Cerita Mini
Bu Setia Penyebar Rahasia, Lhoh!
Karya:
Srisa
Suasana
pagi di sekolah terasa riuh. Suara langkah kaki siswa dan bunyi dering bel
menandai dimulainya pelajaran pertama. Di ruang guru, Bu Setia duduk sambil
memeriksa hasil ulangan. Wajahnya lembut, tapi sorot matanya tegas. Ia dikenal
sebagai wali kelas yang penuh kasih, sering menjadi tempat curhat
siswa-siswinya.
Tiba-tiba,
Pak Surhaf, guru Seni yang dikenal humoris, datang menghampirinya.
“Bu Setia,” katanya dengan nada serius, “Pak Rangga barusan lihat ada siswa dari
kelas X MIPA-6, Adaya dan Kokir … berganti baju di kelas. Padahal mereka kan
pacaran.”
Bu Setia
tertegun. “Astaghfirullah… masa iya, Pak? Jangan-jangan salah lihat?”
“Saya
juga takut salah, Bu. Tapi sepertinya benar.”
Tak ingin
gegabah, Bu Setia mencari kebenaran. Ia menanyakan hal itu pada Pak Rangga,
guru olahraga yang sering melihat siswa-siswa latihan di sekitar kelas itu.
“Pak Rangga,” katanya hati-hati, “benarkah Adaya dan Kokir sering berduaan di
kelas?”
Pak
Rangga mengangguk pelan. “Iya, Bu. Saya juga sudah menegur mereka.”
Hati Bu
Setia gundah. Setelah pelajaran selesai, ia memanggil Adaya ke ruangannya.
“Daya,” katanya dengan lembut, “Ibu ingin bicara dari hati ke hati. Kamu tahu,
Ibu tidak punya anak perempuan. Jadi Ibu anggap kamu seperti anak sendiri.
Hati-hati, Nak. Kalau kehormatan perempuan sudah retak, susah kembali utuh.”
Mata Bu
Setia mulai berkaca-kaca. Tapi Adaya menjawab lirih, “Saya memang di kelas
waktu itu, Bu, tapi tidak berdua. Ada teman lain.”
Saat kejadian
Bu Setia sedang mengajar dan BK memanggilnya untuk dimintai keterangan. Dengan
tenang, Bu Setia hanya menyampaikan apa yang didengarnya langsung dari Adaya.
Ia pikir, semua sudah selesai.
Namun,
ternyata tidak.
Beberapa
hari kemudian, Nina- salah satu siswa yang dekat dengan Bu Setia- datang dengan
wajah panik.
“Bu, maaf… Adaya bilang ke teman-teman kalau Ibu menyebarkan rahasianya ke
guru-guru lain. Katanya, mulai sekarang kalau ada masalah, jangan curhat ke
Ibu, tapi langsung ke BK.”
Bu Setia
terdiam. Wajahnya pucat. “Apa… Ibu yang menyebarkan rahasia? Astaghfirullah…”
Tak hanya
Nina, hampir seluruh siswa kelas X MIPA-6 mengirim pesan lewat wa, memberitahu kabar
itu kepada Bu Setia. Hanya Sariyem, Icek, dan Kicrit yang tidak memberi kabar kepada Bu Setia.
“Mengapa
Adaya bisa menuduh begitu?” tanya Bu Setia pada Nina dengan suara bergetar.
Nina
menjelaskan pelan. “Ada guru yang bicara kurang pantas tentang dia. Lalu dia
dengar dari Sariyem kalau yang ngomong itu Bu Rurut. Waktu itu Adaya tidak
masuk dan mengira, pasti Ibu yang menceritakan semuanya ke kantor.”
Bu Setia
menutup mulutnya dengan tangan. “Padahal… Ibu tidak pernah menceritakan apa
pun. Selain ke BK dan guru yang terlibat. Itu pun karena mereka menceritakan
peristiwa itu, bukan saya yang bercerita. Ya Allah…”
Air
matanya jatuh pelan. “Kalau saja Adaya mau bertanya langsung, mungkin semuanya
tidak akan seperti ini.”
Sejak
saat itu, jika ada siswa yang ingin curhat, Bu Setia selalu memastikan dulu,
“Apakah kamu percaya pada Ibu? Apakah kamu belum bercerita ke orang lain? Kalau
nanti ada kabar yang berbeda, jangan tuduh Ibu menyebarkan rahasiamu, ya?”
Dalam
hati, ia merasa sedih. Selama dua puluh tahun menjadi guru, belum pernah ada
siswa yang memfitnahnya. Ia selalu menjaga rahasia dan kehormatan muridnya
sebaik mungkin.
Di tengah
kesedihan itu, Pak Surhaf mendatanginya lagi. “Bu, tahu tidak? Katanya saya
juga mau dilaporkan ke polisi kalau masih mempermasalahkan Adaya dan Kokir
pacaran di kelas.”
Bu Setia
hanya tersenyum hambar. “Biarlah, Pak Surhaf. Diam bukan berarti tidak tahu.
Kadang diam itu tanda ikhlas. Suatu hari
nanti disadarkan dan kembali menjadi orang baik.”
Di luar,
lonceng sekolah berbunyi lagi. Para siswa berlarian ke kelas. Bu Setia
memandang jendela, menatap langit yang mulai mendung. Dalam hatinya ia berdoa
lirih,
“Ya Allah, kuatkan hati ini. Jadikan fitnah ini ladang sabar, bukan sumber
luka.”
Sampang, 19-10-2025; 10:19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar