Jumat, 05 Desember 2025

Cerita Mini : Korea bagi Wardan

 

Korea bagi Wardan

Karya : Srisa

 

Jalan berkelok tidak menyurutkan niat baiknya. Wardan selalu berjalan paling pagi menuju sekolah. Ranting kering yang berguguran mengenai langkah kecil Wardan rupanya telah memberi kekuatan.Tasnya tipis, isinya hanya buku catatan dan selembar kertas jadwal pelajaran. Uang saku hampir tak pernah ada di sakunya. Namun, bocah itu tak pernah mengeluh. Ia tahu, keluarganya hidup pas-pasan. Yang ia punya hanya tekad yang keras—lebih keras daripada rasa laparnya, lebih kuat daripada rasa takutnya pulang tanpa ongkos.

Sejak kelas VII SMP, Wardan memang tak terbiasa duduk di bangku paling depan. Ia lebih sering menunduk di pojok kelas, berusaha menghindari sorakan teman-temannya yang kerap merundungnya. “Anak miskin, masa depan suram,” begitu ejekan yang pernah menusuk hatinya. Namun, Wardan hanya menggenggam pensilnya lebih erat. Dalam hatinya, ia berbisik, “Suatu hari aku akan membuktikan.”

Diam-diam, ia mulai belajar bahasa Korea dari video gratis di internet sekolah dan buku bekas yang ia temukan di koperasi lama. Negeri itu terasa begitu jauh, bahkan mustahil digapai—tetapi entah mengapa, nama Korea selalu memantul-mantul di dalam kepalanya, menjadi harapan yang membuatnya tetap kuat melangkah.

Ketika ia masuk SMA, kehidupannya tak jauh berbeda. Uang saku masih sering nihil. Jika tak punya ongkos, ia berjalan kaki hampir lima kilometer menuju sekolah. Sepatu tipisnya kadang basah, kadang sobek, tetapi semangatnya tetap utuh. Guru-gurunya melihat kegigihan itu. Wardan selalu datang paling awal, pulang paling akhir, belajar di perpustakaan sambil mencatat hal-hal kecil yang ingin ia mengerti.

Di kelas XII, ketika teman-temannya sibuk membicarakan bimbel dan biaya pendaftaran kuliah, Wardan kembali berhadapan dengan ketakutan lamanya: tidak punya apa-apa. Namun, ia ingat satu hal—ia bukan anak yang mudah menyerah. Ia mulai mencari informasi beasiswa, mengurus berkas sendiri, dan mempersiapkan ujian dengan belajar hingga larut malam.

Hari pengumuman itu datang dengan degup jantung yang tak terkendali. Di depan layar ponsel pinjaman sekolah, Wardan menahan napas. Lalu, namanya muncul—diterima di kampus negeri favorit di kabupatennya. Wardan terisak, bukan karena tak percaya, melainkan karena untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa dunia membuka pintu untuknya.

Perjalanan tidak berhenti di sana. Di kampus, ia memilih jurusan keperawatan—profesi yang menurutnya paling dekat dengan cita-cita mulianya: membantu orang lain. Bahasa Korea yang ia pelajari sejak SMP membuatnya cepat beradaptasi ketika mengikuti program pelatihan internasional. Sampai akhirnya, suatu hari, ia berdiri di bandara dengan seragam perawat, namanya tertera rapi pada kartu identitas, bersiap berangkat ke Korea—negara yang dulu hanya ia lihat lewat layar kecil perpustakaan.

Setibanya di sana, Wardan berdiri memandang kota yang gemerlap. Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi hatinya hangat. Ia berhasil. Bukan karena keberuntungan, tetapi karena langkah-langkah kecil yang tak pernah berhenti, meski jalannya sering sepi dan penuh luka.

Kini, mimpi berikutnya adalah membangun sebuah rumah yang kokoh di kampung. Rumah yang membuat orang tua dan saudara-saudaranya tak lagi harus berpindah-pindah. Rumah yang menjadi bukti bahwa kemiskinan hanyalah keadaan sementara, tetapi kemauan untuk bangkit—itulah kekuatan seumur hidup.

Wardan tersenyum, menatap langit Korea yang biru.
"Perjalananku panjang, tapi aku tidak sendiri. Setiap langkahku membawa doa mereka."

Untuk pertama kalinya, ia benar-benar percaya bahwa masa depan adalah tempat yang bisa ia genggam tanpa rasa takut.

Sampang, 6-12-25; 09:04

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...