Sabtu, 18 Oktober 2025

Cerita Mini : Bu Setia Penyebar Rahasia, Lhoh!

 Cerita Mini 

Bu Setia Penyebar Rahasia, Lhoh!

Karya: Srisa

        Suasana pagi di sekolah terasa riuh. Suara langkah kaki siswa dan bunyi dering bel menandai dimulainya pelajaran pertama. Di ruang guru, Bu Setia duduk sambil memeriksa hasil ulangan. Wajahnya lembut, tapi sorot matanya tegas. Ia dikenal sebagai wali kelas yang penuh kasih, sering menjadi tempat curhat siswa-siswinya. 

        Tiba-tiba, Pak Surhaf, guru Seni yang dikenal humoris, datang menghampirinya.
“Bu Setia,” katanya dengan nada serius, “Pak Rangga barusan lihat ada siswa dari kelas X MIPA-6, Adaya dan Kokir … berganti baju di kelas. Padahal mereka kan pacaran.”

Bu Setia tertegun. “Astaghfirullah… masa iya, Pak? Jangan-jangan salah lihat?”

“Saya juga takut salah, Bu. Tapi sepertinya benar.”

        Tak ingin gegabah, Bu Setia mencari kebenaran. Ia menanyakan hal itu pada Pak Rangga, guru olahraga yang sering melihat siswa-siswa latihan di sekitar kelas itu.
“Pak Rangga,” katanya hati-hati, “benarkah Adaya dan Kokir sering berduaan di kelas?”

        Pak Rangga mengangguk pelan. “Iya, Bu. Saya juga sudah menegur mereka.”

        Hati Bu Setia gundah. Setelah pelajaran selesai, ia memanggil Adaya ke ruangannya.
“Daya,” katanya dengan lembut, “Ibu ingin bicara dari hati ke hati. Kamu tahu, Ibu tidak punya anak perempuan. Jadi Ibu anggap kamu seperti anak sendiri. Hati-hati, Nak. Kalau kehormatan perempuan sudah retak, susah kembali utuh.”

        Mata Bu Setia mulai berkaca-kaca. Tapi Adaya menjawab lirih, “Saya memang di kelas waktu itu, Bu, tapi tidak berdua. Ada teman lain.”

        Saat kejadian Bu Setia sedang mengajar dan BK memanggilnya untuk dimintai keterangan. Dengan tenang, Bu Setia hanya menyampaikan apa yang didengarnya langsung dari Adaya. Ia pikir, semua sudah selesai.

        Namun, ternyata tidak.

        Beberapa hari kemudian, Nina- salah satu siswa yang dekat dengan Bu Setia- datang dengan wajah panik.
“Bu, maaf… Adaya bilang ke teman-teman kalau Ibu menyebarkan rahasianya ke guru-guru lain. Katanya, mulai sekarang kalau ada masalah, jangan curhat ke Ibu, tapi langsung ke BK.”

        Bu Setia terdiam. Wajahnya pucat. “Apa… Ibu yang menyebarkan rahasia? Astaghfirullah…”

        Tak hanya Nina, hampir seluruh siswa kelas X MIPA-6 mengirim pesan lewat wa, memberitahu kabar itu kepada Bu Setia. Hanya Sariyem, Icek, dan Kicrit yang tidak memberi kabar kepada Bu Setia.

“Mengapa Adaya bisa menuduh begitu?” tanya Bu Setia pada Nina dengan suara bergetar.

        Nina menjelaskan pelan. “Ada guru yang bicara kurang pantas tentang dia. Lalu dia dengar dari Sariyem kalau yang ngomong itu Bu Rurut. Waktu itu Adaya tidak masuk dan mengira, pasti Ibu yang menceritakan semuanya ke kantor.”

        Bu Setia menutup mulutnya dengan tangan. “Padahal… Ibu tidak pernah menceritakan apa pun. Selain ke BK dan guru yang terlibat. Itu pun karena mereka menceritakan peristiwa itu, bukan saya yang bercerita.  Ya Allah…”

        Air matanya jatuh pelan. “Kalau saja Adaya mau bertanya langsung, mungkin semuanya tidak akan seperti ini.”

        Sejak saat itu, jika ada siswa yang ingin curhat, Bu Setia selalu memastikan dulu, “Apakah kamu percaya pada Ibu? Apakah kamu belum bercerita ke orang lain? Kalau nanti ada kabar yang berbeda, jangan tuduh Ibu menyebarkan rahasiamu, ya?”

        Dalam hati, ia merasa sedih. Selama dua puluh tahun menjadi guru, belum pernah ada siswa yang memfitnahnya. Ia selalu menjaga rahasia dan kehormatan muridnya sebaik mungkin.

        Di tengah kesedihan itu, Pak Surhaf mendatanginya lagi. “Bu, tahu tidak? Katanya saya juga mau dilaporkan ke polisi kalau masih mempermasalahkan Adaya dan Kokir pacaran di kelas.”

        Bu Setia hanya tersenyum hambar. “Biarlah, Pak Surhaf. Diam bukan berarti tidak tahu. Kadang diam itu tanda ikhlas. Suatu hari nanti disadarkan dan kembali menjadi orang baik.”

        Di luar, lonceng sekolah berbunyi lagi. Para siswa berlarian ke kelas. Bu Setia memandang jendela, menatap langit yang mulai mendung. Dalam hatinya ia berdoa lirih,
“Ya Allah, kuatkan hati ini. Jadikan fitnah ini ladang sabar, bukan sumber luka.” 

      Sampang, 19-10-2025; 10:19 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...