CERPEN
TIDUR
SANG PEMIMPI
oleh: Srisa*
Suasana semakin ramai, hiruk
pikuk orang melewati depan rumah bambu kecil tak terawat, yang selalu terbuka
pintunya. Rumah yang tepat berada di depan pasar itu seperti tak berpenghuni
karena rumah itu didiami seonggok daging bernyawa yang nyaris tak pernah bangun
dari mimpinya. Sehingga, tepat baginya bila disebut Sang Pemimpi.
Walaupun suasana agak mendung,
tetapi keadaan sekitar Sang Pemimpi tak
berangsur sepi. Berlawanan dengan keadaan Sang Pemimpi sendiri yang selalu
ingin sendiri, ia tak mau diganggu siapa pun. Ia selalu tidur di atas balkon.
“Nyam,nyam ,nyam, he he… nyaman ongguh [1]”,
Katanya berbicara sendiri, bibirnya tersenyum-senyum, namun matanya
tetap terpejam.
“Ini makanan enak, Dik. Alah…
jangan takut. Tidak ada orang yang tahu kalau uang ini uang panas”, Katanya
lagi. Entah, dalam mimpinya ia berbicara dengan siapa.
Ia tidak menyadari, di
depannya ada orang lalu lalang, suasana ramai, hiruk-pikuk. Dan ia tak tahu
bahwa gunjingan selalu ditujukan padanya.
Orang yang lewat diantaranya ialah orang yang
berjualan nasi. Yang setiap pagi mengarungi hidup dengan bermodal menawarkan
nasi. Sambil menjinjing bakul berisi dagangannya, ia berjalan di depan Sang Pemimpi dan
menengok ke arah Sang Pemimpi itu menawarinya nasi bungkus.
Sang Pemimpi itu tetap
tertidur. Akhirnya penjual
nasi itu pun pergi meninggalkan Sang Pemimpi.
Orang kedua yang lewat ialah
penari dengan pengiringnya. Penari yang berselendang itu menari dengan gemulainya. Di sela-sela
tariannya, ia menyanyikan Bapa’ Tane[3], yang
diiringi musik oleh lelaki berbadan tegap, memakai kaos, memakai ikat kepala,
dan berselempang sarung. Tangannya lincah memainkan alat musik. Lagunya begitu enak didengar!
“Pajjar laggu arena pon nyonara
Bapa’ tane se tedhung pon jaga’a
Ajalannagi syarat kewajiban
atatanem mabannya’ hasel bumina [6]
…
Sampai habis Bapa’ Tane
dinyanyikan, tak sedetikpun membuat orang di depannya itu bergeming. Akhirnya …
“Mas, Mas, Mas”, panggil
penari itu. Karena tidak bersambut dan tidak diberi uang oleh Sang Pemimpi,
mereka pun akhirnya berlalu.
Orang ketiga yang lewat di
depan Sang Pemimpi adalah lelaki bertubuh renta. Bajunya yang kusut dan kusam
menggambarkan bahwa orang tua itu pengemis.
“Mas, Mas, Mas, bangun, Mas!
Saya minta berkahnya, Mas!”, Pintanya
memelas dan mengulanginya, “saya minta berkahnya, Mas!”. Ia terus menunggui
Sang Pemimpi mengulurkan sekeping uang
logam. Sesekali Sang Pemimpi tersenyum tetapi matanya tetap terpejam.
Akhirnya pengemis itu pun
pergi meninggalkan harapan yang telah pupus untuk dapatkan sekeping uang logam.
Sang Pemimpi tetap pada
posisi tidurnya.
Suasana sepi mulai terasa.
Sang Pemimpi itu masih di atas balkon. Malam mulai menyapa. Angin dingin mulai
merayapi tubuh Sang Pemimpi. Mata tetap terpejam, mulutnya menggumam,
“Haaahhh…”.
Dan, suaranya kali ini agak
keras.
“Adaaa saja orang yang
mengganggu tidurku. Apa
mereka itu tidak tahu aku sedang memimpin rapat di kantor dewan? Apa mereka
tidak tahu bahwa aku sedang makan enak di meja makan mewah? Apa mereka tidak
tahu kalau aku sedang tidur diperaduan permadani yang lembut?”.
Ia terlihat kesal sekali.
“Jangan ganggu aku, hai, semua! Jangan menghentikan mimpiku! Aku tak mau
mimpiku kandas!”. Itu yang dikatakannya bila ia bermimpi indah.
Suatu ketika Sang Pemimpi itu
ketakutan dalam tidurnya.
“Tolong. Tolong. Tolong!!!
Seharusnya aku memakai pelampung agar aku
tidak terseret banjir. Tolong! Tolong! Tolong!!!”.
Ooo, mungkin ia terbawa
banjir. Mungkin, bencana banjir yang tengah melanda banyak wilayah di Indonesia tergambar dalam mimpinya.
Dan, Sang Pemimpi itu pernah
marah-marah dan ia katakan sesuatu dalam tidurnya. “Jangan kau ambil uangku!
Kembalikan!!!”. Lalu ia terdiam dan berkata … “Aku ingin bermimpi baik. Aku tak
mau bermimpi buruk lagi!”.
Berapa orang lagi yang menjadi
saksi apa yang dilakukan Sang Pemimpi. Orang yang kesekian kalinya ialah Tukang
Becak dan Ibu Penjual Sayur
“Apa bae se e mimpiagi[7]?”, kata Tukang Becak yang selalu lewat di
depannya sambil melihat ke arah suara Sang Pemimpi.
“ Entah, sudah ada berapa
mimpi yang telah ia mimpikan, hah …orang kok aneh”, ujar Ibu Penjual Sayur yang
selalu menumpang becak itu ketika berangkat ke pasar.
Malam itu datanglah Maling
yang ingin memasuki rumah Sang Pemimpi. Masuklah ia, namun …
“Apa yang kucuri? Rumah ini
kosong melompong, hanya sebuah lemari tua, hehhh. Sial hari ini! Yah, mungkin
di bawah tumpukan bajunya ada …Hahhh…Bau sekali!”, gumam Maling sambil
mengaduk-aduk isi lemari.
“Tidak ada apa-apa. Tapi ini
apa, ya?, tanyanya sambil membuka map kuning kusut, “Haaa, surat tanah?
Rupanya, ada durian jatuh untukku!”katanya lirih, dan senang sekali ia.
“Aku harus bunuh orang itu,
kalau tidak, pasti dia akan…” tebaknya.
“Pergi kau, jangan ambil
milikku”, teriak Sang Pemimpi.
Maling tersebut lari tunggang
langgang sampai tidak terlihat lagi. Tapi apa yang terjadi? Sang Pemimpi tidak
bangun sedikitpun. Ia bermimpi lagi!Mungkin, Maling itu akan tertawa
terpingkal-pingkal bila mengetahui hal itu.
Penjaga Malam yang lewat di
depan rumahnya hanya melihat selintas ke arahnya. Mungkin dalam benak mereka
hanya satu, ‘orang itu gila’.
Terdengar teguran keras dari
awan. Kilat menyambar, petir menggelegar, seolah-olah marah pada suara
pengumpat yang baru saja di dengarnya. Dan, muncullah sesosok Manusia Bijak
lalu ia berkata sesuatu.
“Sang Pemimpi yang selalu
bermimpi, bangunlah! Mimpi itu akan menyakitkan hatimu, kalau ingin melihat
mimpi menjadi kenyataan, bukalah matamu dan melangkahlah menjemput impian.
“Dimana, Kek?”, tanya Sang
Pemimpi.
“Itu. Lihatlah orang-orang di sana! Mereka mengais
rezeki dengan takaran masing-masing. Jika takaran rezekimu lebih sedikit,
jemputlah dengan kerja kerasmu. Jika takaran rezekimu lebih banyak, jemputlah
dengan kemampuanmu terhebatmu”. Seraya tangannya menunjuk ke arah
orang-orang yang sedang mengais rezeki di pasar.
“Aku tidak percaya, Kek! Dulu aku seperti
mereka, namun apa? Aku ditinggalkan oleh orang-orang yang aku cintai. Istriku tidak mau bersabar menerima kenyataan
hidup yang serba kekurangan, anakku meninggal
sebelum aku membahagiakan ia, orang tuaku meninggal sebelum
kupersembahkan baktiku untuk mereka”. Ia
tercenung.
“Sadarlah, itu baru sebagian
ujian yang kau lewati”, nasihat Manusia
Bijak.
“Alahhh. Alahhh! Lebih enak tidur dan bermimpi indah-indah.
Aku pernah menjadi presiden, aku pernah menjadi raja minyak terkaya, aku pernah
menjadi pangeran tampan, dan aku pernah menjadi pemain sinetron terkenal”,
katanya bangga.
“Tanpa usaha kaujalankan hal
itu akan sia-sia. Ayolah buka matamu. Bersama mereka itu lebih menyenangkan”,
ujar Manusia Bijak sambil menoleh ke arah manusia memeras keringat di sana.
“Sudahlah, jangan kau ajak
aku, aku ya aku. Yang tahu pahitnya membuka mata adalah aku. Yang tahu manisnya
mimpi hanyalah aku, bukan kau!” teriaknya dengan mata tertutup.
“Terserahlah jika kau ingin
begitu! Bila sudah habis cara
dan jalan
untuk mengingatkanmu, cepat atau lambat kau hanya
bisa temui hidupmu dalam mimpi tidur panjangmu”. Lalu Manusia Bijak itu
pergi tanpa bekas.
“Ya.
Memang aku akan terus bermimpi!”, ujarnya dengan mata yang tetap
terpejam.
|
Esok paginya, awan berarak
menjadi hitam, hujan pasti akan tiba. Dan tubuh Sang Pemimpi tergolek. Dan,
ternyata berita gembira datang padanya. Hidupnya pun menjadi mimpi dalam tidur
panjangnya.
Orang-orang lewat hanya
melihatnya karena sudah tidak peduli lagi pada Sang Pemimpi. Hanya selantun
kata yang diucapkan oleh orang-orang itu.
Penjual
nasi kali ini ia tidak menawarkan nasi pada Sang Pemimpi itu.
Bahkan dengan sinisnya berkata,
hidup, bukannya hidup untuk tidur!”. Tanpa berhenti lama-lama ia berlalu
Si Penari dan pengiringnya pun
lewat di depan Sang Pemimpi. Sambil diiringi oleh pengiringnya Penari itu
menyindir dalam nyanyiannya, “Jamannya, jamannya sudah edan[10]. Orang hiduuup kok hanya tiduran. Tidurnya terasa
enak dan nyaman. Sampai matipun
malas-malasan …”, dengan irama lagu Cucak Rawa.[11]
Pengemis Tua yang pernah meminta-minta
juga datang lagi, tetapi tidak mengharap diberi uang. Ia hanya mengantarkan
satu ucapan,
“Mas, saya tidak akan minta berkah pada kamu
lagi!”, kata Pengemis Tua itu lalu pergi.
Begitu pun, Tukang Becak dan Ibu Penjual Sayur yang memperbincangkan Sang Pemimpi dengan
kesalnya. Tukang Becak itu mengatakan, “Ya, sudah tidak usah mengurus orang
seperti ia, sekarang kita mencari uang
saja untuk keluarga di rumah”.
“Iya, ya, Pak, tidak usah
melihat orang aneh seperti ia, nanti kita ikut-ikutan aneh seperti ia”, Ibu
Penjual Sayur itu menimpali dengan kenes dan kesal.
Saat hari beranjak petang,
Maling yang pernah mengambil surat tanah Sang Pemimpi datang lagi, ia datang
bukan untuk mengambil harta benda Sang Pemimpi tetapi hanya untuk mengirim
umpatan. Rupanya, ia tahu bahwa Sang Pemimpi tak akan pernah mengerti apa yang
terjadi dengan surat tanahnya.
Ketika bulan suram, putih tak lagi ada. Ketika cahaya bergetar,
enggan untuk bersinar. Sang Pemimpi berjalan di atas mimpi. Senyumnya tergerai.
Tawanya memuncak. Wajahnya yang tak pernah puas seraya menjerit.
“Aku ingin senang dalam mimpi
panjangku”, gumamnya suatu hari.
Sayup-sayup terdengar lagu Mimpi-nya
Anggun Cipta Sasmi mengalun lembut mengiringi Sang Pemimpi yang terus bermimpi.
Melambung
jauh terbang tinggi bersama mimpi, terlelap dalam lautan emosi…
Setelah
aku sadar diri kau tlah jauh pergi tinggalkan mimpi yang tiada bertepi…
Kini Sang Pemimpi itu tertidur
pulas sekali. Sampai berapa lama ia akan tertidur, hal itu tak seorang pun yang
tahu dan peduli.
Kini tak ada lagi Sang
Pemimpi, yang ada hanyalah ketakutan orang sekitarnya, kalau-kalau hal itu
terjadi lagi pada orang lainnya. Sungguh tragis! Begidik mereka
sambil berkata,
“ Ia m – a – t
- i!”.
“ Reng ruwa mateh!”.
“ Ia m – a – t – i!” .
Sebenarnya jika semua ingin tahu, ini merupakan pelajaran
berharga bagi para pemimpi. Yang pertama, mimpi itu tidak nyata, maka itu
nyatakanlah mimpi itu dengan segenap usaha. Yang kedua, nasihat bijak itu
jangan pernah dibiarkan begitu saja. Yang ketiga, janji Tuhan tidak akan pernah
tercerabut, janji Tuhan seperti fajar.
#########
[1] bhs Madura (Mdr)~ berarti: enak sekali
[2] Mdr~berarti: “Nasi, nasi, nasi!” Kalimat
penawaran(siapa membeli nasi?)
[3] Bapak Tane (Bapa’ Tane), Salah satu judul lagu daerah Mdr
[4] (Jw)~ arit; (Mdr)~ are’: pisau bergagang yg bentuknya melengkung,
dipakai untuk memotong rumput, padi, dsb; sabit.
[5]Caping: tudung kepala yg dibuat dr anyaman
bambu bentuknya lancip ke atas dan melebar kelilingnya; capelin; capil.
Bapak tani yang tidur sudah bangun
Ambil arit dan cangkul begitu juga
capingnya
Menjalankan syarat kewajiban bertanam agar banyak
hasil buminya…
[7] Mdr~
yang berarti: “Apa saja yang dimimpikan?” Kalimat tanya
[8] singkatan dari kata ‘kacong’
berarti sebutan atau sapaan untuk anak laki-laki, kalau anak perempuan ‘cebbing’
disingkat ‘bing’
[9] Mdr~ berarti: “Nak, Nak. Jaman seperti
ini, hidup hanya dipakai tidur!”
[10] Jw~berarti gila
[11] lagu Jawa~berarti:Burung Cucak Rawa
[12] Mdr~berarti “orang gila!”
[13] Mdr~ berarti “Orang itu mati!”
Sebuah cerita yang bagus dan menarik untuk dibaca.Apalgi di sisipkan Bahasa Madura yang dilengkapi dengan Terjemahannya kedalam Bahasa Indonesia,ini berarti bisa dinilai bahwa Si Pengarangnya bangga degan Pulau Madura.
BalasHapusTerimakasih atas komentarnya. Hal ini akan saya jadikan sebagai dorongan untuk berkarya terus dengan ide Madura. Langit Madura adalah Langitku, Tanah Madura adalah tanahku, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung!
BalasHapus