Jejak Kecil dari Toko Nurida
Penulis : Srisa
Aku sering bertanya-tanya mengapa setiap kali
kenangan masa kecil itu kembali, dadaku terasa sesak, seolah ada pintu tua yang
berderit perlahan dibuka oleh waktu. Di balik pintu itu, bergemalah suara-suara
yang dulu begitu akrab: suara Ibuk yang memanggilku dari balik etalase kaca,
suara Bapak yang berdeham sebelum mengenakan sepatu dinas, suara Mak Srikin
menata gula dengan cekatan, suara Kakung yang bercerita tentang pabrik gula
tempatnya bekerja, dan suara Mbah Buyut yang lirih namun penuh doa.
Kenangan itu
hidup, berdenyut, mengalir.
Entah mengapa, setiap kali aku mengingatnya—aku menangis.
1. Rumah Kecil yang Hangat
Masa kecilku bukan kemewahan, bukan pula
kekurangan. Ia adalah selembar kain yang dijahit dari serpih-serpih
kesederhanaan, ketekunan, dan cinta. Rumah kami bukan rumah besar, tetapi
bagiku ia adalah dunia yang lengkap. Pintu kayunya sering menguarkan aroma yang
khas ketika pagi tiba, aroma yang tercampur antara masakan Ibuk dan wangi kayu
jati yang lembap oleh embun.
Ibuk Nuryatun, dengan sapu di tangan dan selendang
yang selalu tergantung di bahunya, adalah matahari di rumah itu. Segala hal
terasa terang ketika ia bergerak. Suaranya lembut namun tegas, cara bicaranya
cepat namun penuh perhatian. Ia adalah perempuan yang seluruh kecamatan
mengenal namanya, tetapi bagiku—ia hanya Ibuk. Perempuan yang rambutnya wangi
sabun Lifebuoy dan selalu menepuk punggungku pelan ketika aku tertidur di
pangkuannya.
Bapak Srijono, sebaliknya, adalah angin sepoi yang
datang dengan keheningan. Pekerjaannya sebagai pegawai di Dispenda membuatnya
selalu rapi; sepatu hitamnya mengilap, baju dinas cokelat selalu disetrika
dengan lipatan yang presisi. Ia bukan laki-laki yang banyak bicara, tetapi dari
kelembutan sorot matanya, aku tahu bahwa seluruh dunia ini ia jalani demi
keluarganya.
Mereka berdua—Ibuk dan Bapak—adalah dua pilar
hidupku. Mungkin karena itulah setiap kali aku mengingatnya, ada sesuatu yang
mengetuk lembut di dalam dada. Sesuatu yang terasa seperti rindu yang belum
sempat kuselesaikan.
2. Toko Nurida: Keramaian yang Menjadi Denyut Hidup
Kami
Di antara deretan toko di kecamatan Kauman, ada
satu yang selalu menjadi pusat keramaian: Toko Nurida. Bahkan sampai
sekarang, ketika namanya disebut, aku masih bisa membayangkan papan kayu besar
bertuliskan huruf-huruf itu, dicat putih dengan pinggiran biru. Toko itu adalah
dunia kedua kami.
Ibuk adalah perempuan yang sangat lihai mengatur
barang dagangan. Di tangannya, asesoris imitasi bisa tampak seperti perhiasan
mahal; buku-buku tulis yang tersusun rapi bisa tampak seperti harta karun bagi
anak-anak sekolah; dasi pramuka, topi seragam, badge sekolah, hingga blebet
untuk kerajinan—semuanya seolah punya cerita mereka sendiri.
Aku sering duduk di sudut toko, mengamati pelanggan
datang dan pergi. Kadang-kadang, aku tak sengaja tertidur bersandar pada
tumpukan tas sekolah baru. Suara plastik, suara uang receh, aroma karton, dan
tawa Ibuk yang ramah adalah musik masa kecilku. Terkadang Ibukku sering memberi
bonus kepada pelanggan setianya. Ada anak yang berangkat sekolah kebetulan
mampir dulu ke toko yang masih tutup, mengetuk pintunya, namun Ibukku dengan
senang hati membuka bedhak (bahasa Jawa : pintu penutup). Walaupun ternyata,
uang anak tersebut kurang, dengan sukarela pula Ibukku membiarkan anak itu membawa
topinya dan mengatakan “silakan dibawa saja, kekurangannya besok.” Anak
tersebut berangkat dengan speda ontelnya. Ibukku hanya membayangkan kalau itu
anaknya. “Kasihan”, kata beliau.
Tak jarang aku mendengar orang berkata, “Wah,
ini anaknya Bu Nurida ya?” dengan nada yang setengah kagum, setengah iri.
Aku tidak mengerti apa artinya saat itu, tetapi sekarang aku tahu: Ibuk adalah
perempuan yang dihormati. Kerja kerasnya membuat toko kecil itu menjadi denyut
ekonomi bagi banyak keluarga di kecamatan.
Aku bangga pada Ibuk—bangga dengan cara yang
membuat mataku panas ketika menceritakannya sekarang.
3. Pasar Kliwon dan Mak Srikin
Jika Toko
Nurida adalah dunia Ibuk, maka pasar Kliwon adalah kerajaan kecil milik Mak
Srikin. Setiap kali aku dibawa ke sana, aku seperti memasuki dunia baru: penuh
warna, aroma, dan suara. Pasar bukan hanya tempat jual beli, tetapi tempat di mana
kehidupan mengalir tanpa jeda.
Toko Mak
Srikin adalah toko pracangan, kata orang. Tapi bagiku, itu adalah hutan ajaib.
Di sana ada:
- gula putih yang dibungkus
rapi dari ukuran satu ons hingga satu kilogram,
- minyak goreng Filma dan
Dorang yang botolnya berkilau ditimpa sinar matahari,
- mi instan dan mi kuning yang
tertata seperti gulungan tali emas,
- kopi bubuk yang aromanya
memenuhi udara,
- beras dengan berbagai
kualitas yang bunyinya khas ketika ditimba,
- ikan asin pethek dan layur
yang menggoda lauk makan siang,
- dan kerupuk udang yang
renyah bahkan sebelum digoreng.
- Sabun mandi Lux, Lifebuoy,
Giv, Palmolive, dll.
- Shampoo merk apa saja Lifebuoy,
Head and Soulder, Pantene, juga
tersedia.
- Sabun cuci Rinso yang legend,
So Klin, Boom, dll.
Mak
Srikin tidak pernah lelah. Dengan tangan cekatan dan tatapan yang tajam, ia
melayani pelanggan tanpa keluh. Suaranya nyaring, tetapi hangat. Ada dua orang
pelayan Mbak Lamini dan Mbak Parti yang membantu Mak. Kadang-kadang aku
membantu mengikat plastik gula atau menata mi instan di rak paling bawah. Meski
hanya tugas kecil, aku merasa seperti bagian penting dari kerajaan itu, dan aku
sering kali menjadi bos kecil, kasir di toko.
Ada masa
ketika aku merasa Mak Srikin adalah perempuan paling kuat di dunia.
4. Kakung Nanang dan Cerita tentang Pabrik Gula
Kakung Nanang Moedjoko adalah laki-laki yang wajahnya selalu tampak teduh, seperti senja yang baru turun. Ia adalah seorang pensiunan tahun 1982 dari PG Modjopanggoong—nama besar yang mewarnai Tulungagung. Setiap kali Kakung bercerita, aku selalu membayangkan pabrik gula sebagai bangunan raksasa yang berdenyut seperti jantung kota. Setiap bulan Mei adalah waktu yang ditunggu semua pihak karena waktunya BUKA GILING, sebagai tanda beroperasinya mesin pembuat gula, dari proses penggilingan, sampai proses terakhir yang akhirnya menjadi gula dengan kualitas bagus.
Pabrik Gula Modjopanggoong merupakan bangunan
peninggalan Belanda dengan cerita Urban Legend yang membuat bulu kuduk
merinding. Letak pabrik gula ini tidak jauh dari rumah Mak dan Nanang, hanya dibatasi pagar pabrik, tepatnya di timur rumah Mak dan Nanang. Sejak bayi,setiap harinya aku berada di rumah beliau berdua. Kami warga sekitar sangat beruntung, karena warga menikmati listrik dari pabrik gula tanpa membayar selama bertahun-tahun.
Suatu
sore, ketika langit berwarna oranye pucat, Kakung berkata padaku:
“Nduk,
hidup itu kayak gula. Kalau mau manis, harus mau direbus, diperas, dilebur,
dibentuk. Tak ada manis tanpa proses.”
Aku tidak
sepenuhnya mengerti saat itu. Tetapi kelak, ketika aku dewasa dan melewati
pahitnya hidup, aku sadar: Kakung tidak hanya membicarakan gula. Ia sedang
mengajariku tentang kehidupan.
5. Mbah Buyut Kasmirah dan Doa-doa yang Lembut
Mbah
Buyut Kasmirah adalah perempuan kecil berselendang putih, kulitnya keriput
namun matanya bening seperti embun pagi. Setiap kali aku datang, ia menepuk
punggungku dan mengatakan bahwa aku adalah cucu yang membawa rezeki.
Ia sering
duduk di beranda, menenun doa-doa kecil untuk setiap anggota keluarga. Suaranya
lirih, hampir tak terdengar, tetapi aku tahu doa-doanya itu seperti benang yang
menjahit keberuntungan keluarga kami.
Mungkin
itu sebabnya keluarga kami terasa begitu kokoh dulu—karena ada Mbah Buyut yang
selalu menjaga dengan doa.
6. Masa Ketika Segalanya Masih Lengkap
Kadang
aku merindukan masa ketika meja makan dipenuhi suara obrolan yang saling
bersahutan. Ketika pagi terasa cerah hanya karena aku melihat Bapak mengayuh
sepeda dinasnya. Ketika Ibuk memegangi tanganku sambil menyeberang jalan menuju
toko. Ketika Mak Srikin tersenyum sambil menyuapi aku kerupuk udang. Ketika
Kakung duduk di kursi bambu sambil menikmati kopi hitam. Ketika Mbah Buyut
mengusap rambutku dengan tangan tuanya yang halus.
Mereka
semua pernah ada—lengkap, hangat, utuh.
Barangkali
itulah yang membuat kenangan itu begitu menyakitkan sekaligus membahagiakan:
karena sekarang, banyak hal yang telah berubah.
Waktu
tidak pernah benar-benar pergi, tetapi ia selalu membawa sesuatu dariku.
7. Mengapa Aku Menangis
Air mata
yang jatuh setiap kali aku mengingat masa kecilku bukanlah air mata sedih
semata. Mereka adalah air mata:
- rindu pada masa ketika dunia
terasa aman,
- syukur kepada Tuhan atas
keluarga yang begitu kuat,
- haru karena aku dibesarkan
dalam cinta yang tidak kumengerti saat itu,
- dan kesadaran bahwa tidak
ada yang abadi, kecuali kenangan.
Aku
menangis karena masa kecilku adalah rumah yang tidak bisa lagi kutinggali,
hanya bisa kukunjungi lewat ingatan. Aku menangis karena aku merindukan semua
orang yang dulu duduk bersama di satu garis waktu—tetapi kini sebagian sudah
kembali ke pangkuan Tuhan, sebagian menua, dan sebagian berubah oleh kehidupan.
Aku
menangis karena di balik semua itu, aku masih anak kecil dari Toko Nurida, yang
berjalan tanpa uang saku namun penuh keinginan untuk sukses. Anak yang percaya
bahwa kerja keras bisa mengalahkan rasa takut kelaparan atau tidak bisa pulang.
Anak yang diam-diam menaruh harapan pada keluarga yang membesarkannya.
8. Penutup: Jejak yang Tak Pernah Hilang
Kini,
ketika aku berdiri di titik hidup yang sama sekali berbeda, aku sering menengok
ke belakang. Bukan untuk menyesali, tetapi untuk mengingat dari mana aku
berasal. Kenangan itu menguatkanku. Mereka adalah peta yang mengingatkanku
bahwa aku dibentuk oleh tangan-tangan yang tulus.
Rumah itu
mungkin sudah berubah. Toko Nurida mungkin tidak seramai dulu. Orang-orang yang
dulu mengisi hari-hariku sebagian telah kembali ke alam lain. Tetapi jejak
mereka tetap ada, membekas di setiap langkah yang kutapaki hari ini.
Setiap
kali air mataku jatuh, aku tahu:
Itu bukan hanya kesedihan.
Itu adalah cinta.
Cinta kepada masa kecil yang mengajarkanku bahwa keluarga adalah rumah pertama,
dan kenangan adalah rumah yang akan selalu kutinggali selamanya.
Sampang, 6-12-2025; 10:25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar