayahnya. Bunda membalas
“Bunda
bangga banget sama kamu, Nak,”
“Bunda...
akhirnya aku bisa buktiin kalau sabar itu bukan berarti kalah.”
Bu Srisa
juga datang menghampiri, matanya berkaca-kaca.
“Selamat, En. Kamu layak mendapatkannya.”
En
menatap ke langit. Awan mendung bergulung perlahan.
Tetes hujan pertama jatuh ke pipinya.
“Alhamdulillah...”
bisiknya.
“Hujannya datang juga.”
Nameys
tersenyum. “Senyumin aja, En. Dunia akhirnya ngerti bahasa hatimu.”
Sampang, 16-10-2025; 02:37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar