Jumat, 11 April 2014

Karya Sastra Siswa SMA Darussyahid 2



Rasa itu Tumbuh
Oleh: Maya Nurmayati
“Panggilan kepada siswi yang bernama Lia Dwi Anggraini kelas sebelas IPA untuk menemui Bapak Pur di kantor OSIS sekarang juga.” Saat mendengar kalimat itu aku langsung bergegas menemui Bapak Pur di kantor OSIS, setelah sampai di kantor OSIS ternyata P. Pur menunjuk aku untuk mengikuti lomba kontes “Kacong Cebbing” di Kabupaten Sampang sebagai perwakilan SMAN 5 Sampang. Aku menjadi cebbingnya sedangkan untuk kacongnya Pak Pur      menunjuk siswa kelas dua belas IPA, yaitu Kak Alex.
Aku dan Kak Alex tidak pernah kenal sebelumnya, P. Pur memanggil Kak Alex dan menyuruhnya untuk berkenalan denganku terlebih dahulu, “Hai Lia, Alex.” Sambil bersalaman denganku. “Hai kak, Lia.” Dengan senyum sedikit di bibirku. “Iya aku sudah tahu, kan kamu terkenal di sekolah ini.” Kata Kak Alex bercanda. Setelah berkenalan P. Pur menyuruh kita untuk segera  mempersiapkan diri dalam mengikuti lomba kontes itu dengan berlatih setiap hari secara maksimal. “Saya menunjuk kalian untuk mengikuti lomba kontes itu karena kalian berpotensi memenangkannya. Berlatihlah setiap hari secara maksimal. Sekarang kalian sudah kenal kan? Kalian boleh kembali ke kelas kalian. Kita mulai berlatih besok ya!” dengan tegas. “Iya Bapak.” Serentak kita ucapkan berdua. Aku dan Kak Alex segera kembali ke kelas.
Aku senang ditunjuk menjadi perwakilan sekolah dalam lomba kontes “kacong cebbing”. “saat latihan besok aku gugup gak ya? Biasa saja lah, tugasku besok hanya berlatih secara maksimal.” Pikirku saat malam hari hendak tidur.
Keesokan harinya, kulihat matahari memancarkan terik dengan hangatnya. Seperti biasa aku berangkat ke sekolah dengan perasaan ceria, dengan lincahnya aku berjalan kaki menuju ke sekolah. Saat istirahat aku bergegas menuju kantor OSIS untuk berlatih dan siap menerima materi dari P. Pur. Ternyata Kak Alex telah menungguku di sana. “eh Kak Alex sudah ada disini.” Dengan tersipu malu. “Iya lama banget gue nunggu lo.” Bengis. “Iya maaf kak.” Wajahku begitu melas. “hehehe apa adek ini, kakak cuma bercanda dek.” Dengan senyum dari bibir tipisnya yang begitu manis. “Ayo kita mulai berlatih.” Kata P. Pur dengan serius. Disaat berlatih dan penerimaan materi aku berkali-kali melakukan kesalahan. Maklum aku sama sekali tak berpengalaman dalam hal Budaya Madura karena aku bukan orang madura tulen, aku pindahan dari kota kelahiranku yaitu Ngawi. Aku pindah ke Madura tinggal bersama Bude untuk mengenyam pendidikan lebih jauh. Jika aku tak pindah dari kota kelahiranku, mungkin aku sudah tidak bisa bersekolah lagi. Jadi aku memutuskan untuk pindah dari kota kelahiranku meski aku harus berpisah dengan ibu, aku relakan hal itu. Keputusanku juga demi masa depanku kelak dan kebahagiaan orang tuaku khususnya ibu nantinya. Itu sepenggal cerita mengenai datangnya aku ke Madura. Kembali ke “latihan”. Hanya senyum yang begitu manis nampak di bibir Kak Alex ketika aku berulang-ulang melakukan kesalahan. Aku tersipu malu melihat senyum Kak Alex yg menyimpan sebuah arti. “huf, dekremah riyah, ngkok todus Ya Allah.” Hatiku selalu terniang seperti itu. Hal itu aku jadikan motivasi untuk selalu belajar dan lebih serius dalam berlatih agar nanti aku bisa menampilkan yang terbaik.

Setiap istirahat sekolah aku dan Kak Alex berlatih di kantor OSIS, dari yang tak mengenal satu sama lain menjadi sangat dekat. Bahkan dulu aku sempat tak suka pada Kak Alex karena menurutku dia hanya main-main dalam bersekolah, kegiatannya disekolahnya cuma pacaran, kurang disiplin, dan mungkin juga malas dengerin materi dari guru. Tapi pendapatku tentang Kak Alex salah besar, ternyata Kak Alex selain tampan, dia juga sopan, serius dalam berlatih, serta baik, dan lembut. Diwaktu senggang saat berlatih kita juga sering ngobrol tentang keluarga kita. “kakak berapa saudara?” Tanyaku. “Tujuh saudara Lia.” Cuek. “guh, cek benyak’en kak?” Kaget. “iya dek.” “uhf, kok banyak amat ya?” “yeh arapah dek? Pokok’en bisa ngingonin”. Senyum manisnya nampak lagi. “mengapa kamu pindah kesini lia?” tanyanya. “bantuin ibu kak.” Jawabku.
Tak terasa hari yang kami tunggu tinggal satu hari lagi, kita melakukan gladi bersih secara maksimal. Setelah dinilai sangat baik oleh P. Pur, aku dan Kak Alex beristirahat dengan berbincang-bincang. Kami begitu dekat, tanpa aku sadari “latihan” yang kita jalani setiap hari menumbuhkan sebuah rasa yang tak bisa diartikan. Entah rasa apa itu namanya, aku pun juga bingung. Aku cuek saja dengan rasa itu. “gak penting mikirin hal yang abstrak seperti itu, lagi pula Kak Alex gak mungkin mempunyai perasaan yang sama halnya sepertiku .” Pikirku. Saat itu aku hanya ingin fokus dengan perlombaan besok.
Hari yang kami tunggu ternyata datang juga, perlombaan itu akan di mulai jam sembilan pagi. Aku dan Kak Alex diantar menggunakan mobil ke Pendopo oleh P. Pur. Aku benar-benar gugup, tetapi aku abaikan rasa gugup itu. “aku harus santai, agar nanti aku bisa memberikan yang terbaik” terniang dalam hatiku. “sudahlah Lia, santai saja. Pasti kamu bisa.” Dengan lembutnya. “iya kak.” Jawabku. Kata-kata Kak Alex membuatku lebih santai lagi.
Kita berusaha menampilkan yang terbaik, berkat latihan setiap hari dan diiringi dengan doa ternyata membuahkan hasil yang begitu manis. Kita pemenang lomba kontes itu, kita dinobatkan sebagai “kacong cebbing 2013”. Aku sangat menyukuri hal itu. Setelah perlombaan itu selesai, kami melepas penat dengan berto-foto dan berbincang.
Kulihat pagi harinya matahari tersenyum, ikut bahagia dengan apa yang aku rasakan. Bahagianya aku saat istirahat tiba-tiba Kak Alex menghampiriku di kelas, dia sengaja ingin menemuiku untuk mengatakan sesuatu padaku. “lia, kenapa denganku ya? Aku mempunyai sebuah rasa yang tak dapat diartikan terhadapmu.” Aku benar-benarkaget mendengar hal itu, ternyata Kak Alex juga mempunyai rasa yang sama halnya kumiliki. Aku bingung menjawab pertanyaan Kak Alex. Aku abaikan perkataan Kak Alex, lagi pula aku sedikit tak percaya dengan perkataannya karena Kak Alex sendiri sudah punya kekasih yaitu teman sekelasnya (kakak kelasku).
Malam harinya, sejenak aku pikirkan kata-kata Kak Alex. “aku harus percaya egak ya? Tapi tidak ada salahnya aku percaya, lagi pula aku tahu kalau Kak Alex hanya terpaksa menjadi kekasih teman sekelasnya itu.”
 Di sekolah kita sering ngobrol, Kak Alex juga begitu perhatian terhadapku. Suatu ketika, di selingan obrolan kita, Kak Alex melontarkan perntanyaan tentang “rasa” itu lagi. Tanpa pikir panjang aku juga mengungkapkan “rasa” yang selama ini aku simpan dalam hati saja. Sejak detik itu, kita semakin dekat, lebih saling perhatian, dan lebih peduli satu sama lain.
Saat istirahat kali ini, bukan Kak Alex yang datang ke kelas, melainkan kekasihnya dia menghampiriku. “hei dek, ada hubungan apa kamu dengan Alex?” dengan bengisnya. “egak mbk, egak ada apa-apa.” Lembut kata-kataku. “nglemis lakar be’en dek.” “sudahlah terserah mbk.” Aku hanya bisa berkata seperti itu. Aku langsung lari ke lantai dua, ke kelas teman dekatku. Sayang, teman dekatku juga menegurku. “ appa kakeh lia? Jekreng alex la endik cewek, mak gik gangggu been. Torot, jek ejepen cowok playboy jiyah.” Dengan nada sedikit tingggi.
esok hari pada jam istirahat, aku dan Kak Alex dipanggil guru BP. Aku juga tak tahu mengapa aku dipanggil untuk ke ruangan BK. Ternyata guru BP menanyaikan perihal tentang hubunganku dengan Kak Alex. Maklum guru BP menanyakan tentang hal itu. Secara, kedekatanku dengan Kak Alex sudah tidak asing lagi dimata umum, dan memang sekolahku menerapkan peraturan bagi siswa-siswinya tidak boleh ada yang saling berpacaran. Guru BP hanya memberi saran kepadaku, sebaiknya aku dan Kak Alex jangan terlalu dekat. Aku cuek saja dengan saran guru BP. Sejak dua hari terakhir, masalah di sekolah kusikapi dengan santai.
Hendak tidur, teleponku berbunyi, ternyata ibu. Kita berbincang dengan begitu serunya, sampai larut malam. Tetapi ada satu hal yang membebani pikiranku saat aku berbincang dengan ibu, yaitu pesannya kepadaku. “ ndok, eleng yo ndok, ojo pacaran dimek yo! Tujuanmu kesana cari ilmu, mesakne ibu neng kene yo ndok. Koen mesti iso ngeraih cita-citamu, eleng yo ndok pesen ibu.” Pesan ibu selalu membebani pikiranku. Akhirnya aku putuskan untuk akan berhenti berhubungan dengan Kak Alex. selain karena masalah di sekolah, pesan ibu juga menjadi pertimbangan yang begitu berat bagiku.
Bel berbunyi, waktu istirahat datang, aku langsung menemui Kak Alex. “kak, jika nanti kita diperkenankan untuk bersama, pasti kita dipertemukan kembali kok kak, dengan keadaan yang tepat. Sekarang kita titipkan rasa yang kita miliki ini kepada tuhan, biar tuhan yang menjaganya. Aku kesemsem saat itu, Kak Alex menjawab dengan sebuah syair lagu.
Kamu segalanya, tak terpisah oleh waktu
Biarkan bumi menolak, ku tetap cinta kamu
Biar mamamu tak suka, semuanya juga melarang
Walau dunia menolak, ku tak takut
Tetap kukatakan kucinta dirimu
“ih, so sweet.” Dengan senyum tipis. “iya sudah Lia, kalau memang ini yang terbaik. Amin, semoga tuhan menjaga sebuah rasa yang kita miliki ini.” Wajah pasrah. “iya kak.” Senyumku nampak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...