Cerita Mini
Mimpi Ali
Karya Srisa
Di sebuah
kampung kecil di Kota Sedi, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Ali,
siswa kelas XI di sebuah SMA Negeri. Setiap pagi, ia berangkat sekolah membawa
bekal seadanya dari ibunya. Bila ibunya sedang tidak punya uang, Ali berjalan
kaki sejauh hampir satu kilometer menuju sekolah. Meski begitu, ia tetap
berangkat dengan semangat.
“Ali,
sarapannya jangan lupa!” seru ibunya dari dapur.
Ali tersenyum kecil. “Iya, Bu. Tapi uang saku hari ini…?” tanyanya ragu.
Ibunya menatap wajah anaknya dengan lembut. “Maaf ya, Nak. Ibu belum ada uang.
Nanti kalau Ibu dapat upah, Ibu kasih.”
Ali mengangguk. “Nggak apa-apa, Bu. Ali jalan kaki saja.”
Di
sekolah, Ali belajar sungguh-sungguh. Ia tahu, hanya pendidikan yang bisa
mengubah nasibnya. Namun, kelelahan sering membuatnya hampir menyerah. Sepulang
sekolah, ia berharap bisa beristirahat sebentar. Tapi hari itu, baru saja ia
sampai di rumah, suara ibunya memecah keheningan.
“Ali,
cuci peralatan dapur itu, ya! Piring, gelas, sendok, panci, semua!”
Ali memandang tumpukan cucian itu dengan lesu. “Bu… Ali baru pulang sekolah.
Capek, Bu. Boleh nanti saja?”
Ibunya berbalik dengan wajah serius. “Kalau kamu tidak mau membantu, lebih baik
kamu keluar saja dari rumah ini!”
Ali terdiam. Hatinya perih, tapi ia tahu ibunya tidak benar-benar bermaksud
jahat.
“Iya, Bu,” jawabnya pelan. Ia pun mencuci piring-piring itu dengan sabar. Air
sabun yang dingin membuat tangannya menggigil, tapi di dalam hati, ia berjanji
untuk tetap kuat.
Malamnya,
saat makan bersama, suasana hening sejenak.
“Bu…” kata Ali pelan.
“Ya, Nak?”
“Ali mau jadi perawat nanti. Ali pengin bantu orang sakit, juga pengin bangun
rumah buat Ibu.”
Ibunya tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Ibu bangga sama kamu, Nak. Tapi kuliah
itu butuh biaya besar. Kamu yakin bisa?”
Ali mengangguk mantap. “Ali bakal cari beasiswa, Bu. Ada Politeknik Negeri
Madura, jurusan keperawatan. Dekat dari sini.”
“Kalau itu memang jalanmu, Ibu akan doakan,” kata ibunya lirih. “Ibu cuma minta
kamu jangan pernah menyerah.”
Sejak
malam itu, Ali belajar semakin tekun. Ia sering meminjam buku dari perpustakaan
sekolah, membaca di bawah cahaya lampu minyak kecil di kamarnya yang sederhana.
Kadang, ia merasa lelah, tapi setiap kali melihat wajah ibunya yang sabar,
semangatnya tumbuh kembali.
Suatu
sore, ketika matahari hampir tenggelam, Ali duduk di beranda rumah, menatap
langit jingga.
“Bu, Ali janji suatu hari nanti Ibu nggak perlu kerja keras lagi,” katanya
sambil tersenyum.
Ibunya membalas dengan senyum lembut. “Ibu percaya, Nak. Allah pasti dengar doa
anak yang berbakti.”
Ali
menatap jauh ke arah barat. Di hatinya tumbuh keyakinan bahwa doa, kerja keras,
dan cinta seorang ibu adalah jalan menuju masa depan yang ia impikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar