Cahaya Bintang Sejenak Menghilang
Oleh
Srisa
Suatu waktu masa
itu akan hadir kembali dalam bentuk yang berbeda. Seperti pada hari ini, Yo
seakan lahir kembali. Bunga-bunga bermekaran ingin menjumpainya dengan membawa
janji-janji manis. Yo, begitulah gadis cantik dan berpembawaan sederhana itu biasa
disapa. Gadis yang tidak banyak bicara, tetapi mempunyai banyak teman. Yo
adalah gadis yang murah senyum dan selalu menyapa siapa pun yang dijumpainya.
Entah itu, teman sekelas ataupun Pak Bon penjaga sekolah. Dari penjual di
kantin sekolah sampai penjual gorengan di gang depan rumahnya.
Dengan
tergesa-gesa, kakinya melangkah menuju pintu gerbang sekolah. Matanya terasa
segar melihat bunga-bunga yang berwarna-warni. Apakah ini pertanda baik bagi Yo?
Tibalah dia di
kelas yang bersih, hati ini pun merasa adem nyes! Yo menatap seseorang yang
baru saja ditemui di kelas. Dia jadi mikir siapa itu? Padahal selama ini dia
selalu berupaya cuek pada makhluk seperti itu.
Yahhh, masa itu hadir kembali di saat dia belum ingin menjumpai
masa itu.
Bu Rully membuatnya terkesiap
ketika suaranya yang lantang mengucapkan salam.
“Assalamualaikum warohmatullahi wa barokatuh,
selamat pagi, Anak-anak!”
“Waalaikum salam warohmatullahi wa
barokatuh”, Jawab semua siswa serentak.
“Hari ini indah, ya? Siapa yang
tidak masuk? Sayang sekali kalau tidak masuk, ya?”, pertanyaan Bu Rully sungguh
melengkapi perasaanku pada hari ini.
“Rabu kemarin, kita sudah
mempelajari Kalimat Inti -kan? Hari ini kita teruskan dengan latihan 5”,
kata ibu guru yang cantik dan baik itu membuat siswanya bersemangat.
“Langsung saja, ya? Kalau
berlama-lama berteori akan membuat ngantuk!”, perintah Bu Rully.
“Oh, ya, Mas yang duduk di bangku
deretan kedua itu baru, ya?” tanya Bu Rully kepada cowok itu.
“Ya, bu”, Jawab cowok itu.
“Siapa nama dan dari mana asal
sekolahmu?”, Tanya Bu Rully lagi.
“Nama saya Bagus Galih Setya,
pindahan dari SMA Negeri 1 Sejahtera”, jawabnya dengan tegas dan entah mengapa dia
sedikit menoleh ke arah Yo.
“Apa aku ge-er”, pikir Yo.
Untuk memastikan hal tersebut, Yo
menoleh ke arah kanan-kiri dan dia tertunduk. Katanya dalam hati kelihatan
sekali bahwa cowok itu sangat tegas dan berwibawa.
“Sudahlah, aku harus fokus, tetap
di tempat, tidak boleh bergerak!” ucapnya pada diri sendiri.
Jam pelajaran
Bahasa Indonesia dilalui Yo dengan sedikit tersendat. Bahkan Bu Rully sering
mengingatkannya untuk fokus.
Teng, teng,
teng, teng, bel istirahat telah dipukul oleh Pak Madi. Aku segera merapikan
buku dan mengeluarkan kotak bekalku. Kilil dan teman-teman yang lain sudah
banyak yang keluar kelas untuk melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing,
he...he. Ada yang akan ke kantin, ada yang ingin pipis, ada yang ingin menemui
kekasih, dan sebangsanya. Begitu pun Yo, yang ingin melaksanakan kewajiban menghabiskan
makanan dari ibu tercinta. Perut rasanya sudah keroncongan minta diisi.
Wooowww.
“Bismillahirohmanirrohim, semoga
makanan ini berkah. Terima kasih, Buk” ucap Yo lirih.
Saat itu Yo
tidak pernah memperhatikan keadaan sekitarnya. Ternyata, di bangku deretan
kedua, ada seorang cowok yang memperhatikan gerak-geriknya. Dia terus makan
dengan lahapnya. Akan tetapi, seakan ada yang menyuruhnya menoleh ke bangku
tersebut, dan hahhh! Karena malu, dia mengangkat kotak bekal dan memperlihatkan
pada cowok itu untuk menawarinya.
“Makan...” tawar Yo dengan datar
setengah malu.
“Ooo ya, terima kasih. Maaf ganggu,
apa boleh tanya?” Jawab dan tanya Bagus.
“Ya, silakan, ada apa?”, jawab Yo
agak lebih mendingan, tidak malu lagi.
“Kantin letaknya di mana, ya?”, tanyanya.
“Di sebelah UKS. Eh, apa kamu tahu
UKS?”, Yo balik bertanya.
“Sebelah mana, ya? Kan, saya baru
sekolah di sini! Oh, ya, nama panggilan saya, Bagus, dan siapa nama mu, tadi
kalau tidak salah Yoshinta, ya?”, kata Bagus.
“Nama panggilanku, Yo. Mari, saya antarkan sebentar kebetulan saya
sudah selesai makan”, jawabku.
“Terima kasih, kalau begitu!”, jawabnya
sambil tersenyum. So sweet.
Yo
merapikan kotak bekalnya dan segera mengantar Bagus ke kantin. Di tengah perjalanan,
dia banyak bertanya dan bercerita. Eee, saya kira dia seorang cowok yang pendiam
ternyata bisa ngomong juga, ya? Dan, waduh, semua mata melihat mereka
berdua. Yo sesekali menunduk karena malu tetapi untungnya kantin sudah ada di
depan mata.
“Nah, itu kantinnya. Berani
sendiri, kan?”, kata Yo pada Bagus.
“Ya, terima kasih tetapi aku mohon
kamu nunggu di sini. Aku hanya sebentar, kok”,
pintanya. Yo pikir, kasihan juga. Dia baru saja menapak di sekolah ini.
Yo
mengendarai scoopy-nya dengan santai karena hari masih pagi, udara masih
segar, dan paling penting tidak macet, pikirnya. Yo nikmati hari ini dengan
senyum yang mengembang. Hati kecilnya berdoa semoga halangan rintangan hari ini
dapat dilaluinya dengan hati sabar. Tuhan Maha Besar!
Sesampainya
di sekolah, Yo melihat sekelebat sorot mata bijaksana itu. Niat suci hari ini tercoret oleh sebuah rasa
yang aneh di dalam hatinya. Dan, Bagus menyapanya dengan suara yang membuat
gemetar hati gadis cantik yang sederhana itu.
“Assalamualaikum, Yo”, sapanya.
“Waalaikum salam”, jawabnya dengan
senyum.
Tak lama kemudian bel berbunyi.
Dan, ahhh ada apa dengan dia.
“Yo, ada apa? Kok nglamun? Ayo
cepat buka buku tugas, lalu maju kerjakan di papan tulis!”, perintah Pak
Misbahul, guru Sosiologi, membuatnya terhenyak.
“Ya, Pak”, jawabnya malu.
Wajahnya
memerah. Seumur-umur dia tidak pernah ditegur oleh guru. Apalagi oleh guru
pengajar yang ‘super sabar’, seperti Pak Misbahul.
Untung dia sudah mengerjakan tugas
itu sepulang sekolah kemarin. Jadi, dia tidak malu.
Wooowww
hari ini ada sedikit kendala. Dia tetap semangat menuju tempat parkir dan renggggggg,
scoopynya digas. Dan!
“Tunggu!”, ada suara yang
memanggilnya dari belakang.
Dia hentikan sepeda motor dan
menoleh, ternyata, Bagus.
“Ada apa?”, tanya Yo.
“Hanya ingin memanggilmu saja”,
kata Bagus seperti tanpa dosa.
“Aduh, Bagus, saya kira ada apa”,
kata Yo agak kesal. Bagaimana pun, perut ini sudah minta diisi.
“Ya, sudah, teruskan. Terima kasih,
ya?”, kata Bagus sambil tersenyum.
“Rupanya kamu punya selera humor
juga?”, kata Yo dengan cuek dan
berpamitan, “Ayo, duluan!”.
Riuh
rendah di kelas I-2 membuat penasaran. Sepintas lalu terdengar nama Bagus
disebut-sebut oleh teman-teman.
“Ada apa, Lil?”, tanya Yo pada
Kilil sabahatnya.
“Entah gosip apa bukan, katanya
Bagus baru ditangkap tadi malam di rumahnya”, kata Kilil.
“What, memangnya dia salah
apa?” tanya Yo tidak percaya.
“Dia pengedar narkoba!” kata Kilil.
Ya, Allah, hal
itu bagai petir menggelegar di siang bolong. Rasanya bintang-bintang itu ada di
atas kepala dan pyar...pyar.
Yo
malu dengan perasaannya sendiri. Dia hampir terlena oleh matanya, yang sering
melihat keindahan tanpa menyaring terlebih dulu.
Beberapa hari
setelah kejadian itu.
“Mbak, ada tamu cari, Mbak Yo!”,
kata Mbak Marti, asisten rumah tangga Ibunya.
“Oh, ya, Mbak. Siapa ya?”, tanya Yo ambil memperbaiki baju yang dipakainya.
“Katanya, adiknya teman Mbak Yo”,
jawab Mbak Marti.
Siapa ya? Penasaran Yo semakin
membuncah. Dan,
“Assalamualaikum” salam Yo pada
anak itu.
“Waalaikum salam” jawabnya sopan.
“Mbak Yo, ya? Saya, adik Mas Bagus.
Nama saya Ganteng”, jelasnya.
“Ooo, ada apa, ya, Dik?”, Yo
semakin penasaran.
“Saya disuruh Mas Bagus untuk
menyampaikan ini”, katanya sambil menyodorkan sepucuk surat.
“Silakan diminum dulu!” kata Yo
menghaturkan.
Ternyata,
Bagus mau menjadi seperti itu karena tuntutan ekonomi. Ayahnya mempunyai hutang
kepada seorang lintah darat sampai akhirnya meninggal. Sebagai anak yang
bertanggung jawab, Bagus harus mengembalikan uang itu dua kali lipat. Apa daya dia
hanya sebagai seorang pelajar. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga. Maka,
jadilah dia sebagai seorang pengedar narkoba.
Air mata Yo
menetes, betapa berat beban Bagus. Dan, yang membuatnya kaget, dia menyatakan
“Aku sebenarnya sangat menyukaimu tetapi akankah tangan ini mampu menggapai?”.
Cahaya bintang
benar-benar menghilang. Setitik cahaya bintang harus menyemburat hilang.
18-19 Maret 2015
X1-X2
SMADAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar