Karya:
Srisa
Langit
sore itu tampak muram, seolah menyimpan rahasia masa lalu. Di beranda rumah
kecilnya, Asti duduk diam sambil memandangi langit jingga. Angin berembus
lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di tangannya, selembar foto
lama tergenggam erat—foto dirinya dan Andriani, sahabat masa sekolah yang kini
entah di mana.
“Sudah
tiga puluh tujuh tahun, tapi rasanya seperti kemarin,” bisik Asti lirih. Dari
sanalah pikirannya perlahan melayang, kembali ke masa putih-biru yang pernah
begitu ia banggakan—masa yang ia sebut masa remaja baru gede.
Siang
hari di sekolah terasa riuh. Suara lonceng berdentang tiga kali: teng! teng!
teng!
“Yuk, ke kantin, Ti!” ajak Andriani, gadis pendiam yang selalu menemani Asti ke
mana pun pergi.
“Iya, Andri,” jawab Asti sambil tersenyum malu. Mereka berdua berjalan
berdampingan melewati koridor yang panjang.
Namun
tiba-tiba, dari belakang, beberapa anak laki-laki berlari dan…
“Aduh!” Asti terlonjak kaget. Ada yang mencolek bagian tubuh yang tak
seharusnya disentuh.
Tawa lepas menggema di belakang mereka.
“Woi, becanda aja kok marah!” seru salah satu anak laki-laki itu sebelum mereka
kabur.
Asti dan
Andriani saling berpandangan. Wajah mereka merah padam—bukan karena malu biasa,
melainkan rasa marah dan takut yang menyesakkan dada.
“Kenapa mereka tega, Andri?” suara Asti gemetar.
Andri hanya menunduk, air matanya menetes tanpa suara.
Mereka berdua memilih diam. Di masa itu, tidak ada tempat aman untuk bercerita.
Tidak ada yang mau mendengar.
Malam
harinya, di rumah, Mbah Buyut sudah menunggu di ruang tengah. Wajahnya teduh,
tangannya memegang secangkir jamu hangat.
“Asti, sini, Nduk. Dulu waktu kamu dapat tamu istimewa, Mbah buatkan nasi kuning
dan jamu. Itu tanda kamu sudah gadis,” katanya sambil tersenyum bangga.
Asti
mendekat pelan, lalu duduk di sampingnya.
“Mbah, kenapa kalau sudah jadi gadis, rasanya malah takut?”
Mbah Buyut menatapnya lembut, “Takut kenapa, Nduk?”
Asti menunduk, menahan air mata yang hendak jatuh. “Tadi di sekolah, ada anak
laki-laki yang... yang nakal, Mbah.”
Wajah
Mbah Buyut seketika berubah.
“Ya Allah... astaghfirullah. Anak-anak sekarang...” gumamnya lirih sambil
mengelus kepala cucunya. “Nduk, kamu jangan merasa salah, ya. Mereka yang
harusnya malu.”
Asti mengangguk, tapi di dalam dadanya, rasa takut itu sudah terlanjur tumbuh.
Beberapa
hari kemudian, sepulang dari les Matematika, sore menjelang malam, Asti dan
Andri kembali bersepeda menyusuri gang kecil menuju rumah masing-masing.
Suasana gang sepi, hanya lampu-lampu jalan yang redup menemani.
“Cepetan, Ti, aku takut,” ujar Andri sambil mengayuh lebih cepat.
Belum sempat mereka keluar dari gang, empat anak laki-laki muncul dari
tikungan.
“Hei, gadis baru gede!” teriak salah satu dari mereka.
Sebelum sempat menghindar, tangan-tangan nakal itu kembali melayang, mencolek
bagian tubuh mereka.
“Pergi!” teriak
Asti, menangis sambil mengayuh sepedanya. Tapi mereka hanya tertawa melihat dua
gadis itu yang kini gemetar ketakutan.
Malam
itu, Asti tak bisa tidur. Ia menangis di balik bantal, merasa kotor, malu, dan
tak berdaya. Kenapa perempuan harus diam? pikirnya. Tapi di masa itu,
kata Mbah Buyut, perempuan harus sopan, harus sabar, harus menahan diri.
Kini,
bertahun-tahun berlalu, Asti yang sudah dewasa menatap langit malam di teras
rumah Mbah Buyut yang lama kosong. Ia masih ingat rasa takut itu, masih ingat
tawa laki-laki yang menggoreskan luka di masa remajanya. Tapi sekarang, ia
tahu—diam bukan lagi pilihan.
“Kalau
dulu aku hanya bisa menangis, sekarang suaraku tak akan diam lagi,” katanya
pelan, tapi penuh tekad.
Ia menatap foto dirinya bersama Andriani. “Kita nggak boleh kalah, Andri. Gadis
baru gede harus bisa bicara, harus berani melawan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar