Sabtu, 18 Oktober 2025

Cerita Mini : Gadis Baru Gede

                                                  


 Gadis Baru Gede

                                                                        Karya: Srisa

        Langit sore itu tampak muram, seolah menyimpan rahasia masa lalu. Di beranda rumah kecilnya, Asti duduk diam sambil memandangi langit jingga. Angin berembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di tangannya, selembar foto lama tergenggam erat—foto dirinya dan Andriani, sahabat masa sekolah yang kini entah di mana.

“Sudah tiga puluh tujuh tahun, tapi rasanya seperti kemarin,” bisik Asti lirih. Dari sanalah pikirannya perlahan melayang, kembali ke masa putih-biru yang pernah begitu ia banggakan—masa yang ia sebut masa remaja baru gede.

        Siang hari di sekolah terasa riuh. Suara lonceng berdentang tiga kali: teng! teng! teng!
“Yuk, ke kantin, Ti!” ajak Andriani, gadis pendiam yang selalu menemani Asti ke mana pun pergi.
“Iya, Andri,” jawab Asti sambil tersenyum malu. Mereka berdua berjalan berdampingan melewati koridor yang panjang.

Namun tiba-tiba, dari belakang, beberapa anak laki-laki berlari dan…
“Aduh!” Asti terlonjak kaget. Ada yang mencolek bagian tubuh yang tak seharusnya disentuh.
Tawa lepas menggema di belakang mereka.
“Woi, becanda aja kok marah!” seru salah satu anak laki-laki itu sebelum mereka kabur.

        Asti dan Andriani saling berpandangan. Wajah mereka merah padam—bukan karena malu biasa, melainkan rasa marah dan takut yang menyesakkan dada.
“Kenapa mereka tega, Andri?” suara Asti gemetar.
Andri hanya menunduk, air matanya menetes tanpa suara.
Mereka berdua memilih diam. Di masa itu, tidak ada tempat aman untuk bercerita. Tidak ada yang mau mendengar.

        Malam harinya, di rumah, Mbah Buyut sudah menunggu di ruang tengah. Wajahnya teduh, tangannya memegang secangkir jamu hangat.
“Asti, sini, Nduk. Dulu waktu kamu dapat tamu istimewa, Mbah buatkan nasi kuning dan jamu. Itu tanda kamu sudah gadis,” katanya sambil tersenyum bangga.

Asti mendekat pelan, lalu duduk di sampingnya.
“Mbah, kenapa kalau sudah jadi gadis, rasanya malah takut?”
Mbah Buyut menatapnya lembut, “Takut kenapa, Nduk?”
Asti menunduk, menahan air mata yang hendak jatuh. “Tadi di sekolah, ada anak laki-laki yang... yang nakal, Mbah.”

Wajah Mbah Buyut seketika berubah.
“Ya Allah... astaghfirullah. Anak-anak sekarang...” gumamnya lirih sambil mengelus kepala cucunya. “Nduk, kamu jangan merasa salah, ya. Mereka yang harusnya malu.”
Asti mengangguk, tapi di dalam dadanya, rasa takut itu sudah terlanjur tumbuh.

        Beberapa hari kemudian, sepulang dari les Matematika, sore menjelang malam, Asti dan Andri kembali bersepeda menyusuri gang kecil menuju rumah masing-masing.
Suasana gang sepi, hanya lampu-lampu jalan yang redup menemani.
“Cepetan, Ti, aku takut,” ujar Andri sambil mengayuh lebih cepat.
Belum sempat mereka keluar dari gang, empat anak laki-laki muncul dari tikungan.
“Hei, gadis baru gede!” teriak salah satu dari mereka.
Sebelum sempat menghindar, tangan-tangan nakal itu kembali melayang, mencolek bagian tubuh mereka.

“Pergi!” teriak Asti, menangis sambil mengayuh sepedanya. Tapi mereka hanya tertawa melihat dua gadis itu yang kini gemetar ketakutan.

        Malam itu, Asti tak bisa tidur. Ia menangis di balik bantal, merasa kotor, malu, dan tak berdaya. Kenapa perempuan harus diam? pikirnya. Tapi di masa itu, kata Mbah Buyut, perempuan harus sopan, harus sabar, harus menahan diri.

        Kini, bertahun-tahun berlalu, Asti yang sudah dewasa menatap langit malam di teras rumah Mbah Buyut yang lama kosong. Ia masih ingat rasa takut itu, masih ingat tawa laki-laki yang menggoreskan luka di masa remajanya. Tapi sekarang, ia tahu—diam bukan lagi pilihan.

“Kalau dulu aku hanya bisa menangis, sekarang suaraku tak akan diam lagi,” katanya pelan, tapi penuh tekad.
Ia menatap foto dirinya bersama Andriani. “Kita nggak boleh kalah, Andri. Gadis baru gede harus bisa bicara, harus berani melawan.”

        Di bawah cahaya bulan, Asti tersenyum getir. Luka masa remajanya mungkin tak pernah hilang, tapi kini ia berdiri tegak, membawa suara untuk semua gadis yang pernah dipaksa diam.

                                                                                                                       18-10-2025; 17:25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...