SISWA-SISWAKU, RIWAYATMU KINI!
(Potret Kesahajaan Yang Kian Buram)
Pelan-pelan saya amati
bangunan yang masih tampak baik dan bersih. Suasana sejuk, asri, dan rindangnya
pepohonan menampakkan keagungannya. Itulah keadaan yang terbayang tentang pondok modern dan sekaligus lembaga
pendidikan formal SMA swasta tempatku bekerja mengabdikan ilmu sembilan tahun silam. Tepatnya, pertama kali saya
injakkan kaki di sekolah ini bulan Maret 2005 sebagai PNS.
SMA tempatku ditugaskan
ini di bawah naungan Pondok Modern. Di sini ada dua lembaga, yakni SMA dan RMI (Raudhatul Muthaalimin). Hal ini yang
menjadi ciri khas atau nilai lebih sekolah ini. Jadi, suasananya lekat dengan
suasana pondok pesantren walaupun bukan pondok salafiyah. Yang membedakan
dengan pondok salaf, di sini juga diajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa
sehari-hari, selain bahasa Arab.
Siswa-siswanya adalah
santri pondok itu sendiri dan siswa luar pondok atau disebut juga siswa luar,
tetapi jumlahnya sedikit.
Waktu
itu, banyak sekali hal baru yang terasa aneh, tetapi menarik, dan sekaligus
membuat saya terkejut dengan peraturan
dan budaya yang ada di SMA ini. Peraturan yang berbeda. Para penghuninya pun,
mulai dari santri atau juga siswa, [1]mualim, [2]ustadz, [3]lora, [4]nyai, dan [5]kyai, berbeda dengan apa yang saya jumpai selama ini. Begitu pun
suasana yang berbeda pula.
Memang,
saya bukan orang asli Sampang, juga bukan orang Madura. Juga, bukan
alumnus pondok pesantren. Juga, bukan
orang yang dekat dengan agama alias tahu agama secara mendalam. Juga, bukan
orang yang pernah bersekolah agama. Saya hanya tahu sekolah negeri tanpa embel-embel sekolah agama. Yang
dibesarkan dalam lingkungan bhineka agama. Bukan Islam saja! Jadi, saya
terbiasa dengan keberagaman.
Berbeda
dengan di sini, semua harus tampak teratur dan seragam. Budaya dan suasana yang berbeda dengan siswa
di sekolah negeri atau swasta yang pernah ditemui. Ucapan “Assalamu’alaikum”
selalu terdengar bila berpapasan. Bila
guru atau ustadz lewat, mereka selalu berhenti membiarkan guru atau ustadz
berlalu. Menghadap ke guru dengan posisi
setengah menunduk. Itulah, budaya santun!
Jika waktu
pulang tiba, guru atau ustadz belum beranjak dari meja depan kelas, para
siswa tidak pula beranjak dari tempat duduknya sampai guru berdiri. Saya pernah
harus tinggal di kelas lebih lama kira-kira tiga menit karena ada hal yang
harus saya selesaikan. Ternyata, mereka tidak pula beranjak dari tempat duduk.
Lalu, saya mempersilakan mereka pulang terlebih dulu. Mereka masih agak keberatan.
Mungkin, kalau mereka mau berkesah sambil menunggui saya beranjak, mereka akan
mengatakan “Cepat, Bu, saya lapar!”. Tetapi, hal itu tidak mereka katakan atau
lakukan. Mereka dengan ikhlas tersenyum pada saya. Itu pun, di antara mereka
berbisik siapa yang mau menolong saya membawakan buku dan tas yang saya pegang.
Akhirnya, mereka meawarkan jasa “Bu, bolehkah buku dan tasnya saya bawakan?”.
Ah, sungguh luar biasa murid-muridku ini! Sekali lagi, itulah budaya santun
yang terpotret dari kamera pengalaman saya di Pulau Garam ini!
Begitu pun, ketika
menaiki tangga, kadang-kadang mereka harus turun lagi dan membiarkan guru
menaiki tangga terlebih dulu. Walaupun sampai tangga ke empat atau lebih.
Pernah
pula saya terkesan, ketika baru sampai di sekolah. Salah seorang siswa
menghampiri untuk membawakan sepeda anginku ke tempat parkir yang disediakan.
Dia mengatakan “Mana, Bu, sepeda Ibu saya bawakan!”, dengan cepat dia mengambil
sepeda dari tanganku. Sekali lagi saya takjub dengan kejadian-kejadian berkesan
dan tidak pernah terjadi kala aku masih bersekolah dulu.
Begitu
pula ketika saya tahu formasi tempat duduk yang tidak pernah ditemui
sebelumnya, tempat duduk perempuan di belakang.
Saya heran bercampur takjub.
Masih
tentang tempat duduk. Ada seorang siswa pindahan dari Jawa yang tanpa sengaja
menempati tempat duduk guru pada jam istirahat. Tiba-tiba dia ditegur, tidak
boleh menduduki kursi guru. Kata mereka, ilmu siswi itu apakah sederajat dengan
guru? “Seberapa tinggikah ilmu Anti kok
menduduki kursi itu?”. Saya hanya
terperangah. Padahal, di tempat lain mungkin kursi guru adalah kursi
biasa yang tidak ada istimewanya bahkan dinaikki, diinjak-injak, diberi permen
karet, rumput gatal (bahasa Jawa ‘rawe’), lem,
atau kotoran bila tidak suka dengan guru. Memang, bagi saya, hal itu peraturan aneh tetapi masuk akal.
Bila
waktu berdoa, dengan khusyuk mereka panjatkan, Robbi ilahi kun lana, Anta sami’
u du’ana……sampai selesai. Tidak ada diantara siswa yang berbicara sendiri
(seperti yang terjadi akhir-akhir ini) atau tidak siap. Dan, pertama kali saya
dengar doanya begitu menyentuh perasaan. Walaupun saya tidak tahu artinya dan
tidak fasih membacakannya.
Betapa
sopannya, betapa mereka menghargai satu sama lain. Menjalankan peraturan dengan
semampu-mampunya. Sekarang? Guyuran siswa dari luar pondok, lambat laun mulai
mengikis dan mempengaruhi kehidupan yang santun dan berciri khas itu.
Jadi,
berbeda sekali. Perubahan demi perubahan terjadi, dan mengalir seperti air
keruh. Lambat tetapi sampai juga ke laut untuk mencemarinya. Akar yang subur
telah tercerabut. Tatakrama/ sopan
santun dan budaya positif terhapus sedikit-sedikit dan begitu saja. Eman.
Dulu,
walaupun tugas pondok begitu padatnya, para siswa masih tetap bersemangat
belajar di sekolah umum. Kadang-kadang mereka terkantuk-kantuk di kelas karena
malamnya harus mengkaji kitab, mereka masih mengerjakan tugas sekolah dengan
baik. Walaupun kurang maksimal.
Yang
penting bukan itu. Maksimal atau tidak maksimal, asalkan sudah mereka kerjakan,
hal itu yang utama.
Sekarang, intensitas
kegiatan pondok dikurangi, tidak sepadat dulu, tetapi apa yang malah terjadi.
Bangku kosong siswa yang tidak masuk dapat dijumpai di kelas-kelas. Kalau dulu
beberapa siswa harus menunda waktu tidur malam dengan belajar menyendiri di
kelas-kelas setelah pelajaran terakhir pondok. Sekarang mungkin jarang dijumpai
atau mungkin tidak ada ya? Atau ada satu? Lembar demi lembar terbuka di bawah
kantuk yang menghambat? Akankah semua itu masih ada?
Atau, akankah ada siswa
santri juara fisika? Seperti tiga atau empat tahun lalu. Kebanggaan yang
dipetik dari tidur malam-malam mereka adalah keberhasilan menempuh dua ilmu,
yakni ilmu agama dan ilmu umum.
Dalam
berbahasa pun, tidak semeriah dulu. Dulu, setiap minggunya, mau tidak mau, bisa
tidak bisa, para siswa yang juga santri diwajibkan berbahasa Arab-Inggris
secara bergantian. Karena ketatnya peraturan pondok, banyak santri yang dihukum
karena melanggar bahasa. Mereka harus mengalungkan kertas bertuliskan
“PELANGGAR BAHASA”. Akhirnya, mereka begitu
antusias menerapkan/berbahasa Arab dan Inggris.
Sering saya jumpai notebook-notebook kecil yang ditulisi
kata-kata baru atau vocabulary,
selalu dibawa kemanapun santri pergi. Kini, jarang saya jumpai.
Mungkinkah keadaan
seperti lima tahun lalu itu kembali ada? Pesimis yang sempat terpatri di logika
namun harus mulai dihapus. Apakah keadaan yang terjadi di kota kecil ini juga
terjadi di kota lain? Atau lebih parah?
Wahai, guru, semakin besar
tantangan kita untuk menuntun generasi.
Sebenarnya, yang lebih
penting, sebagai bahan renungan bahwa belajar agama bukan untuk dihafalkan atau
dilakukan sebagai formalitas, penggugur kewajiban tetapi juga untuk dimengerti,
dipahami, dan diamalkan. Dengan demikian,
hal-hal yang bisa merusak kesantunan, kebaikan, dan budaya positif dari suatu
komunitas pastilah dapat diminimalisasi dengan filter ilmu yang telah didapat,
baik ilmu agama sebagai penuntun kebutaan dan ilmu umum sebagai tonggak untuk
menegakkan kelumpuhan. Mungkin, harapan saya wajar seperti harapan para
guru(pendidik) lainnya.
[1]
Kedudukan yang dicapai santri
setelah melalui tahapan tertentu. Naik satu tingkat.
[2]
Kedudukan di atas mualim, yang
sudah berhak mengajar santri
[3]
Anak seorang kyai
[4]
Istri kyai; kedudukan
terhormat setingkat kyai bagi perempuan
[5]
Seorang yang terhormat;, yang
mempunyai keturunan sebagai tokoh agama.
[6]
Kedudukan yang dicapai santri
setelah melalui tahapan tertentu. Naik satu tingkat.
[7]
Kedudukan di atas mualim, yang
sudah berhak mengajar santri
[8]
Anak seorang kyai
[9]
Istri kyai; kedudukan
terhormat setingkat kyai bagi perempuan
[10]
Seorang yang terhormat;, yang
mempunyai keturunan sebagai tokoh agama.
[11]
Kedudukan yang dicapai santri
setelah melalui tahapan tertentu. Naik satu tingkat.
[12]
Kedudukan di atas mualim, yang
sudah berhak mengajar santri
[13]
Anak seorang kyai
[14]
Istri kyai; kedudukan
terhormat setingkat kyai bagi perempuan
[15]
Seorang yang terhormat;, yang
mempunyai keturunan sebagai tokoh agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar