Rasa itu Tumbuh
Oleh: Maya Nurmayati
“Panggilan kepada siswi yang bernama
Lia Dwi Anggraini kelas sebelas IPA untuk menemui Bapak Pur di kantor OSIS
sekarang juga.” Saat mendengar kalimat itu aku langsung bergegas menemui Bapak
Pur di kantor OSIS, setelah sampai di kantor OSIS ternyata P. Pur menunjuk aku
untuk mengikuti lomba kontes “Kacong Cebbing” di Kabupaten Sampang sebagai
perwakilan SMAN 5 Sampang. Aku menjadi cebbingnya sedangkan untuk kacongnya Pak
Pur menunjuk siswa kelas dua belas
IPA, yaitu Kak Alex.
Aku dan Kak Alex tidak pernah kenal
sebelumnya, P. Pur memanggil Kak Alex dan menyuruhnya untuk berkenalan denganku
terlebih dahulu, “Hai Lia, Alex.” Sambil bersalaman denganku. “Hai kak, Lia.”
Dengan senyum sedikit di bibirku. “Iya aku sudah tahu, kan kamu terkenal di
sekolah ini.” Kata Kak Alex bercanda. Setelah berkenalan P. Pur menyuruh kita
untuk segera mempersiapkan diri dalam
mengikuti lomba kontes itu dengan berlatih setiap hari secara maksimal. “Saya
menunjuk kalian untuk mengikuti lomba kontes itu karena kalian berpotensi
memenangkannya. Berlatihlah setiap hari secara maksimal. Sekarang kalian sudah
kenal kan? Kalian boleh kembali ke kelas kalian. Kita mulai berlatih besok ya!”
dengan tegas. “Iya Bapak.” Serentak kita ucapkan berdua. Aku dan Kak Alex
segera kembali ke kelas.
Aku senang ditunjuk menjadi
perwakilan sekolah dalam lomba kontes “kacong cebbing”. “saat latihan besok aku
gugup gak ya? Biasa saja lah, tugasku besok hanya berlatih secara maksimal.”
Pikirku saat malam hari hendak tidur.
Keesokan harinya, kulihat matahari
memancarkan terik dengan hangatnya. Seperti biasa aku berangkat ke sekolah
dengan perasaan ceria, dengan lincahnya aku berjalan kaki menuju ke sekolah.
Saat istirahat aku bergegas menuju kantor OSIS untuk berlatih dan siap menerima
materi dari P. Pur. Ternyata Kak Alex telah menungguku di sana. “eh Kak Alex
sudah ada disini.” Dengan tersipu malu. “Iya lama banget gue nunggu lo.”
Bengis. “Iya maaf kak.” Wajahku begitu melas. “hehehe apa adek ini, kakak cuma
bercanda dek.” Dengan senyum dari bibir tipisnya yang begitu manis. “Ayo kita
mulai berlatih.” Kata P. Pur dengan serius. Disaat berlatih dan penerimaan
materi aku berkali-kali melakukan kesalahan. Maklum aku sama sekali tak
berpengalaman dalam hal Budaya Madura karena aku bukan orang madura tulen, aku
pindahan dari kota kelahiranku yaitu Ngawi. Aku pindah ke Madura tinggal
bersama Bude untuk mengenyam pendidikan lebih jauh. Jika aku tak pindah dari
kota kelahiranku, mungkin aku sudah tidak bisa bersekolah lagi. Jadi aku
memutuskan untuk pindah dari kota kelahiranku meski aku harus berpisah dengan
ibu, aku relakan hal itu. Keputusanku juga demi masa depanku kelak dan
kebahagiaan orang tuaku khususnya ibu nantinya. Itu sepenggal cerita mengenai
datangnya aku ke Madura. Kembali ke “latihan”. Hanya senyum yang begitu manis
nampak di bibir Kak Alex ketika aku berulang-ulang melakukan kesalahan. Aku
tersipu malu melihat senyum Kak Alex yg menyimpan sebuah arti. “huf, dekremah
riyah, ngkok todus Ya Allah.” Hatiku selalu terniang seperti itu. Hal itu aku
jadikan motivasi untuk selalu belajar dan lebih serius dalam berlatih agar
nanti aku bisa menampilkan yang terbaik.
Setiap istirahat sekolah aku dan Kak
Alex berlatih di kantor OSIS, dari yang tak mengenal satu sama lain menjadi
sangat dekat. Bahkan dulu aku sempat tak suka pada Kak Alex karena menurutku
dia hanya main-main dalam bersekolah, kegiatannya disekolahnya cuma pacaran,
kurang disiplin, dan mungkin juga malas dengerin materi dari guru. Tapi pendapatku
tentang Kak Alex salah besar, ternyata Kak Alex selain tampan, dia juga sopan,
serius dalam berlatih, serta baik, dan lembut. Diwaktu senggang saat berlatih
kita juga sering ngobrol tentang keluarga kita. “kakak berapa saudara?”
Tanyaku. “Tujuh saudara Lia.” Cuek. “guh, cek benyak’en kak?” Kaget. “iya dek.”
“uhf, kok banyak amat ya?” “yeh arapah dek? Pokok’en bisa ngingonin”. Senyum
manisnya nampak lagi. “mengapa kamu pindah kesini lia?” tanyanya. “bantuin ibu
kak.” Jawabku.
Tak terasa hari yang kami tunggu
tinggal satu hari lagi, kita melakukan gladi bersih secara maksimal. Setelah
dinilai sangat baik oleh P. Pur, aku dan Kak Alex beristirahat dengan
berbincang-bincang. Kami begitu dekat, tanpa aku sadari “latihan” yang kita
jalani setiap hari menumbuhkan sebuah rasa yang tak bisa diartikan. Entah rasa
apa itu namanya, aku pun juga bingung. Aku cuek saja dengan rasa itu. “gak
penting mikirin hal yang abstrak seperti itu, lagi pula Kak Alex gak mungkin
mempunyai perasaan yang sama halnya sepertiku .” Pikirku. Saat itu aku hanya
ingin fokus dengan perlombaan besok.
Hari yang kami tunggu ternyata datang
juga, perlombaan itu akan di mulai jam sembilan pagi. Aku dan Kak Alex diantar
menggunakan mobil ke Pendopo oleh P. Pur. Aku benar-benar gugup, tetapi aku
abaikan rasa gugup itu. “aku harus santai, agar nanti aku bisa memberikan yang
terbaik” terniang dalam hatiku. “sudahlah Lia, santai saja. Pasti kamu bisa.”
Dengan lembutnya. “iya kak.” Jawabku. Kata-kata Kak Alex membuatku lebih santai
lagi.
Kita berusaha menampilkan yang
terbaik, berkat latihan setiap hari dan diiringi dengan doa ternyata membuahkan
hasil yang begitu manis. Kita pemenang lomba kontes itu, kita dinobatkan
sebagai “kacong cebbing 2013”. Aku sangat menyukuri hal itu. Setelah perlombaan
itu selesai, kami melepas penat dengan berto-foto dan berbincang.
Kulihat pagi harinya matahari
tersenyum, ikut bahagia dengan apa yang aku rasakan. Bahagianya aku saat
istirahat tiba-tiba Kak Alex menghampiriku di kelas, dia sengaja ingin
menemuiku untuk mengatakan sesuatu padaku. “lia, kenapa denganku ya? Aku
mempunyai sebuah rasa yang tak dapat diartikan terhadapmu.” Aku
benar-benarkaget mendengar hal itu, ternyata Kak Alex juga mempunyai rasa yang
sama halnya kumiliki. Aku bingung menjawab pertanyaan Kak Alex. Aku abaikan
perkataan Kak Alex, lagi pula aku sedikit tak percaya dengan perkataannya
karena Kak Alex sendiri sudah punya kekasih yaitu teman sekelasnya (kakak
kelasku).
Malam harinya, sejenak aku pikirkan
kata-kata Kak Alex. “aku harus percaya egak ya? Tapi tidak ada salahnya aku
percaya, lagi pula aku tahu kalau Kak Alex hanya terpaksa menjadi kekasih teman
sekelasnya itu.”
Di sekolah kita sering ngobrol, Kak Alex juga
begitu perhatian terhadapku. Suatu ketika, di selingan obrolan kita, Kak Alex
melontarkan perntanyaan tentang “rasa” itu lagi. Tanpa pikir panjang aku juga
mengungkapkan “rasa” yang selama ini aku simpan dalam hati saja. Sejak detik
itu, kita semakin dekat, lebih saling perhatian, dan lebih peduli satu sama
lain.
Saat istirahat kali ini, bukan Kak
Alex yang datang ke kelas, melainkan kekasihnya dia menghampiriku. “hei dek,
ada hubungan apa kamu dengan Alex?” dengan bengisnya. “egak mbk, egak ada
apa-apa.” Lembut kata-kataku. “nglemis lakar be’en dek.” “sudahlah terserah
mbk.” Aku hanya bisa berkata seperti itu. Aku langsung lari ke lantai dua, ke
kelas teman dekatku. Sayang, teman dekatku juga menegurku. “ appa kakeh lia?
Jekreng alex la endik cewek, mak gik gangggu been. Torot, jek ejepen cowok
playboy jiyah.” Dengan nada sedikit tingggi.
esok hari pada jam istirahat, aku dan
Kak Alex dipanggil guru BP. Aku juga tak tahu mengapa aku dipanggil untuk ke
ruangan BK. Ternyata guru BP menanyaikan perihal tentang hubunganku dengan Kak
Alex. Maklum guru BP menanyakan tentang hal itu. Secara, kedekatanku dengan Kak
Alex sudah tidak asing lagi dimata umum, dan memang sekolahku menerapkan
peraturan bagi siswa-siswinya tidak boleh ada yang saling berpacaran. Guru BP
hanya memberi saran kepadaku, sebaiknya aku dan Kak Alex jangan terlalu dekat.
Aku cuek saja dengan saran guru BP. Sejak dua hari terakhir, masalah di sekolah
kusikapi dengan santai.
Hendak tidur, teleponku berbunyi,
ternyata ibu. Kita berbincang dengan begitu serunya, sampai larut malam. Tetapi
ada satu hal yang membebani pikiranku saat aku berbincang dengan ibu, yaitu
pesannya kepadaku. “ ndok, eleng yo ndok, ojo pacaran dimek yo! Tujuanmu kesana
cari ilmu, mesakne ibu neng kene yo ndok. Koen mesti iso ngeraih cita-citamu,
eleng yo ndok pesen ibu.” Pesan ibu selalu membebani pikiranku. Akhirnya aku
putuskan untuk akan berhenti berhubungan dengan Kak Alex. selain karena masalah
di sekolah, pesan ibu juga menjadi pertimbangan yang begitu berat bagiku.
Bel berbunyi, waktu istirahat datang,
aku langsung menemui Kak Alex. “kak, jika nanti kita diperkenankan untuk
bersama, pasti kita dipertemukan kembali kok kak, dengan keadaan yang tepat.
Sekarang kita titipkan rasa yang kita miliki ini kepada tuhan, biar tuhan yang
menjaganya. Aku kesemsem saat itu, Kak Alex menjawab dengan sebuah syair lagu.
Kamu segalanya, tak
terpisah oleh waktu
Biarkan bumi menolak, ku tetap cinta
kamu
Biar mamamu tak
suka, semuanya juga melarang
Walau dunia menolak, ku tak takut
Tetap kukatakan
kucinta dirimu
“ih, so sweet.” Dengan senyum tipis. “iya sudah Lia, kalau memang
ini yang terbaik. Amin, semoga tuhan menjaga sebuah rasa yang kita miliki ini.”
Wajah pasrah. “iya kak.” Senyumku nampak lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar