Shinji, Oren, dan Putih
Oleh: Srisa
Di sebuah rumah
sederhana di Perumahan Kota Sampang, hidup tiga ekor kucing yang saling
menyayangi satu sama lain: Shinji, Oren, dan Putih. Mereka bukan kucing ras
mahal atau hasil perkawinan terencana, melainkan makhluk kecil yang datang dari
jalanan, dari tempat di mana manusia sering tak lagi menaruh belas kasih.
Shinji, seekor kucing
jantan, berbulu abu-abu keperakan dengan sedikit belang di ekor. Tubuhnya
tegap, namun sorot matanya lembut. Ia adalah kucing campuran medium-persia dan
kampung. Dulu, ia ditemukan oleh Galih di pinggir jalan ramai Kota Malang,
tempatnya berkuliah. Shinji dalam keadaan kotor, lapar, dan ketakutan. Saat itu
umurnya kira-kira baru tiga bulan. Sejak hari itu, Shinji tak pernah lepas dari
kasih sayang manusia yang menyelamatkannya.
“Shin, makan dulu ya… ini tongkol rebus
kesukaanmu,” kata Galih suatu sore sambil menaruh piring kecil di lantai.
Shinji mengeong pelan, seolah mengucap terima kasih. Ia menunduk makan dengan
tenang. Delapan belas bulan yang lalu, Shinji dan Sachi selalu makan
bersama dengan damai.
Kini, Shinji sudah 4 tahun tanpa Sachi
dan dua penghuni lain rumah itu, Oren dan Putih, telah beranjak dewasa, berusia
satu setengah tahun. Mereka adalah dua dari tujuh anak Sachi, seekor kucing
betina yang dulu diselamatkan dari tempat sampah.
Sachi melahirkan tujuh anak, tapi hanya
Oren dan Putih yang mampu bertahan dari serangan virus mematikan.
“Putih, jangan rebutan, makan
pelan-pelan,” kata Galih sambil tersenyum melihat dua anak kucing itu saling
dorong di mangkuk susu. Oren menatap kakaknya dengan mata bulat, lalu mendekur,
“Miawww, aku duluan, aku lapar banget!” Putih menepuk pelan kepala Oren dengan
kaki depannya, “Miawww, kamu selalu duluan, Oreennn!”
Sachi, induk mereka, sudah hilang sejak
delapan belas bulan lalu. Suatu hari ia keluar rumah dan tak pernah kembali.
Entah, kalau dia sakit dan menyembunyikan dirinya, atau mati tertabrak seperti
yang dialami beberapa temannya di sekitar jalanan perumahan. Entah di mana
tidak tahu. Sejak kepergian itu, Shinji mengambil alih peran pelindung. Ia
bukan ayah mereka, tapi kasihnya seolah ayah sejati.
Suatu pagi, ketika Oren dan Putih
hendak bermain di halaman, Shinji duduk di ambang pintu, menatap tajam keluar.
“Shinji, aku cuma mau lihat kupu-kupu
kok,” rengek Putih sambil menengok ke arah taman.
Shinji mengeong pelan, seolah berkata,
“Jangan jauh-jauh. Dunia di luar tidak seaman rumah ini.”
Kini hanya mereka bertiga yang menjaga
rumah itu. Saat malam tiba, suara dengkuran lembut mereka menjadi musik penutup
hari. Kadang Oren tidur di bawah kursi, Putih di dekat Galih, dan Shinji
berbaring di depan pintu, menjaga rumah dengan mata separuh terpejam.
“Shinji, kamu selalu di situ ya?” tanya
Galih suatu malam. “Menjaga seperti kepala rumah tangga saja.” Shinji membuka
matanya sebentar, mengeong lembut. Galih tertawa kecil. “Baiklah, jaga
rumahnya, ya. Aku titip mereka.”
Ketiganya telah disteril, termasuk
Sachi. Bukan untuk menghalangi kehidupan baru, melainkan untuk melindungi
mereka dari penderitaan yang sering dialami kucing jalanan, kelaparan, sakit,
dan telantar.
Melihat ketiganya hidup damai, Galih
merasa bersyukur. “Kalian ini bukan sekadar hewan peliharaan,” ujarnya pelan
sambil membelai bulu Putih. “Kalian keluarga.”
Shinji menatap pintu yang dulu menjadi
jalan kepergian Sachi. Kadang ia duduk lama di sana, seolah menunggu Sachi
pulang.
“Miawww…Miawww…” gumamnya lirih, entah kepada siapa. Sekelebat bayangan Sachi
mungkin dirasakannya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu, tugasnya kini bukan lagi
menunggu, melainkan menjaga: menjaga Oren, Putih, dan rumah kecil yang kini
menjadi dunia mereka.
Miawww… Sayangi kami! Kami makhluk
Tuhan, sekecil apa pun. Kalaupun kalian tak bisa menolong semuanya, setidaknya
jagalah yang ada di sekitar kalian. Setiap makhluk berhak hidup dengan layak, mendapatkan
kasih, dan terbebas dari penderitaan akibat ketidakpedulian manusia.
Sampang, 10 Oktober
2025, 22:13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar