Korea bagi Wardan
Karya : Srisa
Jalan berkelok tidak menyurutkan niat baiknya. Wardan
selalu berjalan paling pagi menuju sekolah. Ranting kering yang berguguran mengenai langkah kecil Wardan rupanya telah memberi kekuatan.Tasnya tipis, isinya hanya buku catatan dan selembar kertas jadwal pelajaran.
Uang saku hampir tak pernah ada di sakunya. Namun, bocah itu tak pernah
mengeluh. Ia tahu, keluarganya hidup pas-pasan. Yang ia punya hanya tekad yang
keras—lebih keras daripada rasa laparnya, lebih kuat daripada rasa takutnya
pulang tanpa ongkos.
Sejak
kelas VII SMP, Wardan memang tak terbiasa duduk di bangku paling depan. Ia
lebih sering menunduk di pojok kelas, berusaha menghindari sorakan
teman-temannya yang kerap merundungnya. “Anak miskin, masa depan suram,” begitu
ejekan yang pernah menusuk hatinya. Namun, Wardan hanya menggenggam pensilnya
lebih erat. Dalam hatinya, ia berbisik, “Suatu hari aku akan membuktikan.”
Diam-diam,
ia mulai belajar bahasa Korea dari video gratis di internet sekolah dan buku
bekas yang ia temukan di koperasi lama. Negeri itu terasa begitu jauh, bahkan
mustahil digapai—tetapi entah mengapa, nama Korea selalu memantul-mantul di
dalam kepalanya, menjadi harapan yang membuatnya tetap kuat melangkah.
Ketika ia
masuk SMA, kehidupannya tak jauh berbeda. Uang saku masih sering nihil. Jika
tak punya ongkos, ia berjalan kaki hampir lima kilometer menuju sekolah. Sepatu
tipisnya kadang basah, kadang sobek, tetapi semangatnya tetap utuh.
Guru-gurunya melihat kegigihan itu. Wardan selalu datang paling awal, pulang
paling akhir, belajar di perpustakaan sambil mencatat hal-hal kecil yang ingin
ia mengerti.
Di kelas
XII, ketika teman-temannya sibuk membicarakan bimbel dan biaya pendaftaran
kuliah, Wardan kembali berhadapan dengan ketakutan lamanya: tidak punya
apa-apa. Namun, ia ingat satu hal—ia bukan anak yang mudah menyerah. Ia mulai
mencari informasi beasiswa, mengurus berkas sendiri, dan mempersiapkan ujian
dengan belajar hingga larut malam.
Hari
pengumuman itu datang dengan degup jantung yang tak terkendali. Di depan layar
ponsel pinjaman sekolah, Wardan menahan napas. Lalu, namanya muncul—diterima di
kampus negeri favorit di kabupatennya. Wardan terisak, bukan karena tak
percaya, melainkan karena untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa dunia
membuka pintu untuknya.
Perjalanan
tidak berhenti di sana. Di kampus, ia memilih jurusan keperawatan—profesi yang
menurutnya paling dekat dengan cita-cita mulianya: membantu orang lain. Bahasa
Korea yang ia pelajari sejak SMP membuatnya cepat beradaptasi ketika mengikuti
program pelatihan internasional. Sampai akhirnya, suatu hari, ia berdiri di
bandara dengan seragam perawat, namanya tertera rapi pada kartu identitas, bersiap
berangkat ke Korea—negara yang dulu hanya ia lihat lewat layar kecil
perpustakaan.
Setibanya
di sana, Wardan berdiri memandang kota yang gemerlap. Angin dingin menyapu
wajahnya, tetapi hatinya hangat. Ia berhasil. Bukan karena keberuntungan,
tetapi karena langkah-langkah kecil yang tak pernah berhenti, meski jalannya
sering sepi dan penuh luka.
Kini,
mimpi berikutnya adalah membangun sebuah rumah yang kokoh di kampung. Rumah
yang membuat orang tua dan saudara-saudaranya tak lagi harus berpindah-pindah.
Rumah yang menjadi bukti bahwa kemiskinan hanyalah keadaan sementara, tetapi
kemauan untuk bangkit—itulah kekuatan seumur hidup.
Wardan
tersenyum, menatap langit Korea yang biru.
"Perjalananku panjang, tapi aku tidak sendiri. Setiap langkahku membawa
doa mereka."
Untuk
pertama kalinya, ia benar-benar percaya bahwa masa depan adalah tempat yang
bisa ia genggam tanpa rasa takut.
Sampang, 6-12-25; 09:04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar