Cerita Mini : True Story
Dengarkan Ceritaku, Mak.
Karya : Srisa
Untuk Mak
tersayang,
Mak,
Pagi ini aku menatap toko di pasar yang dulu Mak kelola. Pasar Kecamatan yang
bernama Pasar Kliwon mengguratkan kenangan masa indahku bersama Mak tercinta. Mak
adalah panggilan sayangku kepada Mbah Putri. Rasanya seperti baru kemarin aku
mengantar Mak ke pasar naik motor setiap subuh. Udara masih dingin dan jalanan
sepi, tapi semangat Mak tak pernah pudar. Dengan tas kecil berisi kunci toko, Mak
selalu berkata sambil tersenyum, “Ayo, Nduk, rezeki itu harus dijemput
pagi-pagi. Jangan sampai dithuthul pitik.” Dithuthul pitik itu artinya
dipatuk ayam.
Waktu
kecil, aku hanya tertawa mendengarnya. Tapi kini aku paham, Mak sedang menanamkan
nilai disiplin dan kerja keras dalam hatiku. Bahwa rezeki datang karena usaha,
bukan karena menunggu nasib baik.
Toko
kelontong Mak sederhana. Toko ini selalu ramai dikunjungi pelanggan. Bukan sekadar
formalitas berbelanja di toko Mak. Tetapi terasa hangat seperti rumah kedua
mereka. Mak melayani para pelanggannya tidak kaku, tetapi sekali-kali dengan
gurauan, bercanda dengan mereka.
Bagi Mak,
berdagang bukan soal mencari untung, tapi soal menjalin persaudaraan.
“Kalau mau rezekimu berkah, jangan hitung-hitungan sama orang. Niatkan bantu
bila patut dibantu,” begitu kata Mak suatu pagi.
Rak-rak
kayu penuh sembako, gula, minyak, sabun, kertas linting tembakau, obat-obatan
puyer, pil, tablet, dan teh, kopi, snack tik tak, dan kebutuhan sehari-hari
para penjual kecil. Di dalam toko, masih berkarung-karung gula, betras,
kedelai, dan kacang-kacangan lainnya. Drum minyak goreng Filma, Dorang, dan Uliin
(minyak sawit) kualitas rendah tetapi enak. Ada ikan asin kering layur, pethek, gerih
kothok, dan lainnya.
Toko itu
istimewa bukan barang dagangannya, melainkan sikap Mak. Setiap pelanggan datang
disambut dengan senyum dan sapaan ramah, “Selamat pagi, Yu, jualannya
lancar?”. Yu adalah panggilan akrab Mak pada para pelanggan dari gunung
sekitar Kecamatan Kauman tempat tinggal kami.
Aku juga
ingat dua orang pekerja Mak yang setiap hari membantu menjaga toko. Mak selalu
memperlakukan mereka dengan penuh kasih, tak ada bedanya dengan keluarga
sendiri. Saat makan siang tiba, Mak menyiapkan nasi hangat, sayur lodeh, dan
tempe goreng di meja kecil belakang toko. Mak tidak pernah makan lebih dulu.
Katanya, “Makan itu biar bareng, biar terasa nikmatnya rezeki.” Makanan
mereka pun sama persis, seperti yang Mak makan. Tak pernah ada perbedaan, tak
pernah ada rasa lebih tinggi.
Mak
sering berkata, “Kalau kamu ingin rezekimu langgeng, bahagiakan orang yang
bekerja denganmu. Mereka itu bagian dari rezekimu juga.”
Kata-kata itu melekat kuat dalam hatiku, Mak.
Kini,
setelah Mak tiada, toko kelontong itu tinggal kenangan. Papan namanya sudah
pudar, tapi setiap kali aku melewatinya, aku seakan mendengar suara Mak
memanggil pelanggan dan menata barang di rak.
Aku rindu saat Mak tertawa kecil sambil menghitung uang kembalian, atau
menegurku yang duduk malas di sudut toko, “Nduk, jangan cuma lihat, bantu
bungkus gula, ya.”
Mak, aku
tumbuh dengan banyak pelajaran dari Mak. Tentang kerja keras, kejujuran,
kesabaran, dan kasih sayang pada sesama. Aku belajar bahwa menjadi orang baik
bukan berarti selalu diperlakukan baik, tapi tetap memilih berbuat baik meski
sering dikecewakan.
Sekarang
aku berusaha meneruskan semangat Mak. Aku memang tak punya toko kelontong
seperti Mak, tapi aku menjadi seorang guru. Setiap kali mengajar di depan kelas,
aku merasa sedang dilihat Mak dengan senyumnya menyemangati. Aku pun berusaha
memperlakukan para siswa seperti bagian dari diriku, seperti Mak dulu
memperlakukan dan memanusiakan dua pekerja, Mbak Lamini dan Mbak Parti. Atau dengan
beberapa tetangga rumah yang ikut bekerja di rumah membungkus dan menimbang gula
untuk dijual di pasar.
Aku selalu
menerima curhat para siswa dengan adil dan hangat meskipun terkadang, ada
beberapa siswa yang dzolim, menganggap aku bukan seperti itu. Well, tidak apa. Aku
tetap di jalanku.
Mak, aku
masih sering menitikkan air mata kalau ingat Mak. Bukan karena sedih semata,
tapi karena aku merasa belum sempat membalas semua cinta dan kebaikan Mak
semasa hidup. Tapi aku percaya, Mak pasti bahagia di sisi Tuhan, karena begitu
banyak kebaikan yang Mak tinggalkan di dunia ini.
Doaku
setiap malam selalu untuk Mak: semoga Mak tenang, dan semoga aku bisa menjadi
penerus kebaikan Mak, sekecil apa pun itu. Aku akan terus menjemput rezeki
dengan disiplin, menebar kebaikan tanpa pamrih, dan menjemput bahagia dengan
hati yang bersyukur, seperti yang Mak ajarkan dulu.
Dengan penuh cinta dan rindu,
Cucumu, Srita
Tulungagung, 25-12-2011