Rabu, 12 Maret 2014

KEHALUSAN MADURA Sekilas Pandang Budaya Sastra





                  

                                       Sekilas Pandang Budaya Sastra

 

        

Oleh :

Sri Setiyo Astuti

                 

















I.      SELAYANG PANDANG
Madura ialah nama sebuah pulau di propinsi Jawa Timur.  Letaknya  di Selat Madura. Wilayah Madura terbagi menjadi empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Wilayah Madura terdiri atas kepulauan, seperti Pulau Mandangin yang masuk      wilayah Sampang, Pulau Sapeken di wilayah Sumenep , Pulau Sapudi di Sumenep, dan lain-lain.
Madura merupakan salah salah satu suku bangsa di Indonesia. Sebagai suku bangsa, “Keras”  itu yang terlintas bila mendengar Madura, atau mungkin “sate dan soto” Madura itu kulinernya. Entah anggapan itu berawal dari mana atau berawal dari masalah apa. Yang jelas, tidak semua orang Madura memiliki kekerasan seperti itu.
Tulisan ini tidak membahas bagaimana orang Madura bertingkah laku tetapi bagaimana penggambaran Madura yang  “cantik, anggun, halus, dan berbudi luhur” dalam tradisi(budaya) sastra. Sastra Madura penuh dengan pesan, kesan, kritik, dan penuh ajaran yang adiluhung. Ternyata, itu dulu.  Halimi Zuhdi LS (Peneliti sastra, cerpenis, dan mahasiswa Pasca Sarjana PBA UIN Malang, Alumni Fakultas Humaniora Budaya, Jurusan Sastra  Arab UIN Malang, dan kini Ketua Linguistic and Literature Malang) dalam tulisannya:
Di masa lampau sastra lisan Madura  sangat diminati oleh masyarakat dari kalangan grass root (rakyat jelata) sampai kalangan elit (kraton).  Dengan sastra, rakyat Madura dapat mengeksprasikan diri, menyampaikan pesan moral, gejolak hati, dan ajaran agama. Orang Madura yang terkenal keras menghadapi hidup, maju menentang arus, masih sempat mendendangkan sastra-sastra, dengan kondisi geografis yang panas, ombak lautan yang garang, maka sastranya pun penuh dengan motivasi dan pesan ajaran yang ketat. (http://www.dunia esai.com/sastra6.html)
Sebenarnya, sayang sekali jika sastra yang sarat makna tersebut harus hilang atau sempat lenyap dari permukaan. Hal itu tidak perlu disesalkan. Apalagi,  di masa globalisasi ini, perubahan abad dan perubahan millennium ini diramalkan akan membawa perubahan  terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia. Termasuk kedudukan Sastra Madura di mata masyarakat. Seperti yang  dimaksudkan Alvin Toffler dalam tulisan Prof. Dr. Mursai Esten(Sumber: Forum Bahasa dan Sastra), perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan teknologi). Proses perubahan yang menyebabkan terjadinya pergeseran  ini sudah wajar.  Begitupun dengan sastra Madura. Apalagi Madura sudah mulai berpeluang besar dan diberi kemudahan untuk mengakses kota lain dengan Suramadu. Suramadu merupakan jembatan yang menghubungkan antara Madura dengan Surabaya. Jembatan yang diresmikan beberapa bulan lalu menuai kontraversi dari masalah ekonomi sampai masalah budaya. Akan tetapi jembatan ini sudah berdiri membentang memecah tengah lautan mau tidak mau harus diakui oleh warga Madura, dan lama-kelamaan warga Madura mulai menikmatinya.

II.                TRADISI (BUDAYA)  SASTRA  MADURA 

a.       Sastra Madura Yang Berciri Khas itu Sempat Hilang dari Permukaan
Proses perubahan yang menyebabkan terjadinya pergeseran  ini sudah wajar.  Sastra Madura yang penuh dengan pesan, kesan, kritik, dan penuh ajaran yang adiluhung itu pun  sempat hilang.   Bahkan Alm. Prof.  Dr. Suripan Sadi Hutomo, Prof Kentrung , yang juga guru besar Fak. Bahasa dan Seni  IKIP Surabaya (sekarang UNESA)  pernah mengungkapkan bahwa Sastra Madura (modern)  telah mati, sebab  sastra ini tidak lagi mempunyai majalah BM (Berbahasa Madura). Buku-buku BM pun tak laku dijual. Dan, sastra Madura tak lagi mempunyai kader-kader penulis muda, sebab yang muda-muda umumnya menulis dalam bahasa Indonesia”  dalam Halimi Zuhdi LS.
Padahal,  pengguna bahasa Madura  cukup besar sekitar lebih dari 10 juta orang yang berada di Pulau Madura dan Pulau Madura Pesisir timur dan utara Jawa Timur. Tentunya, hal itu mempengaruhi tradisi (budaya)  sastra yang dihasilkannya. Hal ini disampaikan  dalam sambutan penyelia R. P. Abd. Sukur Notoasmoro  dalam Pengajharan Bhasa Madhura Sare Taman kelas 1 Sekolah Dasar (2006). Dalam Supriyanto (2007: 166) Sikap manusia  terhadap bahasa, dialek, dan tradisi terjelma dalam dua bentuk, yaitu sikap positif dan sikap negatif. Hanya sikap negatif  yang dapat mengantarkan  manusia memelihara dan melestarikan, dan mengembangkan bahasa, dialek, dan tradisi lisan. Sikap positif ini memiliki banyak segi dan kombinasi dalam penerapannya dengan setiap keadaan yang mempengaruhi kehidupan kita.
            Selain itu,  dikatakan pula bahwa sastra lisan dan tulis Madura sudah lama tersohor. Potensi  inilah yang seharusnya dipertahankan sehingga memungkinkan berkembangnya sastra Madura ke pelosok negeri, tidak akan lenyap dari masyarakat. Potensi itu juga yang  membuat  sastra Madura  mempunyai pamor. Selain itu, sastra Madura yang menjadi bagian dari budaya masyarakat memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh budaya suku bangsa lain.
Mengapa suku bangsa itu mempunyai cirri khas? Karena, suku bangsa adalah kebudayaan-kebudayaan dengan corak khas. Istilah”suku bangsa”  adalah suatu golongan manusia terikat kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Dengan demikian “kesatuan kesadaran” bukan hal yang ditentukan oleh orang luar yakni oleh warga kebudayaan bersangkutan itu sendiri (Sri Agus, 2007: 37).  Contoh: Kebudayaan  Madura merupakan suatu kesatuan, dan orang  Madura sendiri sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka, yaitu kebudayaan Madura yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus, berbeda dengan kebudayaan lain.

b.       Budaya Sastra Madura
                  Dalam Sri Agus (2007:13) Budaya lokal adalah budaya yang berkembang  dan digunakan para pendukung kebudayaan di suatu masyarakat. Sehubungan dengan pengertian ini, masyarakat tradisional cenderung untuk mengendalikan aktivitas kehidupan. Aktivitas kehidupan sosial yang dikendalikan  oleh kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Struktur yang dominan di masyarakat tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama.
Demikian juga budaya masyarakat Madura. Madura terkenal kukuh dalam memegang teguh kemauan, memegang prinsip, aqidah, dan keras terhadap ajaran agama yang menyebabkan sastra-sastranya penuh dengan motivasi, pesan ajaran agama yang ketat, menentang kemaksiatan, keras terhadap musuh-musuh yang mencoba menghancurkan aqidahnya.
Seperti yang dikemukakan Sri Agus bahwa hal itu tidak berlangsung lama bila semua hal telah bergeser.  Perkembangan sastra Madura bergantung pada kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan Madura di masa depan.  Apalagi jembatan Suramadu akan tegak berdiri membelah selat Madura, menghubungkan antara Madura-Surabaya(kota metropolitan kedua di Indonesia). Bagaimana jejak sastra Madura  selanjutnya ditentukan oleh generasi muda Madura. Akan hidup terus ataukah  akan hilang dengan sendirinya ataukah akan ada kombinasi  yang positif atau negatif.
Sastra Madura yang sangat digemari oleh masyarakat lokal antara lain dongeng, lok-olok, syiir, tembang, puisi mainan anak-anak. Dongeng madura atau dalam bahasa Madura dungeng madure ialah cerita atau kisah yang diambil dari cerita-cerita rakyat Madura, yang mengandung beberapa pesan  dan harapan. Dungeng ini sering didendangkan dalam pengajian dan perkumpulan.  Dongeng tersebut merupakan cermin kehidupan masa lalu. Sedangkan Syi’ir merupakan untaian kata-kata indah, dengan susunan kalimat yang terpadu. Biasanya, syi’ir dibaca di pesantren-pesantren, majelis taklim, dan walimatul urusy. Tembang tidak jauh berbeda dengan syiir, biasanya tembang dibaca ketika punya hajat atau akan mengawinkan anaknya, yang dibaca oleh dua orang atau lebih sepanjang malam.  Atau pun lagu-lagu Madura seperti Tanduk Majeng, Melateh Potheh, dan Bapak Tannih begitu indah didengar. 
Sayang sekali, generasi sekarang sudah jarang yang mau mempelajari atau sekadar menyanyikan. keberadaannya sudah kalah dengan lagu-lagu dari grup band Seventeen, Kangen band, Ungu, dan lain-lain.
Padahal, sastra Madura menjadi cermin masyarakat. Masyarakat yang selalu kuat menghadapi kehidupan;  alam yang keras, panas yang menyengat, angin laut yang keras, lautan yang garang, dan berbatu cadas. Mayoritas alamnya memang seperti itu.  Itulah realita dan bedanya dengan pendapat yang mengatakan bahwa sastra tidak harus menjadi cermin masyarakat, tidak bisa memperlihatkan fenomena yang berkembang di masyarakat, atau pun bukan gambaran kehidupan masyarakat. 
Kenyataannya,  sastra Madura memang  berbeda. Orang Madura dikenal dengan kekerasannya, baik watak, sikap, kemauan, berpendapat, cenderung tidak mau antri/bersabar, dan segala pandangan yang melekat pada orang Madura.  Pandangan tentang Madura di masyarakat luar  menjadi buruk dan jauh dari sikap santun dan damai.
Nah, di sinilah  keberadaan sastra sangat diperlukan.  Anggapan publik  tentang Madura yang penuh kekerasan identik dengan keras, jahat,mudah  marah, amoral, kasar, tidak bersahabat, tidaklah benar.  Halimi Zuhdi dalam “Sastra Madura & Kekerasan”  mengatakan bahwa kekerasan berbeda dengan keras. Watak keras inilah yang dipunyai  orang Madura pada umumnya, yang dipengaruhi kondisi geografis yang panas, ombak laut yang garang, gunung-gunung yang terjal, bebatuan yang kokoh, menjadikan watak keras. Keras dalam kemauan, memegang prinsip, aqidah, dan keras terhadap ajaran agama yang menyebabkan sastra-sastranya penuh dengan motivasi, pesan ajaran agama yang ketat, menentang kemaksiatan, keras terhadap musuh-musuh yang mencoba menghancurkan aqidahnya. Syi’ir Madura yang kebanyakan lewat pesantren dapat membuktikan bahwa isi dan kandungannya mengandung ajaran yang ketat. (http://www.duniaesai.com/sastra/sastra2.html)

Kata celurit dapat membuat bulu kuduk merinding.  Celurit digunakan perompak untuk membunuh, menyiksa, yang dirampok. Tetapi , jika melihat  putra daerah Madura, Zawawi Imron,            menggambarkan celurit itu bukan alat yang semata-mata berfungsi negatif , pasti bulu kuduk tidak lagi berdiri.  Zawawi Imron dengan celurit emasnya telah berhasil /mampu mengubah persepsi masyarakat  dalam dan luar Madura. Celurit yang identik digunakan sebagai alat membunuh ternyata sebagai  alat yang bermanfaat bagi kehidupan orang Madura. Itulah ciri khas Madura. 

c.        Karya Sastra Madura
Sastra Madura yang cantik, anggun, halus, dan berbudi luhur  juga terekam dalam pikiran, hati,
dan jiwa orang  Madura sampai akhir hayatnya. Seperti dalam karya sastra berikut:
Potena(putihnya) mata (mata) tak bisa ngobeh(mengubah) karep(keinginan)
Biruna(birunya) omba’ (ombak) abernai (mewarnai) kasab(pekerjaan)
Pangeran(Tuhan)  mareksani (melihat) ngolapah (berubahnya)  ateh(hati)
Gelinah(kerasnya) betoh(batu) , tebeleh(terbelahnya) bumi (bumi) ta kobesa(tidak kuasa)
Ngobeh(mengubah) ngagelinah(kekerasan)  Pangeran(Tuhan)

Itulah sebagian kecil karya yang menggambarkan kerasnya hati orang Madura dalam memegang prinsip hidup.
Atau lagu kejhung  berikut:
Sapa bara’ ro (Siapa dari barat itu)
Mano’ poter ca’ lonca’an (Burung Puter berloncat-loncatan)
Ta’ enga’ lamba’ ro (Tidak ingat jaman dulu itu)
Oreng soker pa’-sapa’an (Bertengkar lalu  menyapa)

Sapa bara’ ro (Siapa dari barat itu)
Ngeba karong esse ghula (Membawa karung isi gula)
Ta’ enga’ lamba ro (Tidak ingat jaman dulu itu)
Sabbhan etong menta bala(Setiap pelajaran berhitung  minta diberitahu)
 (2006:24)
Sindiran-sindiran di atas disampaikan tanpa harus menyinggung perasaan. Berbeda dengan anggapan bahwa orang Madura itu penuh kekerasan.
Kejhung Lir saalirkung dalam M. Dradjid, B. A., dkk (2006: 51)
Oreng odi’ bi’ enga’ a Orang hidup apa ingat
Bila senneng ghi’ sussa’a Bila gembira ingat susah
Lir saalirkung Lir saalirkung
Mon dhing sossa ghi’ bhungaa Kalau sedang susah ingat gembirakah
Atengka seta’ salaa Berbuat yang tidak salah
Lir saalirkung Lir saalirkung
Neng lorong jhalan tong rontong Di pinggir jalan beriringan
Bhareng kodhu arontong Bersama-sama harus beriringan
Lir saalirkung Lir saalirkung
Sakancaan mon apolong Berteman jika berkumpul
Kodhu akor sarta atong Harus rukun serta …
Lir saalirkung Lir saalirkung
Bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato…. Guru Penguasa
Ngabhakte kalaban tanto Berbakti itu, tentunya
Lir saalirkung
Jha loppa se lemang bakto Jangan lupa yang lima waktu
sango pate ampon tanto Bekal mati itu sudah tentu
Kejhung  Lir saalirkung ini juga sarat ajaran dan nasihat.  Begitu juga,  pantun dalam lagu Bhing ana’ dalam M. Dradjid, B. A., dkk (2006: 64). Sama dengan pantun berbahasa Indonesia yang bersajak ab ab, dua baris pertama (baris satu dan dua) berupa sampiran sedangkan dua baris berikutnya merupakan isi pantun. Seperti juga pantun berbahasa Indonesia berisi pesan, pantun  berbahasa Madura ini pun mengandung  pesan bijak.

Bhing ana’
Bhing ana’ cena mate abhandhusa
Bhing ana’ ebhendema menggu dateng
Bhing ana’, te  ngate se asakola
Bhing ana’ ajhar ongghu bi’ bharenteng
Artinya:          
Anak Perempuan
Anak Perempuan cina mati dengan banyak dosa
Anak Perempuan kamu kemana minggu depan….
Anak Perempuan hati-hati bersekolah….
Anak Perempuan belajar dengan sungguh-sungguh….
Karya yang sarat dengan motivasi terlihat pula dalam  cuplikan lagu daerah Bappak Tane berikut:
Fajjar laggu’ arena pon nyonara
Bappak tane se teddhung, pon jagaa
Ngala’ are’ so landdhu’ tor capenga ….
Artinya: Matahari pagi telah bersinar
            Bapak tani yang tidur, sudah bangun
            Mengambil   …. , cangkul, dan capingnya …
Petani   yang biasa bangun pagi mengerjakan sawahnya dimotivasi oleh lagu di atas. Jika seorang  petani bangun kesiangan pasti pekerjaannya akan berantakan, hasilnya tidak banyak.
Juga pada lagu mainan anak-anak berikut, kelucuan isinya masih wajar. 
Pa’-opak eleng
Pa’-opak eleng,
Kelengnga sakoranjing,
Buppak’na entar ngaleleng,
Ana’ tambang tao ngaji,
Ngaji babana cabbi,
Ka’-angka’na srabi potthon.   (2004:22)
Juga, karya sastra yang berbentuk ungkapan  seperti parebasan. Parebasan ini sama dengan paribasan di daerah Jawa. Contoh:
1.      Akantha katkat ngondhu nangger yang diumpamakan atau berarti orang yang tidak kuat tetapi dikuat-kuatkan, dipaksakan kuat.
2.      Abeddha’ e dhalem aeng yang berarti perbuatan yang tidak ada gunanya.
3.      Malappae mano’ ngabang yang berarti mengharapkan barang atau benda yang tidak pasti  (2004:6)
Kehalusan itu juga tercermin dalam paparegan atau tebak-tebakan Madura. Contoh:
1.      Ajamo neng amperra,
Tatemmo padha caleperra
2.      Ka Saronggi ngeba are’,
Mon la sogi ja’ re’-cerre’ (2004:14)
Arti:
1.      Minum jamu di teras,
Bertemu sama-sama  cerewetnya
2.      Ke Saronggi membawa ….
Kalau kaya jangan pelit-pelit.
Pada paparegan di atas, rima dan iramanya begitu berasa,  tetapi diartikan dalam bahasa Indonesia rima dan irama yang ditimbulkan kurang berasa. Amperra dibaca amper yang berarti teras depan rumah, sedangkan caleperra dibaca cleper,  yang berarti cerewet.
Makna yang dalam pada paparegan di atas menunjukkan kekayaan budaya  sehingga bersenda gurau saja dengan ber-paparegan  atau pantun kilat. Alangkah indahnya jika kebiasaan bertutur kasar, demokrasi anarkhis  diganti atau paling tidak dikurangi , seperti karya-karya di atas.  Pemakaian bahasa halus para nenek moyang orang Madura.  Berbahasa halus bukan berarti menggunakan bahasa yang terlalu standar/baku, tetapi menggunakan bahasa sastra yang santun agar pesan mendidik dan menasihati, bersenda gurau, dan berlagu   itu diterima oleh generasi muda Madura sekarang.
Budaya Madura dengan sastranya dapat dipakai di kehidupan sehari-hari, misalnya,  jika berkirim pesan lewat telepon selular (sms) menggunakan pantun.  Hal itu akan menambah asyiknya bersenda durau.  Atau, ketika sedang menidurkan anak, para ibu dapat menyanyikan lagu-lagu, pa’-opa’  eleng, misalnya. Atau juga, jika mengajari  bayinya  berjalan,  alangkah indahnya menyanyikan :
Tatah ding labu tancak olar
Artinya:
Menatahlah/berjalanlah,  jika jatuh akan digigit ular
Maksud dari lagu di atas ialah memotivasi bayi atau anak untuk belajar berjalan, jangan sampai jatuh. Kalau jatuh nanti akan digigit ular. Hal itu akan menjadikan semangat bayi yang baru belajar berjalan untuk terus mencoba, belajar.
Keindahan Budaya dan sastra Madura di atas jangan sampai lekang oleh Suramadu yang membelah selat Madura. Sayang sekali jika keindahannya lapuk ditelan jaman.

III.             SIMPULAN DAN SARAN

A.    Simpulan
1.      Sastra Madura  tidak pernah mati. Oleh karena itu,  harus dipertahankan keberadaannya. Generasi muda Madura wajib menjaga, menyebarluaskan, melestarikan, dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Sastra Madura adalah cerminan kehidupan masyarakat, gambaran kehidupan masyarakat, dan fenomena yang terjadi pada masyarakat Madura.
3.      Karya sastra Madura penuh dengan pesan, kesan, kritik, dan penuh ajaran yang adiluhung.
B.     Saran Bagi Madura
1. Hendaknya kehalusan Madura yang tercermin dalam budaya  dan sastra ini dipertahankan, disebarluaskan terus, dan dilestarikan oleh generasi sekarang.
2. Berpaparegan, membuat parebasan, dan berlagu kejhung diharapkan tidak hanya tercantun dalam pelajaran sekolah saja, paling tidak dalam pergaulan lewat sms, atau pun bertutur sapa di rumah, menidurkan bayi, dan di saat mengajari anak belajar berjalan tetap digunakan.
2. Makalah sederhana ini semoga menjadi pendorong penulisan makalah tentang Madura, baik yang mengkaji  budaya sastranya ataukah budaya masyarakatnya dari sudut pandang ilmu apapun oleh putra daerah Madura.























DAFTAR PUSTAKA

Agus, Sri. 2007. Antropologi (Pelajaran Antropologi untuk SMA& MA  kelas XI SMA (Program Bahasa). jakarta: ganeca exact
Dradjid, M. dkk. 2004. Sare Taman Kelas 3 Sekolah Dasar : Pangajaran Basa Madura. Jakarta: Yudhistira

Dradjid, M. dkk. 2006. Sare Taman Kellas 1 Sekolah Dasar : Pangajharan  Bhasa Madhura. Jakarta : Ghalia Indonesia (Yudhistira)

Esten, Mursai  (Prof.Dr.)dalam “Bahasa dan Sastra Sebagai Identiti Bangsa dalam Proses Globalisasi”      kumpulan esai, makalah, dan artikel dalam Bahasa Indonesia. Forum  Bahasa dan Sastra  http://www.duniaesai.com/sastra/sastra6.html

LS, Halimi Zuhdi dalam “Sastra Madura & Kekerasan”  kumpulan esai, makalah, dan artikel dalam Bahasa Indonesia. Penulis lepas.com http://www.duniaesai.com/sastra/sastra2.html

Supriyanto. 2007. Antropologi (Pelajaran Antropologi Kontekstual untuk SMA& MA  kelas XI SMA (Program Bahasa). Surakarta: Media Tama

















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...