Kata Waktu : Langit Masih Cerah!
Karya: Srisa
Pagi itu setelah salat subuh
ku buka tirai kamar, melihat suasana yang masih agak gelap. Ku bereskan kamar
sebentar. Kemudian bergegas menuju dapur dan seperti biasa ku bantu ibu
menyiapkan makan pagi. Sebentar kulihat ibu yang sibuk mengaduk masakan.
“Ada apa, Sa?” Tanya ibu.
“Eee, tidak apa-apa, Bu!”
jawabku tergagap.
Ibuku begitu sempurna,
semua dilakukan, dan terlihat begitu menikmati hidup walaupun bebannya begitu
berat. Setelah ditinggal ayah tiga tahun lalu, beliaulah yang menjadi tulang
punggung keluarga. Walaupun uang pensiun ayah tetap menyangga kehidupan
keluarga kami, ibu tetap mencari tambahan penghasilan. Jadi, aku sebagai anak
laki-laki sulung di keluarga ini harus dapat membantu ibu ala kadarnya. Jangan
heran kalau aku bisa memasak masakan sederhana. Seperti halnya ayah dulu, yang tidak pernah
sungkan membantu ibu di dapur. Ayah sangat menghormati dan menyayangi ibuku,
cie cie!
Setelah selesai membantu
ibu, ku siapkan peralatan sekolah dan mandi.
Setelah mandi ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 wib.
Alhamdulillah, setelah ini berangkat sekolah dengan sepeda motor kesayanganku. Dengan langkah ceria ku menyusuri halaman
sekolahku dengan menuntun sepeda motorku. Tahu tidak? Di sekolah ini, siapa pun
orangnya harus menuntun sepeda motor atau sepeda anginnya sampai menuju tempat
parkir. Kecuali mobil, sih. Ketika berjalan menuju kelas, tanpa ku duga mata
ini melihat makhluk Tuhan yang begitu indah. Ya, dia adik kelas dua tahun di
bawahku. Gadis itu tampak cuek. Ya, aku
harus tahu diri dan pasrah. Jika sudah waktunya, Tuhan akan menjadikan hidup
ini indah, kata Ibu.
Bel istirahat berdentang,
aku menuju perpustakaan. Dan, kulihat gadis itu lagi. Kali ini dia melihatku.
Lalu, dia asik membaca bukunya lagi. Ah, sudahlah, mengapa aku seperti ini?
Ketika pulang sekolah, di
tempat parkir tanpa sengaja ku menyenggol seseorang. Hahhh, ternyata gadis itu
lagi.
“Maaf, maaf, tidak
sengaja!” pinta maafku padanya.
Dia tidak menjawab sama sekali. Aneh,
dan aku menjadi salah tingkah.
Entah mengapa, malam itu
aku selalu teringat gadis itu. Sampai-sampai aku tidak konsentrasi belajar
fisika. Untung saja, besok tidak ada ulangan. Tidak terasa malam semakin larut.
Ibu menyapa di balik pintu, mungkin dilihatnya lampu kamar masih menyala.
“Sa, belum tidur,ya?”
tanya ibu.
“Belum, bu. Tidak bisa
tidur!” jawabku terus terang.
Memang, aku tidak bisa
bohong pada ibuku. Rahasia apapun, tidak pernah ku simpan sendiri. Semua boleh
menyangka bahwa aku anak mama, tetapi aku tidak pernah bermanja-manja. Aku
dapat mandiri kok!
Pagi ini, mataku begitu
sulit dibuka.
“Sa, bangun. Salat, Nak!”
Ibuku membangunkanku.
Mau tidak mau harus
bangun.
“Maaf, bu. Usa tidak
membantu ibu” aku meminta maaf pada ibuku. Ibuku hanya senyum.
“Kamu lagi jatuh cinta
ya, Sa?” selidik ibu.
“Ah, ibu kok tanya
begitu?”jawabku.
“Wajarlah, kamu sudah
besar tetapi jangan sampai mengganggu sekolah, ya? Ingat pesan
ayah! Semua indah pada waktunya” Kata Ibu
mengingatkanku.
Akhirnya, hari berganti
hari, tahun berganti tahun. Kutinggalkan Ibu dan tiga adikku untuk menuntut
ilmu di kota Intan. Selama empat tahun ini aku kerjakan tugas-tugasku dengan
suka cita. Wajah Ayah, Ibu, dan adik-adikku mengikuti setiap waktu. Atas izin
Tuhan, kuselesaikan semuanya dengan tertatih-tatih. Berbekal beasiswa TID ku
melangkah dengan percaya diri. Walaupun untuk memperolehnya, aku harus
berjungkir balik, mempertahankan nilai bagus, mengerjakan tugas-tugas, dan
terengah-engah mencari uang untuk makanku sehari-hari di kampus biru. Untuk
ini, aku memang menyembunyikannya dari Ibu agar beliau tidak bersedih memikirkan
kesusahanku.
Tidak tahu mengapa,
tiba-tiba berkelebat wajah Gadis SMA-ku. Padahal tidak pernah membayangkan
gadis itu sedikitpun. Aku fokus ke studi hingga skripsi selesai. Tinggal
menunggu wisuda dan mengurus SK TID dari beasiswa yang ku peroleh selama dua
tahun berkuliah sehingga selepas lulus berkuliah, langsung dapat kunikmati
dunia kerja. Sampai akhirnya berjumpa lagi dengannya di kampus ini. Kok, dia di
sini? Kali ini kuberanikan diri menyapanya?
“Assalamualaikum, Kamu
adik kelasku di SMA Negeri 1 Damai, kan?” sapaku.
“Waalaikum salam. Oooh,
ya! Ya, sepertinya ya, sih” katanya cuek. Waduh, masih tetap sama, cuek! Ya,
Tuhan, kok begini, ya?
“Ya, sudah Dik, saya
duluan.” Kataku pamit.
“Tunggu, Kak! Maaf, ya? Saya
pindah ke kampus ini tahun kedua kuliah” Jawabnya masih cuek, tetapi sudah agak
ramah. Walaupun senyumnya begitu mahal.
“Adik kos di mana?”
tanyaku.
“Di Perumahan Setia II/
13, silakan kakak main-main ke sana” jawabnya lagi.
Wow, ada seberkas harapan untukku.
“Ya, sudah, Dik. Maaf
kalau saya sudah mengganggu” kataku minta maaf. Kali ini, dia senyum. Indah
sekali. Perasaan klasik menimpa
terbelalaknya hati.
Deg, degan rasanya
menunggu saat wisuda dan setelah itu SK-ku turun. Aku menunggu untuk mengatakan
sesuatu pada Gadis itu. Pasti ibuku menyukainya. Gadis itu bukan seperti gadis
kebanyakan. Cuek sekali dengan cowok. Sepertinya, dia memang untukku. Ah, aku sudah berandai-andai. Ah!
“Bu, insyaallah tiga
minggu lagi Usa wisuda dan dua bulan lagi SK-Ikatan Dinas turun. Aku
ingin memperkenalkan seorang gadis pada Ibu”
kataku pada Ibu di hape.
“Aduh, aduh, pacarmu, ya,
Sa?” tanya Ibu.
“Belum, bu! Usa belum
menyatakan pada gadis itu” jawabku mementahkan.
“Lo, terus bagaimana?”
Ibu bertanya tidak mengerti.
Lalu, kujelaskan semuanya. Dan, Ibu
mendoakan agar semua lancar.
Tak kuduga, keberanianku
muncul dengan tiba-tiba. Kakiku melangkah mantap ke kos-kosan gadis itu. Ku
ketuk pintu berukiran jepara itu. Pintu itu dibuka oleh seorang perempuan
setengah baya yang sangat ramah dan masih tampak gurat-gurat kecantikannya.
“Maaf, Bu. Apa benar Adik
siapa ya namanya?” tanyaku kebingungan.
Betapa bodohnya aku, ya?
Aduhhh!
“Mencari siapa, ya, Dik?”
Kata perempuan itu.
Agak lama aku berpikir. Lalu,
beliau menimpali lagi, mungkin kebingungan melihat tingkahku.
“Di rumah ini hanya ada seorang
gadis yang bernama Srisa, keponakan saya” Jawab ibu pemilik rumah.
“Ooo, ya, Bu. Dik Srisa”
Jawabku tergagap-gagap.
Gadis itu Srisa. Jadi, dia tinggal
dengan tantenya.
Tak lama kemudian
datanglah gadis itu. Sekali lagi, betapa bodohnya aku, yang tidak tahu namanya.
Asli bodoh, nih.
“Kak, kak, kak? Melamun,
ya?” tanyanya sambil mengibas-ibaskan tangannya di depan wajahku.
“Ooo, ya eee tidak,
tidak!” Jawabku menampik tuduhannya.
“Adik, nama Adik Srisa,
ya?” tanyaku mengalihkan gurauan gila ini.
“Ya, kak. Nama kakak
siapa?” tanyanya lagi.
Eee, ternyata dia pun
tidak tahu namaku. Walah, walah! Podho ae!
“Nama saya Usa!” jawabnya.
Waktu berlalu dengan
cepatnya sudah menunjukkan pukul 20.45 WIB. Aku harus mengakhiri saat yang
menyenangkan ini. Sayang sekali. Tetapi, aku harus selalu mengingat pesan Ibu,
berkunjung ke rumah cewek itu ada
batasannya, pukul 21.00 WIB.
Ketika tiba saat
mengungkapkan, perasaan berkecamuk menyelimuti seluruh ruang jantungku. Bintang
tidak berkedip sedikit pun. Hingga dag dig dug! Dan,
“Dik, sebenarnya saya
suka, sayang pada Adik! Kalau Adik belum bisa menjawab sekarang, tidak masalah.
Saya akan menunggu.” Kata ku dengan serba ada.
Serba berkecamuk. Serba salah. Serba
betul. Ah, tidak tahulah. Pasrah saja!
Dua bulan berlalu. Dari
sikapnya ku merasa, dia telah menjatuhkan bintangnya pada ku. Semoga tidak
bertepuk sebelah tangan itu pintaku.
17 Oktober 2014, Rasa
gundah terjawab. Bagai kejatuhan bulan kata pujangga. Rasanya ingin cepat-cepat
menemui Ibu dan memintanya untuk melamar Gadis itu.
“Bu, semua indah pada
waktunya, kan?” tanyaku pada Ibu.
“Ya, Sa. Jangan ragu dengan
dirimu!” jawab Ibu.
“Insyaallah, Bu!”
yakinku.
Ku persembahkan studi ini
untuk Ibu, adik-adik, dan untuk masa
depanku. Masa depanku, Srisa.
Sampai akhirnya langit
kian cerah, secerah cerita indah hari ini dan hari-hariku selanjutnya. Yang
penting, percaya pada-Nya, berupaya yang terbaik, pasti Tuhan mengabulkan
prasangka baik. Begitulah, bintang meyakinkan.
“Ya, kak. Ku terima!”
jawabnya. Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah seru
sekalian alam.
Rabu, 25 Juni 2014, 13.28