Minggu, 16 Maret 2014

CERPEN : TIDUR SANG PEMIMPI



CERPEN                       
                                TIDUR SANG PEMIMPI
                                       oleh: Srisa*

Suasana semakin ramai, hiruk pikuk orang melewati depan rumah bambu kecil tak terawat, yang selalu terbuka pintunya. Rumah yang tepat berada di depan pasar itu seperti tak berpenghuni karena rumah itu didiami seonggok daging bernyawa yang nyaris tak pernah bangun dari mimpinya. Sehingga, tepat baginya bila disebut  Sang Pemimpi.
Walaupun suasana agak mendung, tetapi keadaan sekitar Sang Pemimpi  tak berangsur sepi. Berlawanan dengan keadaan Sang Pemimpi sendiri yang selalu ingin sendiri, ia tak mau diganggu siapa pun. Ia selalu tidur di atas balkon.
 “Nyam,nyam ,nyam, he he… nyaman ongguh [1]”,  Katanya berbicara sendiri, bibirnya tersenyum-senyum, namun matanya tetap terpejam.
“Ini makanan enak, Dik. Alah… jangan takut. Tidak ada orang yang tahu kalau uang ini uang panas”, Katanya lagi. Entah, dalam mimpinya ia berbicara dengan siapa.
Ia tidak menyadari, di depannya ada orang lalu lalang, suasana ramai, hiruk-pikuk. Dan ia tak tahu bahwa gunjingan selalu ditujukan padanya.
 Orang yang lewat diantaranya ialah orang yang berjualan nasi. Yang setiap pagi mengarungi hidup dengan bermodal menawarkan nasi. Sambil menjinjing bakul berisi dagangannya,  ia berjalan di depan Sang Pemimpi dan menengok ke arah Sang Pemimpi itu menawarinya nasi bungkus.
Nasek, nasek, nasek[2]!”, tawarnya.
Sang Pemimpi itu tetap tertidur. Akhirnya penjual nasi itu pun pergi meninggalkan Sang Pemimpi.
Orang kedua yang lewat ialah penari dengan pengiringnya. Penari yang berselendang itu  menari dengan gemulainya. Di sela-sela tariannya, ia menyanyikan  Bapa’ Tane[3],  yang diiringi musik oleh lelaki berbadan tegap, memakai kaos, memakai ikat kepala, dan berselempang sarung. Tangannya lincah memainkan alat musik.  Lagunya begitu enak didengar!
Pajjar laggu arena pon nyonara
Bapa’ tane se tedhung pon jaga’a
Ngala’ are’[4] ban landhu’ tor capenga[5]       
Ajalannagi syarat kewajiban atatanem mabannya’ hasel bumina [6]
Sampai habis Bapa’ Tane dinyanyikan, tak sedetikpun membuat orang di depannya itu bergeming. Akhirnya …
“Mas, Mas, Mas”, panggil penari itu. Karena tidak bersambut dan tidak diberi uang oleh Sang Pemimpi, mereka pun akhirnya  berlalu.
Orang ketiga yang lewat di depan Sang Pemimpi adalah lelaki bertubuh renta. Bajunya yang kusut dan kusam menggambarkan bahwa orang tua itu pengemis.
“Mas, Mas, Mas, bangun, Mas! Saya minta berkahnya, Mas!”,  Pintanya memelas dan mengulanginya, “saya minta berkahnya, Mas!”. Ia terus menunggui Sang Pemimpi  mengulurkan sekeping uang logam. Sesekali Sang Pemimpi tersenyum tetapi matanya tetap terpejam.
Akhirnya pengemis itu pun pergi meninggalkan harapan yang telah pupus untuk dapatkan sekeping uang logam. Sang Pemimpi tetap pada posisi tidurnya.
Suasana sepi mulai terasa. Sang Pemimpi itu masih di atas balkon. Malam mulai menyapa. Angin dingin mulai merayapi tubuh Sang Pemimpi. Mata tetap terpejam, mulutnya menggumam, “Haaahhh…”.
Dan, suaranya kali ini agak keras.
“Adaaa saja orang yang mengganggu tidurku. Apa mereka itu tidak tahu aku sedang memimpin rapat di kantor dewan? Apa mereka tidak tahu bahwa aku sedang makan enak di meja makan mewah? Apa mereka tidak tahu kalau aku sedang tidur diperaduan permadani yang lembut?”.
Ia terlihat kesal sekali.
 “Jangan ganggu aku, hai, semua! Jangan menghentikan mimpiku! Aku tak mau mimpiku kandas!”. Itu yang dikatakannya bila ia bermimpi indah.
Suatu ketika Sang Pemimpi itu ketakutan dalam tidurnya.
“Tolong. Tolong. Tolong!!! Seharusnya aku memakai pelampung agar aku
tidak terseret banjir. Tolong! Tolong! Tolong!!!”.
Ooo, mungkin ia   terbawa  banjir. Mungkin, bencana banjir yang tengah melanda banyak wilayah   di Indonesia tergambar dalam mimpinya. 
Dan, Sang Pemimpi itu pernah marah-marah dan ia katakan sesuatu dalam tidurnya. “Jangan kau ambil uangku! Kembalikan!!!”. Lalu ia terdiam dan berkata … “Aku ingin bermimpi baik. Aku tak mau bermimpi buruk lagi!”.
Berapa orang lagi yang menjadi saksi apa yang dilakukan Sang Pemimpi. Orang yang kesekian kalinya ialah Tukang Becak dan Ibu Penjual Sayur
Apa bae se e mimpiagi[7]?”, kata Tukang Becak yang selalu lewat di depannya sambil melihat ke arah suara Sang Pemimpi.
“ Entah, sudah ada berapa mimpi yang telah ia mimpikan, hah …orang kok aneh”, ujar Ibu Penjual Sayur yang selalu menumpang becak itu ketika berangkat ke pasar.
Malam itu datanglah Maling yang ingin memasuki rumah Sang Pemimpi. Masuklah ia, namun …
“Apa yang kucuri? Rumah ini kosong melompong, hanya sebuah lemari tua, hehhh. Sial hari ini! Yah, mungkin di bawah tumpukan bajunya ada …Hahhh…Bau sekali!”, gumam Maling sambil mengaduk-aduk isi lemari.
“Tidak ada apa-apa. Tapi ini apa, ya?, tanyanya sambil membuka map kuning kusut, “Haaa, surat tanah? Rupanya, ada durian jatuh untukku!”katanya lirih, dan senang sekali ia.
“Aku harus bunuh orang itu, kalau tidak, pasti dia akan…” tebaknya.
“Pergi kau, jangan ambil milikku”, teriak Sang Pemimpi.
Maling tersebut lari tunggang langgang sampai tidak terlihat lagi. Tapi apa yang terjadi? Sang Pemimpi tidak bangun sedikitpun. Ia bermimpi lagi!Mungkin, Maling itu akan tertawa terpingkal-pingkal bila mengetahui hal itu.
Penjaga Malam yang lewat di depan rumahnya hanya melihat selintas ke arahnya. Mungkin dalam benak mereka hanya satu, ‘orang itu gila’.
Terdengar teguran keras dari awan. Kilat menyambar, petir menggelegar, seolah-olah marah pada suara pengumpat yang baru saja di dengarnya. Dan, muncullah sesosok Manusia Bijak lalu ia berkata sesuatu.
“Sang Pemimpi yang selalu bermimpi, bangunlah! Mimpi itu akan menyakitkan hatimu, kalau ingin melihat mimpi menjadi kenyataan, bukalah matamu dan melangkahlah menjemput impian.
“Dimana, Kek?”, tanya Sang Pemimpi.
“Itu.  Lihatlah orang-orang di sana! Mereka mengais rezeki dengan takaran masing-masing. Jika takaran rezekimu lebih sedikit, jemputlah dengan kerja kerasmu. Jika takaran rezekimu lebih banyak, jemputlah dengan kemampuanmu terhebatmu”. Seraya tangannya menunjuk ke arah orang-orang yang sedang mengais rezeki di pasar.
 “Aku tidak percaya, Kek! Dulu aku seperti mereka, namun apa? Aku ditinggalkan oleh orang-orang yang aku cintai.  Istriku tidak mau bersabar menerima kenyataan hidup yang serba kekurangan, anakku meninggal  sebelum aku membahagiakan ia, orang tuaku meninggal sebelum kupersembahkan baktiku untuk mereka”.  Ia tercenung.
“Sadarlah, itu baru sebagian ujian yang kau lewati”,  nasihat Manusia Bijak.
 “Alahhh. Alahhh!  Lebih enak tidur dan bermimpi indah-indah. Aku pernah menjadi presiden, aku pernah menjadi raja minyak terkaya, aku pernah menjadi pangeran tampan, dan aku pernah menjadi pemain sinetron terkenal”, katanya bangga.
“Tanpa usaha kaujalankan hal itu akan sia-sia. Ayolah buka matamu. Bersama mereka itu lebih menyenangkan”, ujar Manusia Bijak sambil menoleh ke arah manusia memeras keringat di sana.
“Sudahlah, jangan kau ajak aku, aku ya aku. Yang tahu pahitnya membuka mata adalah aku. Yang tahu manisnya mimpi hanyalah aku, bukan kau!” teriaknya dengan mata tertutup.
“Terserahlah jika kau ingin begitu! Bila sudah habis cara dan jalan
untuk mengingatkanmu, cepat atau lambat kau hanya bisa temui hidupmu dalam mimpi tidur panjangmu”. Lalu Manusia Bijak itu pergi  tanpa bekas.
“Ya. Memang aku akan terus bermimpi!”, ujarnya dengan mata yang tetap
terpejam.

 
Awan kembali berarak dengan warna kelabu. Sebentar lagi pasti hitam pekat. Sang Pemimpi masih tergolek dalam tidurnya. Sekali-kali senyumnya merekah.
Esok paginya, awan berarak menjadi hitam, hujan pasti akan tiba. Dan tubuh Sang Pemimpi tergolek. Dan, ternyata berita gembira datang padanya. Hidupnya pun menjadi mimpi dalam tidur panjangnya.
Orang-orang lewat hanya melihatnya karena sudah tidak peduli lagi pada Sang Pemimpi. Hanya selantun kata yang diucapkan oleh orang-orang itu.
Penjual nasi kali ini ia tidak menawarkan nasi pada Sang Pemimpi itu.
Bahkan dengan sinisnya berkata,
 Cong, cong[8]. Jaman engak riya, odik mung tedung[9]!”. Seharusnya tidur dipakai untuk
hidup, bukannya hidup untuk tidur!”. Tanpa berhenti lama-lama ia berlalu
Si Penari dan pengiringnya pun lewat di depan Sang Pemimpi. Sambil diiringi oleh pengiringnya Penari itu menyindir dalam nyanyiannya, Jamannya, jamannya sudah edan[10]. Orang hiduuup kok hanya tiduran. Tidurnya terasa enak dan nyaman. Sampai matipun malas-malasan …”, dengan irama lagu Cucak Rawa.[11]
Pengemis Tua yang pernah meminta-minta juga datang lagi, tetapi tidak mengharap diberi uang. Ia hanya mengantarkan satu ucapan,
 “Mas, saya tidak akan minta berkah pada kamu lagi!”, kata Pengemis Tua itu lalu pergi.
Begitu  pun, Tukang Becak dan Ibu Penjual Sayur  yang memperbincangkan Sang Pemimpi dengan kesalnya. Tukang Becak itu mengatakan, “Ya, sudah tidak usah mengurus orang seperti ia, sekarang kita  mencari uang saja untuk keluarga di rumah”.
“Iya, ya, Pak, tidak usah melihat orang aneh seperti ia, nanti kita ikut-ikutan aneh seperti ia”, Ibu Penjual Sayur itu menimpali dengan kenes dan kesal.
Saat hari beranjak petang, Maling yang pernah mengambil surat tanah Sang Pemimpi datang lagi, ia datang bukan untuk mengambil harta benda Sang Pemimpi tetapi hanya untuk mengirim umpatan. Rupanya, ia tahu bahwa Sang Pemimpi tak akan pernah mengerti apa yang terjadi dengan surat tanahnya.
“Reng gileh[12]!”, umpatnya.
Ketika bulan suram,  putih tak lagi ada. Ketika cahaya bergetar, enggan untuk bersinar. Sang Pemimpi berjalan di atas mimpi. Senyumnya tergerai. Tawanya memuncak. Wajahnya yang tak pernah puas seraya menjerit.
“Aku ingin senang dalam mimpi panjangku”, gumamnya suatu hari.
Sayup-sayup terdengar lagu Mimpi-nya Anggun Cipta Sasmi mengalun lembut mengiringi Sang Pemimpi yang terus bermimpi.
Melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi, terlelap dalam lautan emosi…
Setelah aku sadar diri kau tlah jauh pergi tinggalkan mimpi yang tiada bertepi…
Kini Sang Pemimpi itu tertidur pulas sekali. Sampai berapa lama ia akan tertidur, hal itu tak seorang pun yang tahu dan peduli.
Kini tak ada lagi Sang Pemimpi, yang ada hanyalah ketakutan orang sekitarnya, kalau-kalau hal itu terjadi lagi pada orang lainnya. Sungguh tragis!   Begidik mereka sambil berkata,
 Reng ruwa mateh[13]!”. 
 “ Ia    m – a – t  - i!”.
Reng ruwa mateh!”.
 “ Ia    m – a – t – i!” .

Sebenarnya jika semua ingin tahu, ini merupakan pelajaran berharga bagi para pemimpi. Yang pertama, mimpi itu tidak nyata, maka itu nyatakanlah mimpi itu dengan segenap usaha. Yang kedua, nasihat bijak itu jangan pernah dibiarkan begitu saja. Yang ketiga, janji Tuhan tidak akan pernah tercerabut, janji Tuhan seperti fajar.
#########










[1] bhs Madura (Mdr)~ berarti: enak sekali
[2] Mdr~berarti: “Nasi, nasi, nasi!” Kalimat penawaran(siapa membeli nasi?)
[3] Bapak Tane (Bapa’ Tane),  Salah satu judul lagu daerah Mdr
[4] (Jw)~ arit; (Mdr)~ are’:  pisau bergagang yg bentuknya melengkung, dipakai untuk memotong rumput, padi, dsb; sabit.
[5]Caping: tudung kepala yg dibuat dr anyaman bambu bentuknya lancip ke atas dan melebar kelilingnya; capelin; capil.
[6] (Mdr) ~Fajar pagi harinya sudah bersinar                                                                   
                Bapak tani yang tidur sudah bangun
                Ambil arit dan cangkul begitu juga capingnya
 Menjalankan syarat kewajiban bertanam agar banyak hasil buminya…

[7] Mdr~  yang berarti: “Apa saja yang dimimpikan?”  Kalimat tanya
[8] singkatan dari kata ‘kacong’ berarti sebutan atau sapaan untuk anak laki-laki, kalau anak perempuan ‘cebbing’  disingkat ‘bing
[9] Mdr~ berarti: “Nak, Nak. Jaman seperti ini, hidup hanya dipakai tidur!”
[10] Jw~berarti gila
[11] lagu Jawa~berarti:Burung Cucak Rawa
[12] Mdr~berarti “orang gila!”
[13] Mdr~ berarti “Orang itu mati!”

2 komentar:

  1. Sebuah cerita yang bagus dan menarik untuk dibaca.Apalgi di sisipkan Bahasa Madura yang dilengkapi dengan Terjemahannya kedalam Bahasa Indonesia,ini berarti bisa dinilai bahwa Si Pengarangnya bangga degan Pulau Madura.

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas komentarnya. Hal ini akan saya jadikan sebagai dorongan untuk berkarya terus dengan ide Madura. Langit Madura adalah Langitku, Tanah Madura adalah tanahku, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung!

    BalasHapus

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...