Rabu, 12 Maret 2014

CATATAN MINI SISWA-SISWI, RIWAYATMU KINI!



SISWA-SISWAKU,  RIWAYATMU KINI!
 (Potret Kesahajaan Yang Kian Buram)
      
Pelan-pelan saya amati bangunan yang masih tampak baik dan bersih. Suasana sejuk, asri, dan rindangnya pepohonan menampakkan keagungannya. Itulah keadaan yang terbayang  tentang pondok modern dan sekaligus lembaga pendidikan formal SMA swasta tempatku bekerja mengabdikan ilmu sembilan  tahun silam. Tepatnya, pertama kali saya injakkan kaki di sekolah ini bulan Maret 2005 sebagai PNS.
SMA tempatku ditugaskan ini di bawah naungan Pondok Modern. Di sini ada dua lembaga, yakni SMA  dan RMI (Raudhatul Muthaalimin). Hal ini yang menjadi ciri khas atau nilai lebih sekolah ini. Jadi, suasananya lekat dengan suasana pondok pesantren walaupun bukan pondok salafiyah. Yang membedakan dengan pondok salaf, di sini juga diajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari, selain bahasa Arab.
Siswa-siswanya adalah santri pondok itu sendiri dan siswa luar pondok atau disebut juga siswa luar, tetapi jumlahnya sedikit.
            Waktu itu, banyak sekali hal baru yang terasa aneh, tetapi menarik, dan sekaligus membuat  saya terkejut dengan peraturan dan budaya yang ada di SMA ini. Peraturan yang berbeda. Para penghuninya pun, mulai dari santri atau juga siswa, [1]mualim, [2]ustadz, [3]lora, [4]nyai, dan [5]kyai, berbeda dengan apa yang saya jumpai selama ini. Begitu pun suasana yang berbeda pula.
            Memang, saya bukan orang asli Sampang, juga bukan orang Madura. Juga, bukan alumnus  pondok pesantren. Juga, bukan orang yang dekat dengan agama alias tahu agama secara mendalam. Juga, bukan orang yang pernah bersekolah agama. Saya hanya tahu sekolah negeri tanpa embel-embel sekolah agama. Yang dibesarkan dalam lingkungan bhineka agama. Bukan Islam saja! Jadi, saya terbiasa dengan keberagaman.
            Berbeda dengan di sini, semua harus tampak teratur dan seragam.  Budaya dan suasana yang berbeda dengan siswa di sekolah negeri atau swasta yang pernah ditemui. Ucapan “Assalamu’alaikum” selalu terdengar bila berpapasan.  Bila guru atau ustadz lewat, mereka selalu berhenti membiarkan guru atau ustadz berlalu. Menghadap ke guru dengan posisi  setengah menunduk. Itulah, budaya santun!
 Jika waktu  pulang tiba, guru atau ustadz belum beranjak dari meja depan kelas, para siswa tidak pula beranjak dari tempat duduknya sampai guru berdiri. Saya pernah harus tinggal di kelas lebih lama kira-kira tiga menit karena ada hal yang harus saya selesaikan. Ternyata, mereka tidak pula beranjak dari tempat duduk. Lalu, saya mempersilakan mereka pulang terlebih dulu. Mereka masih agak keberatan. Mungkin, kalau mereka mau berkesah sambil menunggui saya beranjak, mereka akan mengatakan “Cepat, Bu, saya lapar!”. Tetapi, hal itu tidak mereka katakan atau lakukan. Mereka dengan ikhlas tersenyum pada saya. Itu pun, di antara mereka berbisik siapa yang mau menolong saya membawakan buku dan tas yang saya pegang. Akhirnya, mereka meawarkan jasa “Bu, bolehkah buku dan tasnya saya bawakan?”. Ah, sungguh luar biasa murid-muridku ini! Sekali lagi, itulah budaya santun yang terpotret dari kamera pengalaman saya di Pulau Garam ini!
Begitu pun, ketika menaiki tangga, kadang-kadang mereka harus turun lagi dan membiarkan guru menaiki tangga terlebih dulu. Walaupun sampai tangga ke empat atau lebih.
            Pernah pula saya terkesan, ketika baru sampai di sekolah. Salah seorang siswa menghampiri untuk membawakan sepeda anginku ke tempat parkir yang disediakan. Dia mengatakan “Mana, Bu, sepeda Ibu saya bawakan!”, dengan cepat dia mengambil sepeda dari tanganku. Sekali lagi saya takjub dengan kejadian-kejadian berkesan dan tidak pernah terjadi kala aku masih bersekolah dulu.
            Begitu pula ketika saya tahu formasi tempat duduk yang tidak pernah ditemui sebelumnya, tempat duduk perempuan di belakang.  Saya heran bercampur takjub.
            Masih tentang tempat duduk. Ada seorang siswa pindahan dari Jawa yang tanpa sengaja menempati tempat duduk guru pada jam istirahat. Tiba-tiba dia ditegur, tidak boleh menduduki kursi guru. Kata mereka, ilmu siswi itu apakah sederajat dengan guru? “Seberapa tinggikah ilmu Anti kok menduduki kursi itu?”. Saya hanya  terperangah. Padahal, di tempat lain mungkin kursi guru adalah kursi biasa yang tidak ada istimewanya bahkan dinaikki, diinjak-injak, diberi permen karet, rumput gatal (bahasa Jawa ‘rawe’), lem,  atau kotoran bila tidak suka dengan guru.  Memang, bagi saya, hal itu  peraturan aneh tetapi masuk akal.
            Bila waktu berdoa, dengan khusyuk mereka panjatkan, Robbi ilahi kun lana, Anta sami’ u du’ana……sampai selesai. Tidak ada diantara siswa yang berbicara sendiri (seperti yang terjadi akhir-akhir ini) atau tidak siap. Dan, pertama kali saya dengar doanya begitu menyentuh perasaan. Walaupun saya tidak tahu artinya dan tidak fasih membacakannya.
            Betapa sopannya, betapa mereka menghargai satu sama lain. Menjalankan peraturan dengan semampu-mampunya. Sekarang? Guyuran siswa dari luar pondok, lambat laun mulai mengikis dan mempengaruhi kehidupan yang santun dan berciri khas itu.
            Jadi, berbeda sekali. Perubahan demi perubahan terjadi, dan mengalir seperti air keruh. Lambat tetapi sampai juga ke laut untuk mencemarinya. Akar yang subur telah tercerabut.  Tatakrama/ sopan santun dan budaya positif terhapus sedikit-sedikit dan begitu saja. Eman.
            Dulu, walaupun tugas pondok begitu padatnya, para siswa masih tetap bersemangat belajar di sekolah umum. Kadang-kadang mereka terkantuk-kantuk di kelas karena malamnya harus mengkaji kitab, mereka masih mengerjakan tugas sekolah dengan baik. Walaupun kurang maksimal.
            Yang penting bukan itu. Maksimal atau tidak maksimal, asalkan sudah mereka kerjakan, hal itu yang utama.
Sekarang, intensitas kegiatan pondok dikurangi, tidak sepadat dulu, tetapi apa yang malah terjadi. Bangku kosong siswa yang tidak masuk dapat dijumpai di kelas-kelas. Kalau dulu beberapa siswa harus menunda waktu tidur malam dengan belajar menyendiri di kelas-kelas setelah pelajaran terakhir pondok. Sekarang mungkin jarang dijumpai atau mungkin tidak ada ya? Atau ada satu? Lembar demi lembar terbuka di bawah kantuk yang menghambat? Akankah semua itu masih ada?
Atau, akankah ada siswa santri juara fisika? Seperti tiga atau empat tahun lalu. Kebanggaan yang dipetik dari tidur malam-malam mereka adalah keberhasilan menempuh dua ilmu, yakni ilmu agama dan ilmu umum.
            Dalam berbahasa pun, tidak semeriah dulu. Dulu, setiap minggunya, mau tidak mau, bisa tidak bisa, para siswa yang juga santri diwajibkan berbahasa Arab-Inggris secara bergantian. Karena ketatnya peraturan pondok, banyak santri yang dihukum karena melanggar bahasa. Mereka harus mengalungkan kertas bertuliskan “PELANGGAR BAHASA”.  Akhirnya, mereka begitu antusias menerapkan/berbahasa Arab dan Inggris.
Sering saya jumpai notebook-notebook kecil yang ditulisi kata-kata baru atau vocabulary, selalu dibawa kemanapun santri pergi. Kini, jarang saya jumpai.
Mungkinkah keadaan seperti lima tahun lalu itu kembali ada? Pesimis yang sempat terpatri di logika namun harus mulai dihapus. Apakah keadaan yang terjadi di kota kecil ini juga terjadi di kota lain? Atau lebih parah?  Wahai, guru,  semakin besar tantangan kita untuk menuntun generasi.
Sebenarnya, yang lebih penting, sebagai bahan renungan bahwa belajar agama bukan untuk dihafalkan atau dilakukan sebagai formalitas, penggugur kewajiban tetapi juga untuk dimengerti, dipahami, dan diamalkan.  Dengan demikian, hal-hal yang bisa merusak kesantunan, kebaikan, dan budaya positif dari suatu komunitas pastilah dapat diminimalisasi dengan filter ilmu yang telah didapat, baik ilmu agama sebagai penuntun kebutaan dan ilmu umum sebagai tonggak untuk menegakkan kelumpuhan. Mungkin, harapan saya wajar seperti harapan para guru(pendidik)  lainnya.
           



[1] Kedudukan yang dicapai santri setelah melalui tahapan tertentu. Naik satu tingkat.
[2] Kedudukan di atas mualim, yang sudah  berhak mengajar santri
[3] Anak seorang kyai
[4] Istri kyai; kedudukan terhormat setingkat kyai bagi perempuan
[5] Seorang yang terhormat;, yang mempunyai keturunan sebagai tokoh agama.
[6] Kedudukan yang dicapai santri setelah melalui tahapan tertentu. Naik satu tingkat.
[7] Kedudukan di atas mualim, yang sudah  berhak mengajar santri
[8] Anak seorang kyai
[9] Istri kyai; kedudukan terhormat setingkat kyai bagi perempuan
[10] Seorang yang terhormat;, yang mempunyai keturunan sebagai tokoh agama.
[11] Kedudukan yang dicapai santri setelah melalui tahapan tertentu. Naik satu tingkat.
[12] Kedudukan di atas mualim, yang sudah  berhak mengajar santri
[13] Anak seorang kyai
[14] Istri kyai; kedudukan terhormat setingkat kyai bagi perempuan
[15] Seorang yang terhormat;, yang mempunyai keturunan sebagai tokoh agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...