Hadiah Juara Satu
Karya: Srisa
Mendung menggelayut di awan semenjak
Galih pulang sekolah. Walaupun tidak seperti biasanya, ia agak terburu-buru.
Bukan saja karena menahan lapar yang menendang tetapi ia ingin menyampaikan
berita gembira kepada orang-orang tersayang. Karena orang tuanya masih bekerja,
kepada pengasuhlah pertama kali disampaikannya berita gembira itu. Dalam hatinya, “Mak, aku juara satu! Emak,
aku sangat lapar!!!!” Emak adalah pengasuhnya sejak kecil, asli Madura. Badannya
yang gemuk tambun, terasa membebani jalannya. Suasana semakin gelap, hujan
tinggal selangkah lagi mengucur ke bumi. Sambil sesekali terengah-engah. Sesekali
berlari. Sesekali berjalan.
Sesampai di rumah, Galih bercerita kepada Emak, dengan
bahasa Madura. “Mak, aku juara
satu!”.
“Sokor, Cong! (Bhs. Madura,
sokor= syukur, Cong=Nak/untuk anak lai-laki. “Syukur, Nak!”). Galih sudah
membayangkan, bahwa besok ia akan menyantap ayam goreng tepung di restoran
cepat saji satu-satunya yang ada di kotanya. Sesekali dilihatnya jam di
dinding. Belum pukul dua. Ibunya masih belum pulang. Ia sudah tidak sabar ingin
menyampaikan berita gembira itu.
Ada suara sepeda motor yang berhenti di depan rumah. Cepat-cepat ia
berlari ke arah sepeda motor itu. Betapa kecewanya, ternyata... bukan ibunya,
tetapi Pencatat listrik PLN yang memeriksa meteran listrik di rumahku.
Galih kembali masuk ke rumah dengan langkah gontai. Ia bertanya
dalam hati, mengapa Ibu belum datang-datang.
Tiba-tiba, handphone berbunyi...suara Coboy Jr “Yang
Terhebat” bersenandung memanggil...
Galih cepat-cepat mengangkat handphone-nya.
“Ayah!”
“Ayah, ada apa ?”
Setelah beberapa lama Galih
bercakap-cakap tiba-tiba wajahnya terlihat sangat kecewa. Adiknya, Nabil, yang
baru berumur 4 tahun, yang baru bangun
tidur pun bertanya padanya.
“Ada apa, Mas?” Galih tidak
menjawab sepatah kata pun.
“Mas Galih ditanyai Adik kok tidak menjawab, sih?” protes Adiknya.
Galih tetap berlalu tidak mempedulikan adiknya yang bersungut-sungut.
Tak terasa, kumandang adzan magrib di langgar kampung mulai
menggema. Akan tetapi, ibu belum pulang. Ayah juga. Galih merasa betul-betul
jengkel, kesal, marah, semua bercampur menjadi satu.
Handphone-nya berbunyi
lagi. Suara Coboy Jr. sebagai ringtone yang biasanya sangat disukai, kini
tidak dihiraukannya. Yang ada hanya kesal dan marah.
“Mak, mengapa Ibu dan Ayah tidak pulang-pulang? Mengapa
mereka hanya menanyakan sudah makan apa belum? Mengapa mereka berdua tidak
bangga pada Galih, mengapa?”. Emak menjawab dengan bahasa dan logat
Madura yang kental.
“Mungkin ayah dan ibu masih ada keperluan, jangan ditunggu-tunggu.
Jelek, Cong!”
Galih berpikir,
benar juga dengan apa yang dikatakan Emak. “Aku tidak boleh berpikir sejelek
itu pada Ayah dan Ibu” pikirnya. Akan tetapi, perasaan kesal itu tidak hilang.
Ketika jarum jam sudah melewati angka sembilan, terdengar suara mobil di depan rumah. Siapa
malam-malam begini bertamu, ucap Galih. Seketika
itu, dilihatnya dari jendela, ada seorang laki-laki membawa tas. Ternyata, Pak
Yusron, teman Ayah! Dan,...siapa yang digendong ayah? Galih berlari melihatnya.
Ternyata, ibuku tergolek lemas dan perut ibu...tak lagi besar!
“Ibuuu! Ada apa dengan Ibu,
Yah?” tanya Galih sambil menangis.
“Ibuuu!” Isak Galih tak
tertahan.
“Ibuuu! Ada apa, Bu?” ....
“Nak, adik kecil dalam perut ibu sudah tidak ada lagi. Tadi, kami
dari dokter dan ibu harus menjalani perawatan di sana. Galih masih ingat, kan, kemarin ibu yang sakit perut?”
“Ingat, Yah! Ada apa dengan
sakit Ibu?” tanya Galih penasaran.
“Nah, ternyata, adik dalam perut ibu juga sakit sampai akhirnya
adik kecil tidak dapat tertolong”. Ayah
tidak henti-hentinya memberi pengertian padanya. Ia mengangguk mengerti.
“Ya, Yah...” jawabnya lemas. Meskipun ada perasaan kecewa dalam
hati Galih. Akhirnya, ia menyadari kesalahannya.
“Ibu...maafkan Galih. Galih telah berprasangka buruk pada Ibu.
Seharusnya, Galih malah mendoakan Ibu dan Adik kecil. Maafkan Galih, ya, Bu?”
Ibu menjawab dengan suara lemah.
“Tidak apa-apa, Nak. Selamat, ya, Galih juara satu! Ibu bangga
padamu. Pertahankan prestasimu. Walaupun, ibu belum bisa memberi hadiah untukmu.”
Ada segurat kekecewaan di wajah Ibu.
“Galih tidak ingin hadiah, Bu. Ibu sembuh, sehat, itu adalah hadiah
terindah buat Galih.”
Galih menyesal telah mempunyai pikiran jelek kepada Ayah dan
Ibunya. Pupuslah harapan untuk mempunyai seorang adik lagi. Akan tetapi, ia
masih bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Penyayang, Ibu masih ada di depan
matanya. Bagi Galih, hadiah juara satu yang terindah dan terbaik adalah
kesehatan dan kesembuhan Ibu.
===========Mator
Sakalangkong===========
Lomba
Mengarang Cerpen Anak oleh Guru
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar