Sekilas Pandang Budaya Sastra
Oleh :
Sri Setiyo Astuti
I. SELAYANG PANDANG
Madura
ialah nama sebuah pulau di propinsi Jawa Timur. Letaknya di Selat Madura. Wilayah Madura terbagi
menjadi empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Wilayah Madura terdiri atas kepulauan, seperti Pulau Mandangin yang masuk wilayah Sampang, Pulau Sapeken di wilayah
Sumenep , Pulau Sapudi di Sumenep, dan lain-lain.
Madura
merupakan salah salah satu suku bangsa di Indonesia. Sebagai suku bangsa, “Keras” itu yang terlintas bila mendengar Madura,
atau mungkin “sate dan soto” Madura itu kulinernya. Entah anggapan itu berawal
dari mana atau berawal dari masalah apa. Yang jelas, tidak semua orang Madura
memiliki kekerasan seperti itu.
Tulisan
ini tidak membahas bagaimana orang Madura bertingkah laku tetapi bagaimana penggambaran
Madura yang “cantik, anggun, halus, dan
berbudi luhur” dalam tradisi(budaya) sastra. Sastra Madura penuh dengan pesan,
kesan, kritik, dan penuh ajaran yang adiluhung. Ternyata, itu dulu. Halimi Zuhdi LS (Peneliti sastra, cerpenis,
dan mahasiswa Pasca Sarjana PBA UIN Malang, Alumni Fakultas Humaniora Budaya,
Jurusan Sastra Arab UIN Malang, dan kini
Ketua Linguistic and Literature Malang) dalam tulisannya:
Di masa lampau sastra lisan
Madura sangat diminati oleh masyarakat
dari kalangan grass root (rakyat jelata) sampai kalangan elit (kraton). Dengan sastra, rakyat Madura dapat
mengeksprasikan diri, menyampaikan pesan moral, gejolak hati, dan ajaran agama.
Orang Madura yang terkenal keras menghadapi hidup, maju menentang arus, masih
sempat mendendangkan sastra-sastra, dengan kondisi geografis yang panas, ombak
lautan yang garang, maka sastranya pun penuh dengan motivasi dan pesan ajaran
yang ketat. (http://www.dunia
esai.com/sastra6.html)
Sebenarnya, sayang sekali jika
sastra yang sarat makna tersebut harus hilang atau sempat lenyap dari
permukaan. Hal itu tidak perlu disesalkan. Apalagi, di masa globalisasi ini, perubahan abad dan
perubahan millennium ini diramalkan akan membawa perubahan terhadap struktur ekonomi, struktur
kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia. Termasuk kedudukan Sastra Madura di mata
masyarakat. Seperti yang dimaksudkan
Alvin Toffler dalam tulisan Prof. Dr. Mursai Esten(Sumber: Forum Bahasa dan
Sastra), perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan
dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau
modal, selanjutnya kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan
teknologi). Proses perubahan yang menyebabkan terjadinya pergeseran ini sudah wajar. Begitupun dengan sastra Madura. Apalagi
Madura sudah mulai berpeluang besar dan diberi kemudahan untuk mengakses kota
lain dengan Suramadu. Suramadu merupakan jembatan yang menghubungkan antara
Madura dengan Surabaya. Jembatan yang diresmikan beberapa bulan lalu menuai
kontraversi dari masalah ekonomi sampai masalah budaya. Akan tetapi jembatan
ini sudah berdiri membentang memecah tengah lautan mau tidak mau harus diakui
oleh warga Madura, dan lama-kelamaan warga Madura mulai menikmatinya.
II.
TRADISI (BUDAYA)
SASTRA MADURA
a. Sastra
Madura Yang Berciri Khas itu Sempat Hilang dari Permukaan
Proses perubahan yang menyebabkan
terjadinya pergeseran ini sudah
wajar. Sastra Madura yang penuh dengan
pesan, kesan, kritik, dan penuh ajaran yang adiluhung itu pun sempat hilang. Bahkan
Alm. Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo, Prof
Kentrung , yang juga guru besar Fak. Bahasa dan Seni IKIP Surabaya (sekarang UNESA) pernah mengungkapkan bahwa Sastra Madura
(modern) telah mati, sebab sastra ini tidak lagi mempunyai majalah BM
(Berbahasa Madura). Buku-buku BM pun tak laku dijual. Dan, sastra Madura tak
lagi mempunyai kader-kader penulis muda, sebab yang muda-muda umumnya menulis
dalam bahasa Indonesia” dalam Halimi
Zuhdi LS.
Padahal, pengguna bahasa Madura cukup besar sekitar lebih dari 10 juta orang
yang berada di Pulau Madura dan Pulau Madura Pesisir timur dan utara Jawa Timur.
Tentunya, hal itu mempengaruhi tradisi (budaya)
sastra yang dihasilkannya. Hal ini disampaikan dalam sambutan penyelia R. P. Abd. Sukur
Notoasmoro dalam Pengajharan Bhasa
Madhura Sare Taman kelas 1 Sekolah Dasar (2006). Dalam Supriyanto (2007: 166)
Sikap manusia terhadap bahasa, dialek,
dan tradisi terjelma dalam dua bentuk, yaitu sikap positif dan sikap negatif. Hanya
sikap negatif yang dapat
mengantarkan manusia memelihara dan
melestarikan, dan mengembangkan bahasa, dialek, dan tradisi lisan. Sikap
positif ini memiliki banyak segi dan kombinasi dalam penerapannya dengan setiap
keadaan yang mempengaruhi kehidupan kita.
Selain itu, dikatakan pula bahwa sastra lisan dan tulis
Madura sudah lama tersohor. Potensi inilah yang seharusnya dipertahankan sehingga
memungkinkan berkembangnya sastra Madura ke pelosok negeri, tidak akan lenyap
dari masyarakat. Potensi itu juga yang membuat
sastra Madura mempunyai pamor. Selain itu, sastra Madura
yang menjadi bagian dari budaya masyarakat memiliki ciri khas yang tidak
dimiliki oleh budaya suku bangsa lain.
Mengapa suku bangsa itu mempunyai cirri khas?
Karena, suku bangsa adalah kebudayaan-kebudayaan dengan corak khas.
Istilah”suku bangsa” adalah suatu
golongan manusia terikat kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”.
Kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Dengan
demikian “kesatuan kesadaran” bukan hal yang ditentukan oleh orang luar yakni
oleh warga kebudayaan bersangkutan itu sendiri (Sri Agus, 2007: 37). Contoh: Kebudayaan Madura merupakan suatu kesatuan, dan
orang Madura sendiri sadar bahwa di
antara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka, yaitu kebudayaan
Madura yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus, berbeda dengan
kebudayaan lain.
b. Budaya
Sastra Madura
Dalam Sri Agus (2007:13) Budaya
lokal adalah budaya yang berkembang dan
digunakan para pendukung kebudayaan di suatu masyarakat. Sehubungan dengan
pengertian ini, masyarakat tradisional cenderung untuk mengendalikan aktivitas
kehidupan. Aktivitas kehidupan sosial yang dikendalikan oleh kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Struktur yang dominan di
masyarakat tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama.
Demikian juga budaya masyarakat
Madura. Madura terkenal kukuh dalam memegang teguh kemauan, memegang prinsip,
aqidah, dan keras terhadap ajaran agama yang menyebabkan sastra-sastranya penuh
dengan motivasi, pesan ajaran agama yang ketat, menentang kemaksiatan, keras
terhadap musuh-musuh yang mencoba menghancurkan aqidahnya.
Seperti yang dikemukakan Sri Agus
bahwa hal itu tidak berlangsung lama bila semua hal telah bergeser. Perkembangan sastra Madura bergantung pada
kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan
Madura di masa depan. Apalagi jembatan
Suramadu akan tegak berdiri membelah selat Madura, menghubungkan antara
Madura-Surabaya(kota metropolitan kedua di Indonesia). Bagaimana jejak sastra
Madura selanjutnya ditentukan oleh
generasi muda Madura. Akan hidup terus ataukah
akan hilang dengan sendirinya ataukah akan ada kombinasi yang positif atau negatif.
Sastra Madura yang sangat digemari oleh
masyarakat lokal antara lain dongeng, lok-olok, syiir, tembang, puisi mainan
anak-anak. Dongeng madura atau dalam bahasa Madura dungeng madure ialah
cerita atau kisah yang diambil dari cerita-cerita rakyat Madura, yang
mengandung beberapa pesan dan harapan.
Dungeng ini sering didendangkan dalam pengajian dan perkumpulan. Dongeng tersebut merupakan cermin kehidupan
masa lalu. Sedangkan Syi’ir merupakan untaian kata-kata indah, dengan susunan
kalimat yang terpadu. Biasanya, syi’ir dibaca di pesantren-pesantren, majelis
taklim, dan walimatul urusy. Tembang tidak jauh berbeda dengan syiir, biasanya
tembang dibaca ketika punya hajat atau akan mengawinkan anaknya, yang dibaca
oleh dua orang atau lebih sepanjang malam. Atau pun lagu-lagu Madura seperti Tanduk
Majeng, Melateh Potheh, dan Bapak Tannih begitu indah didengar.
Sayang sekali, generasi sekarang
sudah jarang yang mau mempelajari atau sekadar menyanyikan. keberadaannya sudah
kalah dengan lagu-lagu dari grup band Seventeen, Kangen band, Ungu, dan
lain-lain.
Padahal, sastra Madura menjadi
cermin masyarakat. Masyarakat yang selalu kuat menghadapi kehidupan; alam yang keras, panas yang menyengat, angin
laut yang keras, lautan yang garang, dan berbatu cadas. Mayoritas alamnya
memang seperti itu. Itulah realita dan
bedanya dengan pendapat yang mengatakan bahwa sastra tidak harus menjadi cermin
masyarakat, tidak bisa memperlihatkan fenomena yang berkembang di masyarakat,
atau pun bukan gambaran kehidupan masyarakat.
Kenyataannya, sastra Madura memang berbeda. Orang Madura dikenal dengan
kekerasannya, baik watak, sikap, kemauan, berpendapat, cenderung tidak mau
antri/bersabar, dan segala pandangan yang melekat pada orang Madura. Pandangan tentang Madura di masyarakat luar menjadi buruk dan jauh dari sikap santun dan
damai.
Nah, di sinilah keberadaan sastra sangat diperlukan. Anggapan publik tentang Madura yang penuh kekerasan identik
dengan keras, jahat,mudah marah, amoral,
kasar, tidak bersahabat, tidaklah benar. Halimi Zuhdi dalam “Sastra Madura & Kekerasan”
mengatakan bahwa kekerasan berbeda dengan keras. Watak keras inilah yang
dipunyai orang Madura pada umumnya, yang
dipengaruhi kondisi geografis yang panas, ombak laut yang garang, gunung-gunung
yang terjal, bebatuan yang kokoh, menjadikan watak keras. Keras dalam kemauan,
memegang prinsip, aqidah, dan keras terhadap ajaran agama yang menyebabkan
sastra-sastranya penuh dengan motivasi, pesan ajaran agama yang ketat,
menentang kemaksiatan, keras terhadap musuh-musuh yang mencoba menghancurkan
aqidahnya. Syi’ir Madura yang kebanyakan lewat pesantren dapat membuktikan
bahwa isi dan kandungannya mengandung ajaran yang ketat. (http://www.duniaesai.com/sastra/sastra2.html)
Kata celurit dapat membuat bulu
kuduk merinding. Celurit digunakan
perompak untuk membunuh, menyiksa, yang dirampok. Tetapi , jika melihat putra daerah Madura, Zawawi Imron, menggambarkan celurit itu bukan
alat yang semata-mata berfungsi negatif , pasti bulu kuduk tidak lagi berdiri. Zawawi Imron dengan celurit emasnya telah
berhasil /mampu mengubah persepsi masyarakat
dalam dan luar Madura. Celurit yang identik digunakan sebagai alat
membunuh ternyata sebagai alat yang
bermanfaat bagi kehidupan orang Madura. Itulah ciri khas Madura.
c. Karya
Sastra Madura
Sastra Madura yang cantik, anggun,
halus, dan berbudi luhur juga terekam
dalam pikiran, hati,
dan
jiwa orang Madura sampai akhir hayatnya.
Seperti dalam karya sastra berikut:
Potena(putihnya) mata (mata) tak bisa
ngobeh(mengubah) karep(keinginan)
Biruna(birunya) omba’ (ombak) abernai (mewarnai)
kasab(pekerjaan)
Pangeran(Tuhan) mareksani (melihat) ngolapah (berubahnya) ateh(hati)
Gelinah(kerasnya) betoh(batu) , tebeleh(terbelahnya)
bumi (bumi) ta kobesa(tidak kuasa)
Ngobeh(mengubah) ngagelinah(kekerasan) Pangeran(Tuhan)
Itulah sebagian kecil karya yang
menggambarkan kerasnya hati orang Madura dalam memegang prinsip hidup.
Atau lagu kejhung berikut:
Sapa bara’ ro (Siapa dari barat
itu)
Mano’ poter ca’ lonca’an (Burung
Puter berloncat-loncatan)
Ta’ enga’ lamba’ ro (Tidak ingat
jaman dulu itu)
Oreng soker pa’-sapa’an (Bertengkar
lalu menyapa)
Sapa bara’ ro (Siapa dari barat
itu)
Ngeba karong esse ghula (Membawa
karung isi gula)
Ta’ enga’ lamba ro (Tidak ingat
jaman dulu itu)
Sabbhan etong menta bala(Setiap
pelajaran berhitung minta diberitahu)
(2006:24)
Sindiran-sindiran di atas
disampaikan tanpa harus menyinggung perasaan. Berbeda dengan anggapan bahwa
orang Madura itu penuh kekerasan.
Kejhung Lir saalirkung dalam M. Dradjid, B. A., dkk (2006: 51)
Oreng odi’ bi’ enga’ a Orang hidup apa
ingat
Bila senneng ghi’ sussa’a Bila gembira
ingat susah
Lir saalirkung Lir saalirkung
Mon dhing sossa
ghi’ bhungaa Kalau sedang susah ingat gembirakah
Atengka seta’
salaa Berbuat yang tidak salah
Lir saalirkung
Lir saalirkung
Neng lorong
jhalan tong rontong Di pinggir jalan beriringan
Bhareng kodhu
arontong Bersama-sama harus beriringan
Lir saalirkung
Lir saalirkung
Sakancaan mon
apolong Berteman jika berkumpul
Kodhu akor sarta
atong Harus rukun serta …
Lir saalirkung
Lir saalirkung
Bhuppa’ bhabhu’
ghuru rato…. Guru Penguasa
Ngabhakte kalaban
tanto Berbakti itu, tentunya
Lir saalirkung
Jha loppa se
lemang bakto Jangan lupa yang lima waktu
sango pate ampon
tanto Bekal mati itu sudah tentu
Kejhung Lir saalirkung ini juga sarat ajaran dan
nasihat. Begitu juga, pantun dalam lagu Bhing ana’ dalam M. Dradjid,
B. A., dkk (2006: 64). Sama dengan pantun berbahasa Indonesia yang bersajak ab
ab, dua baris pertama (baris satu dan dua) berupa sampiran sedangkan dua baris
berikutnya merupakan isi pantun. Seperti juga pantun berbahasa Indonesia berisi
pesan, pantun berbahasa Madura ini pun
mengandung pesan bijak.
Bhing
ana’
Bhing
ana’ cena mate abhandhusa
Bhing
ana’ ebhendema menggu dateng
Bhing
ana’, te ngate se asakola
Bhing
ana’ ajhar ongghu bi’ bharenteng
Artinya:
Anak Perempuan
Anak Perempuan cina mati dengan banyak dosa
Anak Perempuan kamu kemana minggu depan….
Anak Perempuan hati-hati bersekolah….
Anak Perempuan belajar dengan sungguh-sungguh….
Karya
yang sarat dengan motivasi terlihat pula dalam
cuplikan lagu daerah Bappak Tane berikut:
Fajjar
laggu’ arena pon nyonara
Bappak
tane se teddhung, pon jagaa
Ngala’
are’ so landdhu’ tor capenga ….
Artinya:
Matahari pagi telah bersinar
Bapak tani yang tidur, sudah bangun
Mengambil …. , cangkul, dan capingnya …
Petani yang biasa bangun pagi mengerjakan sawahnya
dimotivasi oleh lagu di atas. Jika seorang
petani bangun kesiangan pasti pekerjaannya akan berantakan, hasilnya
tidak banyak.
Juga pada lagu mainan anak-anak berikut, kelucuan
isinya masih wajar.
Pa’-opak eleng
Pa’-opak
eleng,
Kelengnga
sakoranjing,
Buppak’na
entar ngaleleng,
Ana’
tambang tao ngaji,
Ngaji
babana cabbi,
Ka’-angka’na
srabi potthon. (2004:22)
Juga, karya sastra yang berbentuk
ungkapan seperti parebasan. Parebasan ini sama dengan paribasan di daerah Jawa. Contoh:
1. Akantha katkat
ngondhu nangger yang diumpamakan atau berarti orang yang tidak kuat
tetapi dikuat-kuatkan, dipaksakan kuat.
2. Abeddha’ e
dhalem aeng yang berarti perbuatan yang tidak ada gunanya.
3. Malappae mano’
ngabang yang
berarti mengharapkan barang atau benda yang tidak pasti (2004:6)
Kehalusan
itu juga tercermin dalam paparegan atau tebak-tebakan Madura. Contoh:
1. Ajamo
neng amperra,
Tatemmo padha caleperra
2. Ka Saronggi ngeba are’,
Mon la sogi ja’
re’-cerre’ (2004:14)
Arti:
1. Minum jamu di teras,
Bertemu sama-sama cerewetnya
2. Ke Saronggi membawa ….
Kalau kaya jangan
pelit-pelit.
Pada paparegan di atas, rima dan
iramanya begitu berasa, tetapi diartikan
dalam bahasa Indonesia rima dan irama yang ditimbulkan kurang berasa. Amperra dibaca amper yang berarti teras depan rumah, sedangkan caleperra dibaca cleper, yang berarti
cerewet.
Makna yang dalam pada paparegan di
atas menunjukkan kekayaan budaya
sehingga bersenda gurau saja dengan ber-paparegan atau pantun kilat.
Alangkah indahnya jika kebiasaan bertutur kasar, demokrasi anarkhis diganti atau paling tidak dikurangi , seperti
karya-karya di atas. Pemakaian bahasa
halus para nenek moyang orang Madura.
Berbahasa halus bukan berarti menggunakan bahasa yang terlalu standar/baku,
tetapi menggunakan bahasa sastra yang santun agar pesan mendidik dan menasihati,
bersenda gurau, dan berlagu itu diterima
oleh generasi muda Madura sekarang.
Budaya Madura dengan sastranya
dapat dipakai di kehidupan sehari-hari, misalnya, jika berkirim pesan lewat telepon selular
(sms) menggunakan pantun. Hal itu akan
menambah asyiknya bersenda durau. Atau,
ketika sedang menidurkan anak, para ibu dapat menyanyikan lagu-lagu, pa’-opa’ eleng,
misalnya. Atau juga, jika mengajari
bayinya berjalan, alangkah indahnya menyanyikan :
Tatah
ding labu tancak olar
Artinya:
Menatahlah/berjalanlah, jika jatuh akan digigit ular
Maksud dari lagu di atas ialah
memotivasi bayi atau anak untuk belajar berjalan, jangan sampai jatuh. Kalau
jatuh nanti akan digigit ular. Hal itu akan menjadikan semangat bayi yang baru
belajar berjalan untuk terus mencoba, belajar.
Keindahan Budaya dan sastra Madura
di atas jangan sampai lekang oleh Suramadu yang membelah selat Madura. Sayang
sekali jika keindahannya lapuk ditelan jaman.
III.
SIMPULAN
DAN SARAN
A. Simpulan
1. Sastra Madura tidak pernah mati. Oleh karena itu, harus dipertahankan keberadaannya. Generasi
muda Madura wajib menjaga, menyebarluaskan, melestarikan, dan menggunakannya
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Sastra Madura adalah cerminan kehidupan
masyarakat, gambaran kehidupan masyarakat, dan fenomena yang terjadi pada
masyarakat Madura.
3. Karya sastra Madura penuh dengan pesan,
kesan, kritik, dan penuh ajaran yang adiluhung.
B. Saran Bagi Madura
1. Hendaknya kehalusan Madura yang tercermin dalam
budaya dan sastra ini dipertahankan,
disebarluaskan terus, dan dilestarikan oleh generasi sekarang.
2. Berpaparegan, membuat parebasan, dan berlagu
kejhung diharapkan tidak hanya tercantun dalam pelajaran sekolah saja, paling
tidak dalam pergaulan lewat sms, atau pun bertutur sapa di rumah, menidurkan
bayi, dan di saat mengajari anak belajar berjalan tetap digunakan.
2. Makalah sederhana ini semoga menjadi pendorong penulisan
makalah tentang Madura, baik yang mengkaji
budaya sastranya ataukah budaya masyarakatnya dari sudut pandang ilmu
apapun oleh putra daerah Madura.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Sri. 2007. Antropologi
(Pelajaran Antropologi untuk SMA& MA
kelas XI SMA (Program Bahasa). jakarta: ganeca exact
Dradjid, M. dkk. 2004. Sare Taman Kelas 3 Sekolah Dasar : Pangajaran Basa Madura. Jakarta:
Yudhistira
Dradjid, M. dkk. 2006. Sare Taman Kellas 1 Sekolah Dasar : Pangajharan Bhasa Madhura. Jakarta : Ghalia Indonesia
(Yudhistira)
Esten, Mursai (Prof.Dr.)dalam “Bahasa dan Sastra Sebagai Identiti Bangsa dalam Proses Globalisasi” kumpulan esai, makalah, dan artikel dalam
Bahasa Indonesia. Forum Bahasa dan
Sastra http://www.duniaesai.com/sastra/sastra6.html
LS, Halimi Zuhdi dalam “Sastra Madura & Kekerasan”
kumpulan esai, makalah, dan artikel dalam Bahasa Indonesia. Penulis
lepas.com http://www.duniaesai.com/sastra/sastra2.html
Supriyanto. 2007. Antropologi (Pelajaran Antropologi Kontekstual untuk SMA& MA kelas XI SMA (Program Bahasa). Surakarta:
Media Tama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar