Jumat, 05 Desember 2025

NARASI CERITAKU


Jejak Kecil dari Toko Nurida

Penulis : Srisa


Aku sering bertanya-tanya mengapa setiap kali kenangan masa kecil itu kembali, dadaku terasa sesak, seolah ada pintu tua yang berderit perlahan dibuka oleh waktu. Di balik pintu itu, bergemalah suara-suara yang dulu begitu akrab: suara Ibuk yang memanggilku dari balik etalase kaca, suara Bapak yang berdeham sebelum mengenakan sepatu dinas, suara Mak Srikin menata gula dengan cekatan, suara Kakung yang bercerita tentang pabrik gula tempatnya bekerja, dan suara Mbah Buyut yang lirih namun penuh doa.

Kenangan itu hidup, berdenyut, mengalir.
Entah mengapa, setiap kali aku mengingatnya—aku menangis.

 

1. Rumah Kecil yang Hangat

Masa kecilku bukan kemewahan, bukan pula kekurangan. Ia adalah selembar kain yang dijahit dari serpih-serpih kesederhanaan, ketekunan, dan cinta. Rumah kami bukan rumah besar, tetapi bagiku ia adalah dunia yang lengkap. Pintu kayunya sering menguarkan aroma yang khas ketika pagi tiba, aroma yang tercampur antara masakan Ibuk dan wangi kayu jati yang lembap oleh embun.

Ibuk Nuryatun, dengan sapu di tangan dan selendang yang selalu tergantung di bahunya, adalah matahari di rumah itu. Segala hal terasa terang ketika ia bergerak. Suaranya lembut namun tegas, cara bicaranya cepat namun penuh perhatian. Ia adalah perempuan yang seluruh kecamatan mengenal namanya, tetapi bagiku—ia hanya Ibuk. Perempuan yang rambutnya wangi sabun Lifebuoy dan selalu menepuk punggungku pelan ketika aku tertidur di pangkuannya.

Bapak Srijono, sebaliknya, adalah angin sepoi yang datang dengan keheningan. Pekerjaannya sebagai pegawai di Dispenda membuatnya selalu rapi; sepatu hitamnya mengilap, baju dinas cokelat selalu disetrika dengan lipatan yang presisi. Ia bukan laki-laki yang banyak bicara, tetapi dari kelembutan sorot matanya, aku tahu bahwa seluruh dunia ini ia jalani demi keluarganya.

Mereka berdua—Ibuk dan Bapak—adalah dua pilar hidupku. Mungkin karena itulah setiap kali aku mengingatnya, ada sesuatu yang mengetuk lembut di dalam dada. Sesuatu yang terasa seperti rindu yang belum sempat kuselesaikan.

2. Toko Nurida: Keramaian yang Menjadi Denyut Hidup Kami

Di antara deretan toko di kecamatan Kauman, ada satu yang selalu menjadi pusat keramaian: Toko Nurida. Bahkan sampai sekarang, ketika namanya disebut, aku masih bisa membayangkan papan kayu besar bertuliskan huruf-huruf itu, dicat putih dengan pinggiran biru. Toko itu adalah dunia kedua kami.

Ibuk adalah perempuan yang sangat lihai mengatur barang dagangan. Di tangannya, asesoris imitasi bisa tampak seperti perhiasan mahal; buku-buku tulis yang tersusun rapi bisa tampak seperti harta karun bagi anak-anak sekolah; dasi pramuka, topi seragam, badge sekolah, hingga blebet untuk kerajinan—semuanya seolah punya cerita mereka sendiri.

Aku sering duduk di sudut toko, mengamati pelanggan datang dan pergi. Kadang-kadang, aku tak sengaja tertidur bersandar pada tumpukan tas sekolah baru. Suara plastik, suara uang receh, aroma karton, dan tawa Ibuk yang ramah adalah musik masa kecilku. Terkadang Ibukku sering memberi bonus kepada pelanggan setianya. Ada anak yang berangkat sekolah kebetulan mampir dulu ke toko yang masih tutup, mengetuk pintunya, namun Ibukku dengan senang hati membuka bedhak (bahasa Jawa : pintu penutup). Walaupun ternyata, uang anak tersebut kurang, dengan sukarela pula Ibukku membiarkan anak itu membawa topinya dan mengatakan “silakan dibawa saja, kekurangannya besok.” Anak tersebut berangkat dengan speda ontelnya. Ibukku hanya membayangkan kalau itu anaknya. “Kasihan”, kata beliau.  

Tak jarang aku mendengar orang berkata, “Wah, ini anaknya Bu Nurida ya?” dengan nada yang setengah kagum, setengah iri. Aku tidak mengerti apa artinya saat itu, tetapi sekarang aku tahu: Ibuk adalah perempuan yang dihormati. Kerja kerasnya membuat toko kecil itu menjadi denyut ekonomi bagi banyak keluarga di kecamatan.

Aku bangga pada Ibuk—bangga dengan cara yang membuat mataku panas ketika menceritakannya sekarang.

3. Pasar Kliwon dan Mak Srikin

Jika Toko Nurida adalah dunia Ibuk, maka pasar Kliwon adalah kerajaan kecil milik Mak Srikin. Setiap kali aku dibawa ke sana, aku seperti memasuki dunia baru: penuh warna, aroma, dan suara. Pasar bukan hanya tempat jual beli, tetapi tempat di mana kehidupan mengalir tanpa jeda.

Toko Mak Srikin adalah toko pracangan, kata orang. Tapi bagiku, itu adalah hutan ajaib. Di sana ada:

  • gula putih yang dibungkus rapi dari ukuran satu ons hingga satu kilogram,
  • minyak goreng Filma dan Dorang yang botolnya berkilau ditimpa sinar matahari,
  • mi instan dan mi kuning yang tertata seperti gulungan tali emas,
  • kopi bubuk yang aromanya memenuhi udara,
  • beras dengan berbagai kualitas yang bunyinya khas ketika ditimba,
  • ikan asin pethek dan layur yang menggoda lauk makan siang,
  • dan kerupuk udang yang renyah bahkan sebelum digoreng.
  • Sabun mandi Lux, Lifebuoy, Giv, Palmolive, dll.
  • Shampoo merk apa saja Lifebuoy, Head and Soulder, Pantene,  juga tersedia.
  • Sabun cuci Rinso yang legend, So Klin, Boom, dll.

Mak Srikin tidak pernah lelah. Dengan tangan cekatan dan tatapan yang tajam, ia melayani pelanggan tanpa keluh. Suaranya nyaring, tetapi hangat. Ada dua orang pelayan Mbak Lamini dan Mbak Parti yang membantu Mak. Kadang-kadang aku membantu mengikat plastik gula atau menata mi instan di rak paling bawah. Meski hanya tugas kecil, aku merasa seperti bagian penting dari kerajaan itu, dan aku sering kali menjadi bos kecil, kasir di toko.

Ada masa ketika aku merasa Mak Srikin adalah perempuan paling kuat di dunia.

4. Kakung Nanang dan Cerita tentang Pabrik Gula

Kakung Nanang Moedjoko adalah laki-laki yang wajahnya selalu tampak teduh, seperti senja yang baru turun. Ia adalah seorang pensiunan tahun 1982 dari PG Modjopanggoong—nama besar yang mewarnai Tulungagung. Setiap kali Kakung bercerita, aku selalu membayangkan pabrik gula sebagai bangunan raksasa yang berdenyut seperti jantung kota. Setiap bulan Mei adalah waktu yang ditunggu semua pihak karena waktunya BUKA GILING, sebagai tanda beroperasinya mesin pembuat gula, dari proses penggilingan, sampai proses terakhir yang akhirnya menjadi gula dengan kualitas bagus. 

Pabrik Gula Modjopanggoong merupakan bangunan peninggalan Belanda dengan cerita Urban Legend yang membuat bulu kuduk merinding. Letak pabrik gula ini tidak jauh dari rumah Mak dan Nanang, hanya dibatasi pagar pabrik, tepatnya di timur rumah Mak dan Nanang. Sejak bayi,setiap harinya aku berada di rumah beliau berdua. Kami warga sekitar sangat beruntung, karena warga menikmati listrik dari pabrik gula tanpa membayar selama bertahun-tahun. 

Suatu sore, ketika langit berwarna oranye pucat, Kakung berkata padaku:

“Nduk, hidup itu kayak gula. Kalau mau manis, harus mau direbus, diperas, dilebur, dibentuk. Tak ada manis tanpa proses.”

Aku tidak sepenuhnya mengerti saat itu. Tetapi kelak, ketika aku dewasa dan melewati pahitnya hidup, aku sadar: Kakung tidak hanya membicarakan gula. Ia sedang mengajariku tentang kehidupan.

5. Mbah Buyut Kasmirah dan Doa-doa yang Lembut

Mbah Buyut Kasmirah adalah perempuan kecil berselendang putih, kulitnya keriput namun matanya bening seperti embun pagi. Setiap kali aku datang, ia menepuk punggungku dan mengatakan bahwa aku adalah cucu yang membawa rezeki.

Ia sering duduk di beranda, menenun doa-doa kecil untuk setiap anggota keluarga. Suaranya lirih, hampir tak terdengar, tetapi aku tahu doa-doanya itu seperti benang yang menjahit keberuntungan keluarga kami.

Mungkin itu sebabnya keluarga kami terasa begitu kokoh dulu—karena ada Mbah Buyut yang selalu menjaga dengan doa.

6. Masa Ketika Segalanya Masih Lengkap

Kadang aku merindukan masa ketika meja makan dipenuhi suara obrolan yang saling bersahutan. Ketika pagi terasa cerah hanya karena aku melihat Bapak mengayuh sepeda dinasnya. Ketika Ibuk memegangi tanganku sambil menyeberang jalan menuju toko. Ketika Mak Srikin tersenyum sambil menyuapi aku kerupuk udang. Ketika Kakung duduk di kursi bambu sambil menikmati kopi hitam. Ketika Mbah Buyut mengusap rambutku dengan tangan tuanya yang halus.

Mereka semua pernah ada—lengkap, hangat, utuh.

Barangkali itulah yang membuat kenangan itu begitu menyakitkan sekaligus membahagiakan: karena sekarang, banyak hal yang telah berubah.

Waktu tidak pernah benar-benar pergi, tetapi ia selalu membawa sesuatu dariku.

7. Mengapa Aku Menangis

Air mata yang jatuh setiap kali aku mengingat masa kecilku bukanlah air mata sedih semata. Mereka adalah air mata:

  • rindu pada masa ketika dunia terasa aman,
  • syukur kepada Tuhan atas keluarga yang begitu kuat,
  • haru karena aku dibesarkan dalam cinta yang tidak kumengerti saat itu,
  • dan kesadaran bahwa tidak ada yang abadi, kecuali kenangan.

Aku menangis karena masa kecilku adalah rumah yang tidak bisa lagi kutinggali, hanya bisa kukunjungi lewat ingatan. Aku menangis karena aku merindukan semua orang yang dulu duduk bersama di satu garis waktu—tetapi kini sebagian sudah kembali ke pangkuan Tuhan, sebagian menua, dan sebagian berubah oleh kehidupan.

Aku menangis karena di balik semua itu, aku masih anak kecil dari Toko Nurida, yang berjalan tanpa uang saku namun penuh keinginan untuk sukses. Anak yang percaya bahwa kerja keras bisa mengalahkan rasa takut kelaparan atau tidak bisa pulang. Anak yang diam-diam menaruh harapan pada keluarga yang membesarkannya.

8. Penutup: Jejak yang Tak Pernah Hilang

Kini, ketika aku berdiri di titik hidup yang sama sekali berbeda, aku sering menengok ke belakang. Bukan untuk menyesali, tetapi untuk mengingat dari mana aku berasal. Kenangan itu menguatkanku. Mereka adalah peta yang mengingatkanku bahwa aku dibentuk oleh tangan-tangan yang tulus.

Rumah itu mungkin sudah berubah. Toko Nurida mungkin tidak seramai dulu. Orang-orang yang dulu mengisi hari-hariku sebagian telah kembali ke alam lain. Tetapi jejak mereka tetap ada, membekas di setiap langkah yang kutapaki hari ini.

Setiap kali air mataku jatuh, aku tahu:
Itu bukan hanya kesedihan.
Itu adalah cinta.
Cinta kepada masa kecil yang mengajarkanku bahwa keluarga adalah rumah pertama, dan kenangan adalah rumah yang akan selalu kutinggali selamanya.

Sampang, 6-12-2025; 10:25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...