TIRAI
Karya:
Srisa
Kamis
itu pepohonan menari dipermainkan angin. Suasana sekolah yang paling tua di
kota itu masih sepi, Padepokan 54, demikian SMA itu disebut. Hanya
ada beberapa siswa yang lalu lalang di pelataran sekolah. Yaya sendirian
berjalan setelah memarkir sepeda motor di tempat parkir menuju kelasnya.
Kelasnya berada paling ujung barat. Tanpa sengaja dilihatnya seseorang duduk di
kursi panjang depan kelas ternyata Dia!
“Cuek saja, deh!”, pikirnya.
Toh, tidak sedetik pun dia menoleh
padanya. Walaupun ujung hatinya terasa deg-deg tidak
karuan. Bagaimana pun ada rasa terkesiap ingin berteriak. Sudahlah,
harus melupakannya, harus, jangan ragu!
“Eh,
Ya. Kok terburu-buru ada apa, sih?” tanya Kilil, sahabatnya.
“Tak
ada apa-apa, kok!” Yaya tersenyum pada sahabatnya itu.“Duluan, ya?” pamitnya
pada Kilil. Yaya teruskan jalannya, namun tak berapa lama ada suara yang sudah
dia kenal memanggil.
“Ya, tunggu!” panggil suara itu.
Yaya menoleh ke arah suara itu. “Ada
apa, Kak?” jawabnya lemas karena menahan sakit yang amat sangat sekali...jatuh
airmatanya.
“Maaf ya, Ya, aku salah” Kata Kak Ridho.
“Tidak apa-apa, Kak. Semua sudah
berlalu.” Kata Yaya dengan menyimpan rapat-rapat semua kesakitan.
“Saya pulang dulu, ya Kak?” pamitnya
pada Kak Ridho. Dia merasakan sesak dadanya seolah-olah
menolak rasa itu hadir kembali. “A-k-u - m-a-si-h – s-a-y-a-n-g”, begitulah
rasa itu.
Langkah
gontai menuju tempat parkir, dia pakai helm kemudian membawa sepeda motornya ke
depan pintu gerbang sekolah, dan reng-reng......Dengan menyebut nama Tuhan,
Yaya mengendarai sepedanya. Ya, Tuhan! Tolong bantu aku melupakannya, demikian
harapnya.
Sampai
di rumah, Ibu Yaya sudah menunggu di teras. Samar-samar dari pintu depan
terdengar lagu favorit Ibu, kalau tidak salah dari penyanyi era 90-an, Rafika
Duri :
“Lelah, lelah hati ini, menggapai
hatimu tak jua menyatu.Lelah, lelah hati ini bagaimana kelak ku akan melangkah
di sisimu..” seolah-olah tahu kepedihan Yaya.
Hari
ini, seperti biasa Yaya berangkat ke sekolah. Lagi-lagi, nama Kak Ridho
terngiang di telinga, wajahnya terlukis di matanya. Dan ....ternyata Kak Ridho
sudah berdiri di balik pagar tempat parkir.
“Ya, tunggu!” katanya menyentakkan
lamunan Yaya.
“Ada apa, Kak?” jawab Yaya dengan
pandangan hampa. Mulutnya seraya bungkam, tidak dapat berucap kata lebih
banyak.
“Bulan depan aku harus meninggalkan
kota ini. Doakan aku diterima di PTN pilihan. Ya!” Kak Ridho mengatakan sesuatu
yang tidak kuinginkan. Dia tambahkan lagi perkataan yang semakin mengiris
perasaan Yaya. Entah apa yang dikatakan, aku tidak sanggup mendengarnya.
“Terima kasih, Kak!” ucap Yaya lalu
berlalu.
Datar
saja rasanya. Berbagai kecamuk mengganggu pikiran. Dia berharap seperti air
mengalir, tanpa gerak melawan, tanpa caci di angan. Walaupun di samping hatinya
yang lain berkata “tidak bisa”.
Sampai
datang klimaks yang kusam dalam kehidupan remajanya. Suara yang keras itu
membelah perasaan siapa saja yang mendengarnya.
“Kamu yang bernama Yaya, kan? Jangan
ganggu Ridho! Dia tidak cocok dengan kamu”, kata seorang wanita paruh baya
kepada Yaya, yang belakangan dia ketahui bahwa beliau adalah ibu Kak Ridho.
Yaya terdiam seribu bahasa. Tak sekata
pun dia jawab. Tidak akan pernah ada gertak di matanya. Apalagi, dia masih
mempunyai sopan-santun pada orang tua.
“Perhatikan sekali lagi jangan pernah mengganggu
Ridho!” Ucap wanita itu sambil berlalu dari hadapannya.
Akhirnya,
entah datang darimana kesadaran itu. Pikirkan sekolah itu lebih utama. “Dia”
bisa dicari kapan saja. Datar saja Yaya menanggapinya. Antara luka pintu
menganga, antara bahagia pintu terbuka, antara bebas sebebas-bebasnya burung
merpati, dan antara hati yang telah berkubang. Ah, sudahlah, yang penting tirai
itu suatu saat akan terbuka untuknya.
Sampang,
April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar