Cerita Mini
Triple Pengunjung
Perpus
Oleh: Srisa
Siang itu, suasana
Perpustakaan SMAGA terasa berbeda. Hembusan kipas angin berpadu dengan aroma
khas buku-buku lama yang tertata rapi di rak kayu. Di pojok ruangan, terlihat
tiga siswa kelas XII yang hampir lulus, Nofal, Syeman, dan Riski, tengah sibuk
membuka lembar demi lembar buku pelajaran.
Perpustakaan SMAGA
memang unik. Selain menjadi tempat membaca dan meminjam buku, ruangan ini juga
disulap menjadi tempat salat bagi para siswa. Hal itu dilakukan karena musala
sekolah tak mampu menampung semua siswa, terutama saat waktu salat zuhur dan
asar. Di salah satu sudut, terhampar sajadah-sajadah bersih yang siap
digunakan.
“Sudah adzan, Fal,” ujar Syeman sambil
menutup buku sejarahnya.
Nofal, siswa
berkacamata keturunan Madura dan Tionghoa-Sampang, sering dijuluki artis Korea,
segera berdiri. Ia memang dikenal sebagai siswa yang tak pernah meninggalkan
salat. “Ayo, salat dulu. Setelah itu baru lanjut baca novel yang kemarin kita
incar,” katanya sambil tersenyum. Sedangkan Syeman, siswa asli Madura-Sumenep, sahabatnya
yang juga tidak pernah meninggalkan salat. Sedangkan Riski, siswa yang memiliki
talenta tarik suara, kelasnya agak jauh
dari perpustakaan, jadi lebih jarang berkunjung dibandingkan Nofal dan Syeman.
Setelah menunaikan salat berjamaah di
sudut perpustakaan, ketiganya kembali ke pojok baca. Mereka sudah lama menjadi
sumber tawa Bu Has, penjaga perpustakaan yang telah dua puluh tahun mengabdi di
SMAGA. Wajahnya ramah, meski mulai tampak sudah sepuh tetapi masih bersemangat
menjalankan tugasnya.
Setelah melalui
proses pendataan, penempelan barcode, dan penyegelan stempel perpustakaan,
ketiga buku itu akhirnya resmi bisa dipinjam. Namun, mereka bertiga sepakat
tidak membawa pulang buku-buku tersebut. Mereka ingin membacanya setelah salat
atau ketika jam kosong, sebab kelas mereka berada tepat di depan perpustakaan.
Beberapa hari kemudian, Winda, siswi
yang juga hobi membaca, datang dan mencari novel baru itu. “Bu Has, di
mana letak novel Indigo tapi Penakut-nya?” tanyanya
penasaran. Bu Has tersenyum kecil. “Di situ, Nak. Tapi sudah dipinjam
Nofal, ituuu. Sambil menunjuk Nofal yang fokus membaca di pojok ruangan. Kamu
tunggu saja, nanti kalau sudah selesai, kamu bisa pinjam.”
Winda mengangguk pelan. “Wah, ternyata
sekarang buku-buku menarik cepat sekali dipinjam. Banyak juga ya yang suka
membaca.”
Hari-hari berlalu.
Ketiganya tetap rajin berkunjung, membaca, dan salat di perpustakaan. Namun
waktu berjalan cepat. Tak terasa mereka harus bersiap menghadapi ujian
kelulusan. Pada hari terakhir mereka datang, Bu Has menatap ketiganya dengan
mata berkaca-kaca. “Siapa ya nanti yang menggantikan kalian?” ucapnya
lirih. “Kalian ini siswa paling setia datang ke perpustakaan. Selalu membaca,
meminjam, bahkan salat di sini.”
Bu Setia yang berdiri
di sampingnya menimpali, “Benar, Bu Has. Di antara siswa zaman sekarang, mereka
termasuk yang masih menghargai buku. Kaum genzi sekarang lebih banyak bermain
gawai di waktu luang mereka. Tapi lihatlah tiga anak ini, mereka masih setia
dengan buku-buku.”
Ketiganya tersenyum
mendengar ucapan itu. “Terima kasih, Bu. Kami akan selalu ingat, bahwa ilmu
bisa datang dari mana saja, tapi buku tetap sahabat terbaik,” ujar Nofal dengan
penuh hormat.
Sejak hari itu,
setiap kali perpustakaan terasa sepi, Bu Has selalu menatap rak buku di pojok
tempat ketiganya biasa duduk. Ia tahu, semangat membaca dan beribadah yang
mereka tinggalkan akan menjadi teladan bagi adik-adik kelasnya.
Yang perlu diingat,
meskipun zaman dan teknologi semakin maju, buku tetap menjadi sumber ilmu yang
tak tergantikan. Kita harus terus menghargai buku, membaca, dan menjaga
perpustakaan sebagai tempat menimba pengetahuan dan memperkuat iman.
Sampang_10-10-2025_09:10_ perpus_smaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar