Esai Perbaruan
NIKMAT
Rubrik
ruang hati bertautan merangkai waktu. Berulang air mata mengalir menyaksikan
perselingkuhan waktu. Rata-rata tidak bertajuk seperti yang ada dalam sepinya.
Menyesal bergelimang dosa. Memang diri tak pantas disebut setia. Umur yang tak
lagi muda. Menatap langit yang tak lagi terang.
Sedikit
harapan menaruh sentimental. Janji manisnya pada hidup sesekali menagih. Binar
mata terangnya menemani semangat.
Seperti
setiap hari berpacu dengan waktu. Bu Asa menuju tempat bermulanya rezeki
mengendap di pelataran batin dan raganya. Menuju pintu gerbang sudah banyak
siswa yang datang. “Selamat pagi, Ibu!”
Ilustrasi
di atas menggambarkan rutinitas seorang insan yang lemah, yang berupaya setia
pada pekerjaannya. Ibarat cercah cahaya
yang ingin selalu menularkan kehangatan namun mega mendung seringkali
menghalangi cahaya. Kalau boleh penulis interpretasi mega mendung adalah
halangan, cacian, makian, nada sinis dan apa pun yang mewarnai hidupnya.
Insyaallah, hal tersebut yang membuat indah kesetiaan.
Keinginan
tersebut juga menimbulkan keinginan lain untuk hidup ikhlas walaupun sulit.
Akan tetapi, sulitnya ikhlas itu wajar, seperti yang dikemukakan Ippho “Right”
Santosa dalam bukunya “Untuk mengawali ikhlas itu sulit. Awalnya, hal
tersebut dilakukan karena terpaksa”. Memang, akhirnya lama-lama akan
terlatih dan tidak terpaksa lagi, insyaallah.
Inti yang dapat dipetik dari tulisan di
atas, menikmati segala pekerjaan seharusnya dengan setia penuh ikhlas. Penulis
mohon maaf kalau hal tersebut merupakan keinginan yang terlalu sempurna dan
membuat bibir tersenyum tidak simetris.
Diperbarui
Srisa, 20 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar