Jumat, 31 Oktober 2025

Cerita Mini : Lengkingan Lemah

 Cerita Mini



Lengkingan Lemah

Karya: Srisa

 

Pagi itu, di SMA Negeri 3 Sampang, Ainur datang tergesa ke ruang perpustakaan.
“Bu, di tempat pembakaran sampah ada anak kucing!” katanya panik.

Aku segera mengikutinya. Benar saja, di balik tumpukan kardus bekas, tiga ekor anak kucing kecil meringkuk dan suaranya melengking ketakutan memanggil induknya. Betapa lemahnya mereka.
“Kasihan sekali mereka,” gumamku. “Cepat, kita cari kardus untuk tempatnya!”

Zainur, Dimas, dan Ridho ikut membantu. Kami memindahkan anak-anak kucing itu dengan hati-hati. Setelah semuanya aman, aku menatap mereka bingung.
“Kita taruh di mana, ya? Kalau di sini, nanti bisa dibakar lagi,” kataku.

“Di depan perpustakaan saja, Bu. Aman di sana,” usul Ridho.
Kami pun sepakat menaruh mereka di teras depan. Tak lama, beberapa siswa lain datang menghampiri.

“Bu, biar kami bantu rawat. Kasihan banget, masih kecil,” ujar Syafa sambil mengelus salah satu anak kucing..
Aku mengangguk, lalu bergegas ke kantin. “Tolong, beli susu ya. Kita campur air sedikit biar tidak pekat,” kataku. Riski juga bersedia merawat jika hari Senin mereka masih ada di sini.

Anak-anak itu merawat dengan penuh kasih. Namun, kekhawatiran lain muncul.
“Kalau induknya tidak datang, Bu?” tanya Zainur.
“Semoga dia bisa menemukan anak-anaknya,” jawabku pelan.

Akhirnya, dengan bantuan Pak Kebon, kami letakkan mereka di tempat yang lebih aman, dekat area sampah, tempat awal ditemukan.

Hari itu Jumat, hari terakhir sebelum libur. Dalam hati aku berdoa, “Ya Tuhan, jaga mereka. Biarkan tiga makhluk kecil itu tumbuh dengan bahagia di sekolah ini.”

Suara tangis mereka mencari induknya melengking-lengking. Suara lengkingan itu sangat lemah namun dapat membuat hati teriris mendengarnya. Terutama bagi orang yang memiliki kelembutan hati dan kecintaan pada binatang lemah itu, memanggil-manggil yang tak berbalas juga.

Jumat, 30-10-2025; 13:59

 

Kamis, 30 Oktober 2025

Esai : Ternyata Menulis Puisi Itu? (Puisi Karya Siswa SMA Negeri 3 Sampang, Madura, Jawa Timur)


Cinta Seperti Itu Ada
Oleh: Mutiara Meilani S.

Pernahkah kamu tahu

Ada cinta yang hadir tanpa gemuruh,
yang hanya ingin menjadi tempat tenang
di antara riuh dunia
lembut, hangat, tanpa tekanan dan tuntutan.

Cinta ini tak datang untuk menuntut.
Ia hanya ingin memberi warna baru di hidupmu,
menjadi cahaya kecil yang tetap menyala
bahkan saat kamu belum siap melihat terang.

Dan cinta seperti itu sungguh ada.
Ia takkan sibuk menghitung kekuranganmu,
karena baginya, memahami dan mempelajari kamu
adalah cara paling lembut untuk mencintai.

Sampang, 31 Oktober 2025 X-6, XI-6, XII-5


ESAI:   MEMANG ADA? 

Puisi Karya Siswa SMA Negeri 3 Sampang, Madura, Jawa Timur


Puisi “Cinta Seperti Itu Ada” karya Mutiara Meilani S. sangat indah dan menunjukkan kepekaan emosional yang matang untuk ukuran seorang siswa. Berikut pendapat saya secara menyeluruh:

1. Tema dan Makna

Puisi ini mengangkat tema cinta yang tulus dan menenangkan, bukan cinta yang bergemuruh atau menuntut. Mutiara berhasil menyampaikan gagasan bahwa cinta sejati justru hadir dalam kesederhanaan, penerimaan, dan ketulusan.
Pesan utamanya kuat: cinta tidak harus besar dan berisik; ia bisa hadir sebagai ketenangan yang hangat.

 2. Diksi (Pilihan Kata)

Diksi yang digunakan lembut dan penuh nuansa perasaan, misalnya:

  • “tempat tenang di antara riuh dunia” — metafora yang indah dan kontras antara “tenang” dan “riuh”.
  • “cahaya kecil yang tetap menyala” — simbol keteguhan dan harapan yang sederhana tapi berarti.

Pilihan katanya tidak berlebihan, sehingga terasa alami dan jujur, sesuai dengan isi puisi.

3. Gaya Bahasa dan Imaji

Puisi ini menggunakan gaya bahasa metaforis dan personifikasi yang halus:

  • “cinta hadir tanpa gemuruh” dan “cahaya kecil yang tetap menyala” menimbulkan citra visual dan rasa damai.
  • Ada keseimbangan antara emosi dan logika perasaan, sehingga pembaca bisa ikut merasakan kehangatan cinta yang digambarkan.

4. Struktur dan Irama

Struktur puisinya sederhana namun efektif. Setiap bait memiliki fungsi yang jelas:

  • Bait pertama memperkenalkan jenis cinta.
  • Bait kedua menggambarkan wujud dan niat cinta itu.
  • Bait ketiga menegaskan bahwa cinta demikian memang ada.

Meski tidak berpola rima tertentu, irama batinnya mengalir lembut, sejalan dengan tema ketenangan cinta itu sendiri.

5. Simpulan Penilaian

Secara keseluruhan, puisi ini:

  • Menyentuh dan bermakna.
  • Memiliki diksi yang lembut dan puitis.
  • Menunjukkan kedewasaan emosional penulis.

 

Jumat, 24 Oktober 2025

Cerita Mini : Surat untuk Mbah Putri

 Cerita Mini :  True Story



Dengarkan Ceritaku, Mak.

Karya : Srisa

Untuk Mak tersayang,

Mak,
Pagi ini aku menatap toko di pasar yang dulu Mak kelola. Pasar Kecamatan yang bernama Pasar Kliwon mengguratkan kenangan masa indahku bersama Mak tercinta. Mak adalah panggilan sayangku kepada Mbah Putri. Rasanya seperti baru kemarin aku mengantar Mak ke pasar naik motor setiap subuh. Udara masih dingin dan jalanan sepi, tapi semangat Mak tak pernah pudar. Dengan tas kecil berisi kunci toko, Mak selalu berkata sambil tersenyum, “Ayo, Nduk, rezeki itu harus dijemput pagi-pagi. Jangan sampai dithuthul pitik.” Dithuthul pitik itu artinya dipatuk ayam.

Waktu kecil, aku hanya tertawa mendengarnya. Tapi kini aku paham, Mak sedang menanamkan nilai disiplin dan kerja keras dalam hatiku. Bahwa rezeki datang karena usaha, bukan karena menunggu nasib baik.

Toko kelontong Mak sederhana. Toko ini selalu ramai dikunjungi pelanggan. Bukan sekadar formalitas berbelanja di toko Mak. Tetapi terasa hangat seperti rumah kedua mereka. Mak melayani para pelanggannya tidak kaku, tetapi sekali-kali dengan gurauan, bercanda dengan mereka.

Bagi Mak, berdagang bukan soal mencari untung, tapi soal menjalin persaudaraan.
“Kalau mau rezekimu berkah, jangan hitung-hitungan sama orang. Niatkan bantu bila patut dibantu,” begitu kata Mak suatu pagi.

Rak-rak kayu penuh sembako, gula, minyak, sabun, kertas linting tembakau, obat-obatan puyer, pil, tablet, dan teh, kopi, snack tik tak, dan kebutuhan sehari-hari para penjual kecil. Di dalam toko, masih berkarung-karung gula, betras, kedelai, dan kacang-kacangan lainnya. Drum minyak goreng Filma, Dorang, dan Uliin (minyak sawit) kualitas rendah tetapi enak.  Ada ikan asin kering layur, pethek, gerih kothok, dan lainnya.

Toko itu istimewa bukan barang dagangannya, melainkan sikap Mak. Setiap pelanggan datang disambut dengan senyum dan sapaan ramah, “Selamat pagi, Yu, jualannya lancar?”. Yu adalah panggilan akrab Mak pada para pelanggan dari gunung sekitar Kecamatan Kauman tempat tinggal kami.

Aku juga ingat dua orang pekerja Mak yang setiap hari membantu menjaga toko. Mak selalu memperlakukan mereka dengan penuh kasih, tak ada bedanya dengan keluarga sendiri. Saat makan siang tiba, Mak menyiapkan nasi hangat, sayur lodeh, dan tempe goreng di meja kecil belakang toko. Mak tidak pernah makan lebih dulu. Katanya, “Makan itu biar bareng, biar terasa nikmatnya rezeki.” Makanan mereka pun sama persis, seperti yang Mak makan. Tak pernah ada perbedaan, tak pernah ada rasa lebih tinggi.

Mak sering berkata, “Kalau kamu ingin rezekimu langgeng, bahagiakan orang yang bekerja denganmu. Mereka itu bagian dari rezekimu juga.”
Kata-kata itu melekat kuat dalam hatiku, Mak.

Kini, setelah Mak tiada, toko kelontong itu tinggal kenangan. Papan namanya sudah pudar, tapi setiap kali aku melewatinya, aku seakan mendengar suara Mak memanggil pelanggan dan menata barang di rak.
Aku rindu saat Mak tertawa kecil sambil menghitung uang kembalian, atau menegurku yang duduk malas di sudut toko, “Nduk, jangan cuma lihat, bantu bungkus gula, ya.”

Mak, aku tumbuh dengan banyak pelajaran dari Mak. Tentang kerja keras, kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang pada sesama. Aku belajar bahwa menjadi orang baik bukan berarti selalu diperlakukan baik, tapi tetap memilih berbuat baik meski sering dikecewakan.

Sekarang aku berusaha meneruskan semangat Mak. Aku memang tak punya toko kelontong seperti Mak, tapi aku menjadi seorang guru. Setiap kali mengajar di depan kelas, aku merasa sedang dilihat Mak dengan senyumnya menyemangati. Aku pun berusaha memperlakukan para siswa seperti bagian dari diriku, seperti Mak dulu memperlakukan dan memanusiakan dua pekerja, Mbak Lamini dan Mbak Parti. Atau dengan beberapa tetangga rumah yang ikut bekerja di rumah membungkus dan menimbang gula untuk dijual di pasar.

Aku selalu menerima curhat para siswa dengan adil dan hangat meskipun terkadang, ada beberapa siswa yang dzolim, menganggap aku bukan seperti itu. Well, tidak apa. Aku tetap di jalanku.

Mak, aku masih sering menitikkan air mata kalau ingat Mak. Bukan karena sedih semata, tapi karena aku merasa belum sempat membalas semua cinta dan kebaikan Mak semasa hidup. Tapi aku percaya, Mak pasti bahagia di sisi Tuhan, karena begitu banyak kebaikan yang Mak tinggalkan di dunia ini.

Doaku setiap malam selalu untuk Mak: semoga Mak tenang, dan semoga aku bisa menjadi penerus kebaikan Mak, sekecil apa pun itu. Aku akan terus menjemput rezeki dengan disiplin, menebar kebaikan tanpa pamrih, dan menjemput bahagia dengan hati yang bersyukur, seperti yang Mak ajarkan dulu.

Dengan penuh cinta dan rindu,

Cucumu, Srita


Tulungagung, 25-12-2011

 

 

Cerita Mini : Warna Cita-Cita Musaiya

 Cerita Mini




Warna Cita-cita Musaiya

Karya: Srisa

Di kaki bukit Taddan, berdirilah sebuah desa kecil yang tenang, dikelilingi hamparan sawah menghijau dan pepohonan yang berdesir lembut diterpa angin. Pagi di desa itu selalu beraroma tanah basah, dengan suara ayam jantan bersahutan dan sinar mentari yang perlahan muncul di balik bukit. Di sanalah, seorang gadis remaja bernama Musaiya menata harapannya pelan-pelan, seperti petani yang menabur benih dengan hati-hati di ladang yang subur.

Sejak kecil, Musaiya tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh tani yang sudah mulai renta. Setiap hari, ayahnya berangkat ke sawah membawa cangkul di pundak, menantang panas dan hujan demi sesuap nasi. Ibunya, meski sering sakit-sakitan, tetap memaksakan diri membantu suaminya di sawah milik bibinya yang kini bekerja di Malaysia. Keduanya tak pernah mengeluh, hanya diam, menahan letih demi anak semata wayang mereka bisa bersekolah lebih tinggi dari mereka.

Setelah lulus dari SMP, Musaiya menyimpan keinginan besar: ia ingin melanjutkan sekolah ke pondok pesantren di Pamekasan. Ia membayangkan bisa hidup di lingkungan yang religius, belajar kitab kuning, dan memperdalam ilmu agama. Tapi impian itu tidak mendapat restu. Orang tuanya berkata dengan suara berat,

“Nak, biaya pondok itu tidak sedikit. Jaraknya juga jauh. Bapak dan Ibu tidak sanggup.”

Malam itu, Musaiya diam saja. Ia hanya menatap pelita kecil di ruang tamu, membayangkan nyalanya yang bergetar, seperti hatinya sendiri. Namun pada akhirnya, dengan hati seberat karung padi yang biasa ia pikul di lumbung, ia menerima keputusan orang tuanya.

Ia pun melanjutkan sekolah di SMA negeri yang jaraknya sekitar sepuluh menit dari rumah. Setiap pagi, ia berangkat dengan sepeda tuanya melewati jalan berbatu, sambil membawa tas yang mulai lusuh di punggung. Meski sederhana, baginya sekolah adalah tempat di mana ia bisa bermimpi tanpa batas.

Musaiya tahu betul keadaan keluarganya. Ayahnya sering pulang dengan pakaian penuh lumpur, sementara ibunya kerap batuk-batuk karena kelelahan di sawah. Karena itu, setiap Sabtu dan Minggu, Musaiya turun tangan membantu mereka. Ia menanam padi, mencabut rumput, bahkan sesekali ikut menjemur gabah di halaman. Ia tak malu. Baginya, tangan yang kotor karena bekerja jauh lebih mulia daripada tangan yang diam tanpa usaha.

Namun di balik semangatnya, Musaiya kerap menangis diam-diam. Ia takut masa depannya berhenti sampai di sini. “Apakah aku bisa melanjutkan sekolah nanti setelah lulus SMA?” gumamnya lirih suatu malam. Air matanya menetes di buku catatan yang masih terbuka, menyatu dengan tinta yang mulai luntur.

Setiap kali ditanya guru tentang cita-citanya, Musaiya menjawab dengan suara pelan tapi tegas,

“Saya ingin menjadi guru, Bu.”

Ia ingin membantu orang lain dengan ilmu, mungkin masih banyak yang ingin melanjutkan sekolah tetapi terkendala biaya. Akan tetapi, keraguan sering datang lagi. Bisakah aku benar-benar menjadi seorang guru? pikirnya.

Meski begitu, ia tak mau menyerah. Ia belajar sungguh-sungguh, mengulang pelajaran di malam hari meski lampu sering padam. Kadang ia menyalakan lilin, kadang hanya mengandalkan cahaya redup dari lampu minyak.

Sayangnya, perjuangannya tidak selalu berjalan mulus. Dua teman sekelasnya, Sariyem dan Saritem, sering merundungnya. Mereka mengejek baju seragamnya yang warnanya mulai pudar, atau sepedanya yang sudah berkarat.

“Ngapain belajar keras, Sa? Toh nanti juga nggak kuliah,” ejek Saritem suatu hari.
Musaiya hanya menunduk. Ia ingin membalas, tetapi memilih diam. Ia tahu, membalas hanya akan menambah luka, bukan menumbuhkan kekuatan.

Ketika pembagian rapor tiba, Musaiya duduk di bangkunya dengan tangan bergetar. Saat namanya dipanggil dan nilai-nilainya diumumkan, ia terperangah—semuanya di atas rata-rata. Ia bahkan masuk peringkat tiga besar di kelasnya. Air matanya hampir jatuh, bukan karena sedih, tetapi karena bahagia. Sesampainya di rumah, ia menunjukkan rapor itu kepada ayah dan ibunya. Wajah mereka berbinar, meski lelah tak pernah benar-benar pergi dari sorot mata mereka.

“Alhamdulillah, Nak. Teruslah rajin, ya. Bapak bangga,” ucap ayahnya sambil menepuk bahunya pelan.

Sejak saat itu, semangat Musaiya tumbuh lebih besar. Salah satu guru yang paling ia kagumi adalah Bu Setia, guru Bahasa Indonesia yang lembut dan penuh perhatian. Suatu sore setelah pelajaran usai, Bu Setia memanggilnya.

“Musaiya, Ibu tahu kamu anak yang rajin. Nanti kalau lulus, coba daftar ke Poltera. Banyak beasiswa di sana. Insya Allah kamu bisa,” kata Bu Setia sambil tersenyum.

Kata-kata itu menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Harapan yang dulu pudar kini kembali menyala. Ia mulai mencari informasi tentang beasiswa, bertanya kepada guru, bahkan menabung sedikit demi sedikit dari hasil membantu orang tuanya di sawah.

Musaiya kini tak lagi ragu. Ia tahu, cita-cita bukan tentang siapa yang paling kaya atau siapa yang paling beruntung, tapi siapa yang paling teguh menjaga harapan. Setiap langkahnya ke sekolah kini terasa lebih ringan. Setiap tetes keringat di sawah menjadi warna tersendiri dalam lukisan hidupnya.

Di bawah langit Taddan yang biru, Musaiya berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menjadi guru, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk orang tuanya yang telah mengajarinya arti perjuangan dan ketulusan.

Warna cita-citanya kini bukan lagi abu-abu seperti dulu, melainkan warna langit pagi—cerah, lembut, dan penuh harapan.

Sampang, 14-10-2025; 04:03

Cerita Mini : Jamu Sehat Mbah Putri

 

Jamu Sehat Mbah Putri

Karya : Srisa

 

Namaku Srita, siswa kelas XI-2 SMA Negeri 1 Tulungagung di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Aku dikenal sebagai anak yang pendiam, tidak banyak bicara, dan tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Sejak kecil aku tinggal bersama Mbah Putri, satu-satunya keluarga yang kumiliki. Mbah adalah segalanya bagiku, orang tua, sahabat, sekaligus rumah tempat aku kembali.

Mbah Putri dulu seorang pensiunan guru dan untuk mengisi hari-harinya, Mbah membuat jamu kunyit asam, beras kencur, cabe puyang, dan jamu bentis. Setiap pagi ia menyiapkan botol-botol kaca berisi jamu kuning yang aromanya selalu memenuhi dapur kecil kami. Kadang-kadang sebelum berangkat sekolah, aku membantu mengikatkan botol-botol itu dengan tali rotan sebelum Mbah keluar membawa dagangan menuju kios kecil di depan gang jalan raya. Sejak aku mengenal internet, aku juga membantu menjual jamu Mbah lewat online tentunya dengan kemasan botol plastik 500 ml. Beberapa pelanggan dari luar kota terdekat dengan wilayah kami, mulai mengenal “Jamu Sehat Mbah Putri.”

Mbah sering tersenyum melihat pesan-pesan pembeli yang datang. “Wah, cucuku pinter tenan. Jaman modern, tapi tetap jual jamu tradisional,” katanya sambil menepuk pundakku lembut. Aku hanya tersenyum malu. Dalam hatiku, aku bahagia bisa membuat Mbah bangga.

Tapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu sore, ketika langit tampak mendung, Mbah Putri jatuh sakit. Tubuhnya lemah, napasnya sesak. Aku membawa Mbah ke puskesmas, tapi dokter berkata usia Mbah sudah terlalu renta. “Yang penting, dampingi beliau dengan kasih,” kata dokter itu pelan.

Aku menatap wajah Mbah di ranjang, kulitnya yang keriput masih menyimpan senyum. “Nduk, kalau Mbah nanti nggak ada, jangan sedih ya. Rumah ini buat kamu. Tabungan Mbah juga. Hidup sederhana aja, yang penting jujur dan rajin.” Suaranya pelan, hampir tak terdengar. Aku hanya menggenggam tangannya, menahan air mata yang mulai jatuh.

Beberapa hari kemudian, Mbah Putri berpulang dengan tenang. Rumah mungil peninggalannya menjadi sunyi. Setiap sudut rumah seperti masih menyimpan aroma jamu dan tawa Mbah. Aku tinggal sendiri, tanpa suara langkah Mbah di pagi hari, tanpa nasihat lembutnya sebelum tidur.

Beberapa saudara dari luar kota menanyakan kabar dan berupaya membujukku untuk tinggal bersama mereka, tetapi aku tidak mau. Akhirnya, mereka menyerah tetapi tetap menelponku hanya untuk sekadar menanyakan kabar dan berniat memberikan bantuan keuangan juga. Sekali lagi aku tidak mau karena sudah bisa menghasilkan uang dari berjualan online. Saudara Mbah Putri, cucu dari adik Mbah Putri, memang baik-baik semua dan mereka kadang-kadang berkirim uang, mau tidak mau ya harus diterima Srita karena mereka memaksanya dengan alasan bahwa uang itu kan tidak setiap hari dikirimkan, paling tidak sebagai tanda kepedulian keluarga Mbah yang masih ada.

Aku sempat merasa dunia berhenti berputar. Tidak ada lagi yang memanggilku “Nduk” dengan penuh kasih. Tapi aku tahu, Mbah tidak akan senang melihatku terus larut dalam kesedihan. Maka, aku menulis surat pribadi untuk Mbah, seolah-olah beliau masih bisa membaca dari surga.

Sampang, 14 Februari

Untuk Mbah Putriku tercinta,

Mbah, hari ini Srita menulis surat sambil duduk di teras rumah kita. Angin sore membawa aroma kenangan. Srita masih sering mendengar suara Mbah memanggil dari dapur, padahal itu hanya angin yang berhembus.

Mbah, Srita sudah lanjut bersekolah. Uang pensiun Mbah masih ada banyak, dan Srita pakai sedikit-sedikit buat kebutuhan sekolah dan jajan seadanya. Mbah bener, hemat itu penting. Srita juga masih menjual bros dan gantungan kunci di Shopee, hasilnya lumayan buat beli bahan jamu yang masih sering orang pesan. Mbah tahu? Nama toko online-nya Srita diberi nama “Warisan Mbah.”

Mbah, Srita masih sering kangen. Tapi kata teman Srita, kalau kita rindu orang yang kita cintai, cukup kirim doa, bukan air mata. Jadi tiap malam, Srita selalu kirim doa buat Mbah, biar tenang di sana. Rumah kita masih bersih, Mbah. Srita sapu tiap pagi, pel tiap sore.

Srita berusaha mengikuti resep Mbah dan insyaa Allah tetap meneruskan membuat jamu. Maka itu, meja jamu Mbah masih di sudut dapur, nggak Srita ubah. Seperti waktu Mbah masih ada.

Terima kasih sudah ngajari Srita untuk hidup sederhana, jujur, dan mandiri. Mbah nggak perlu khawatir, cucu Mbah ini akan terus kuat. Srita bakal terus jualan jamu, jualan bros, dan jual doa-doa baik buat Mbah. Karena Srita percaya, selama Srita berbuat baik dan menjaga warisan Mbah dengan tulus, bahagia pasti datang, karena bahagia itu harus dijemput, bukan ditunggu.

Dari cucumu yang selalu sayang Mbah, Srita

Srita melipat surat itu perlahan dan meletakkannya di meja kecil di samping foto Mbah Putri. Senyum lembut terukir di wajahnya. Ia tahu, meski kini hidup seorang diri, Mbah Putri tak benar-benar pergi. Kasihnya masih hidup di setiap botol jamu, di setiap doa, dan di setiap langkah kecil Srita yang berani menjemput kebahagiaan.     

                                                                                        Sampang, 25-10-2025; 09:45 

 

 

Sabtu, 18 Oktober 2025

Cerita Mini : Bapak Tulus

Cerita Mini 


 Bapak Tulus

Karya: Srisa

Embun pagi masih menempel di dedaunan halaman sekolah. Di balik pohon bintaro yang rindang, tampak seorang lelaki tua sedang menyapu halaman dengan tenang. Tubuhnya sudah agak bongkok, rambutnya memutih, tapi sapu lidi di tangannya bergerak mantap. Namanya Bapak Tulus, tukang kebun di SMA Negeri 3 Karang Ayem.

Selama puluhan tahun, Bapak Tulus setia bekerja di sekolah itu. Tak peduli panas, hujan, atau gaji yang tak seberapa. Bagi beliau, bekerja adalah bentuk ibadah dan rasa syukur.
“Kalau tangan ini masih kuat, berarti Gusti Allah masih beri kesempatan untuk berbuat baik,” ucapnya lirih setiap kali memeras keringat.

Setiap pagi, ia datang lebih awal bersama anak laki-lakinya, Tegar, yang masih duduk di bangku SMA di sekolah yang sama. Mereka berjalan kaki dari rumah di pinggir sawah, sambil membawa bekal nasi bungkus dan segelas air putih dalam botol bekas.

Di sela-sela membersihkan taman, Bapak Tulus sering berkata,
“Garuk daun ini, Gar… bukan cuma biar halaman bersih. Tapi biar hatimu juga bersih dari malas dan iri.”
Tegar mengangguk, menahan haru. Kadang, sebelum masuk kelas, ia membantu Bapaknya memungut daun-daun kering di halaman belakang, lalu cuci tangan dan berganti seragam di ruang kecil dekat gudang alat kebun.

Menjelang pukul setengah tujuh, lonceng tanda masuk berbunyi.
“Sudah, Gar. Sana masuk kelas, jangan terlambat,” ujar Bapak Tulus sambil menepuk bahunya.
Tegar tersenyum. “Iya, Pak. Doain Tegar bisa bikin Bapak bangga.”
“Bapak nggak minta apa-apa, Nak. Asal kamu jadi orang jujur dan berguna, itu sudah lebih dari cukup.”

Waktu terus berjalan. Hari berganti tahun. Bapak Tulus tetap bekerja, meski umurnya sudah melewati tujuh puluh. Kepala sekolah dan para guru sepakat untuk tetap mempekerjakannya karena kejujurannya tak ternilai.

Hingga suatu hari, Tegar lulus. Ia diterima di perguruan tinggi negeri di Surabaya melalui beasiswa. Tangis haru pun pecah di beranda rumah kecil mereka.
“Pak, Tegar berangkat ya…”
“Iya, Nak. Jangan lupa, ilmu tanpa kejujuran itu hampa.”

Empat tahun setengah berlalu. Tegar lulus dengan IPK yang memuaskan, dan tak lama kemudian mengikuti tes CPNS dan diterima sebagai guru PNS. Takdir membawanya kembali ke tempat yang membesarkannya: SMA Negeri 3 Karang Ayem.

Hari pertamanya mengajar, ia berdiri di depan gerbang sekolah, menatap halaman yang kini tidak ada Bapak membersihkan rumput atau pun daun kering. Di sana, dulu ia dan Bapaknya menyapu bersama setiap pagi. Tapi kini, sapu lidi itu sudah tergantung diam di gudang, tak lagi tergenggam tangan renta yang penuh kasih. Tukang kebun yang baru sudah selesai membersihkan dan mungkin pulang.

Sore itu, setelah kelas usai, Tegar duduk di bangku taman dekat pohon bintaro. Angin berhembus pelan. Ia menunduk, suaranya nyaris berbisik,
“Pak… Tegar sudah di sini lagi. Tapi tanpa Bapak.”

Air matanya menetes, jatuh di atas tanah yang dulu sering ia bersihkan bersama sang ayah. Ia tahu, semua yang dimilikinya hari ini bukan semata hasil kepintaran, tapi berkat ketulusan seorang Bapak Tulus- yang bekerja dalam diam, jarang mengeluh, berdoa tanpa pamrih, dan meninggalkan warisan paling berharga: kejujuran dan cinta tanpa batas.

Cerita Mini : Bu Setia Penyebar Rahasia, Lhoh!

 Cerita Mini 

Bu Setia Penyebar Rahasia, Lhoh!

Karya: Srisa

        Suasana pagi di sekolah terasa riuh. Suara langkah kaki siswa dan bunyi dering bel menandai dimulainya pelajaran pertama. Di ruang guru, Bu Setia duduk sambil memeriksa hasil ulangan. Wajahnya lembut, tapi sorot matanya tegas. Ia dikenal sebagai wali kelas yang penuh kasih, sering menjadi tempat curhat siswa-siswinya. 

        Tiba-tiba, Pak Surhaf, guru Seni yang dikenal humoris, datang menghampirinya.
“Bu Setia,” katanya dengan nada serius, “Pak Rangga barusan lihat ada siswa dari kelas X MIPA-6, Adaya dan Kokir … berganti baju di kelas. Padahal mereka kan pacaran.”

Bu Setia tertegun. “Astaghfirullah… masa iya, Pak? Jangan-jangan salah lihat?”

“Saya juga takut salah, Bu. Tapi sepertinya benar.”

        Tak ingin gegabah, Bu Setia mencari kebenaran. Ia menanyakan hal itu pada Pak Rangga, guru olahraga yang sering melihat siswa-siswa latihan di sekitar kelas itu.
“Pak Rangga,” katanya hati-hati, “benarkah Adaya dan Kokir sering berduaan di kelas?”

        Pak Rangga mengangguk pelan. “Iya, Bu. Saya juga sudah menegur mereka.”

        Hati Bu Setia gundah. Setelah pelajaran selesai, ia memanggil Adaya ke ruangannya.
“Daya,” katanya dengan lembut, “Ibu ingin bicara dari hati ke hati. Kamu tahu, Ibu tidak punya anak perempuan. Jadi Ibu anggap kamu seperti anak sendiri. Hati-hati, Nak. Kalau kehormatan perempuan sudah retak, susah kembali utuh.”

        Mata Bu Setia mulai berkaca-kaca. Tapi Adaya menjawab lirih, “Saya memang di kelas waktu itu, Bu, tapi tidak berdua. Ada teman lain.”

        Saat kejadian Bu Setia sedang mengajar dan BK memanggilnya untuk dimintai keterangan. Dengan tenang, Bu Setia hanya menyampaikan apa yang didengarnya langsung dari Adaya. Ia pikir, semua sudah selesai.

        Namun, ternyata tidak.

        Beberapa hari kemudian, Nina- salah satu siswa yang dekat dengan Bu Setia- datang dengan wajah panik.
“Bu, maaf… Adaya bilang ke teman-teman kalau Ibu menyebarkan rahasianya ke guru-guru lain. Katanya, mulai sekarang kalau ada masalah, jangan curhat ke Ibu, tapi langsung ke BK.”

        Bu Setia terdiam. Wajahnya pucat. “Apa… Ibu yang menyebarkan rahasia? Astaghfirullah…”

        Tak hanya Nina, hampir seluruh siswa kelas X MIPA-6 mengirim pesan lewat wa, memberitahu kabar itu kepada Bu Setia. Hanya Sariyem, Icek, dan Kicrit yang tidak memberi kabar kepada Bu Setia.

“Mengapa Adaya bisa menuduh begitu?” tanya Bu Setia pada Nina dengan suara bergetar.

        Nina menjelaskan pelan. “Ada guru yang bicara kurang pantas tentang dia. Lalu dia dengar dari Sariyem kalau yang ngomong itu Bu Rurut. Waktu itu Adaya tidak masuk dan mengira, pasti Ibu yang menceritakan semuanya ke kantor.”

        Bu Setia menutup mulutnya dengan tangan. “Padahal… Ibu tidak pernah menceritakan apa pun. Selain ke BK dan guru yang terlibat. Itu pun karena mereka menceritakan peristiwa itu, bukan saya yang bercerita.  Ya Allah…”

        Air matanya jatuh pelan. “Kalau saja Adaya mau bertanya langsung, mungkin semuanya tidak akan seperti ini.”

        Sejak saat itu, jika ada siswa yang ingin curhat, Bu Setia selalu memastikan dulu, “Apakah kamu percaya pada Ibu? Apakah kamu belum bercerita ke orang lain? Kalau nanti ada kabar yang berbeda, jangan tuduh Ibu menyebarkan rahasiamu, ya?”

        Dalam hati, ia merasa sedih. Selama dua puluh tahun menjadi guru, belum pernah ada siswa yang memfitnahnya. Ia selalu menjaga rahasia dan kehormatan muridnya sebaik mungkin.

        Di tengah kesedihan itu, Pak Surhaf mendatanginya lagi. “Bu, tahu tidak? Katanya saya juga mau dilaporkan ke polisi kalau masih mempermasalahkan Adaya dan Kokir pacaran di kelas.”

        Bu Setia hanya tersenyum hambar. “Biarlah, Pak Surhaf. Diam bukan berarti tidak tahu. Kadang diam itu tanda ikhlas. Suatu hari nanti disadarkan dan kembali menjadi orang baik.”

        Di luar, lonceng sekolah berbunyi lagi. Para siswa berlarian ke kelas. Bu Setia memandang jendela, menatap langit yang mulai mendung. Dalam hatinya ia berdoa lirih,
“Ya Allah, kuatkan hati ini. Jadikan fitnah ini ladang sabar, bukan sumber luka.” 

      Sampang, 19-10-2025; 10:19 

Cerita Mini : Gadis Baru Gede

                                                  


 Gadis Baru Gede

                                                                        Karya: Srisa

        Langit sore itu tampak muram, seolah menyimpan rahasia masa lalu. Di beranda rumah kecilnya, Asti duduk diam sambil memandangi langit jingga. Angin berembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di tangannya, selembar foto lama tergenggam erat—foto dirinya dan Andriani, sahabat masa sekolah yang kini entah di mana.

“Sudah tiga puluh tujuh tahun, tapi rasanya seperti kemarin,” bisik Asti lirih. Dari sanalah pikirannya perlahan melayang, kembali ke masa putih-biru yang pernah begitu ia banggakan—masa yang ia sebut masa remaja baru gede.

        Siang hari di sekolah terasa riuh. Suara lonceng berdentang tiga kali: teng! teng! teng!
“Yuk, ke kantin, Ti!” ajak Andriani, gadis pendiam yang selalu menemani Asti ke mana pun pergi.
“Iya, Andri,” jawab Asti sambil tersenyum malu. Mereka berdua berjalan berdampingan melewati koridor yang panjang.

Namun tiba-tiba, dari belakang, beberapa anak laki-laki berlari dan…
“Aduh!” Asti terlonjak kaget. Ada yang mencolek bagian tubuh yang tak seharusnya disentuh.
Tawa lepas menggema di belakang mereka.
“Woi, becanda aja kok marah!” seru salah satu anak laki-laki itu sebelum mereka kabur.

        Asti dan Andriani saling berpandangan. Wajah mereka merah padam—bukan karena malu biasa, melainkan rasa marah dan takut yang menyesakkan dada.
“Kenapa mereka tega, Andri?” suara Asti gemetar.
Andri hanya menunduk, air matanya menetes tanpa suara.
Mereka berdua memilih diam. Di masa itu, tidak ada tempat aman untuk bercerita. Tidak ada yang mau mendengar.

        Malam harinya, di rumah, Mbah Buyut sudah menunggu di ruang tengah. Wajahnya teduh, tangannya memegang secangkir jamu hangat.
“Asti, sini, Nduk. Dulu waktu kamu dapat tamu istimewa, Mbah buatkan nasi kuning dan jamu. Itu tanda kamu sudah gadis,” katanya sambil tersenyum bangga.

Asti mendekat pelan, lalu duduk di sampingnya.
“Mbah, kenapa kalau sudah jadi gadis, rasanya malah takut?”
Mbah Buyut menatapnya lembut, “Takut kenapa, Nduk?”
Asti menunduk, menahan air mata yang hendak jatuh. “Tadi di sekolah, ada anak laki-laki yang... yang nakal, Mbah.”

Wajah Mbah Buyut seketika berubah.
“Ya Allah... astaghfirullah. Anak-anak sekarang...” gumamnya lirih sambil mengelus kepala cucunya. “Nduk, kamu jangan merasa salah, ya. Mereka yang harusnya malu.”
Asti mengangguk, tapi di dalam dadanya, rasa takut itu sudah terlanjur tumbuh.

        Beberapa hari kemudian, sepulang dari les Matematika, sore menjelang malam, Asti dan Andri kembali bersepeda menyusuri gang kecil menuju rumah masing-masing.
Suasana gang sepi, hanya lampu-lampu jalan yang redup menemani.
“Cepetan, Ti, aku takut,” ujar Andri sambil mengayuh lebih cepat.
Belum sempat mereka keluar dari gang, empat anak laki-laki muncul dari tikungan.
“Hei, gadis baru gede!” teriak salah satu dari mereka.
Sebelum sempat menghindar, tangan-tangan nakal itu kembali melayang, mencolek bagian tubuh mereka.

“Pergi!” teriak Asti, menangis sambil mengayuh sepedanya. Tapi mereka hanya tertawa melihat dua gadis itu yang kini gemetar ketakutan.

        Malam itu, Asti tak bisa tidur. Ia menangis di balik bantal, merasa kotor, malu, dan tak berdaya. Kenapa perempuan harus diam? pikirnya. Tapi di masa itu, kata Mbah Buyut, perempuan harus sopan, harus sabar, harus menahan diri.

        Kini, bertahun-tahun berlalu, Asti yang sudah dewasa menatap langit malam di teras rumah Mbah Buyut yang lama kosong. Ia masih ingat rasa takut itu, masih ingat tawa laki-laki yang menggoreskan luka di masa remajanya. Tapi sekarang, ia tahu—diam bukan lagi pilihan.

“Kalau dulu aku hanya bisa menangis, sekarang suaraku tak akan diam lagi,” katanya pelan, tapi penuh tekad.
Ia menatap foto dirinya bersama Andriani. “Kita nggak boleh kalah, Andri. Gadis baru gede harus bisa bicara, harus berani melawan.”

        Di bawah cahaya bulan, Asti tersenyum getir. Luka masa remajanya mungkin tak pernah hilang, tapi kini ia berdiri tegak, membawa suara untuk semua gadis yang pernah dipaksa diam.

                                                                                                                       18-10-2025; 17:25

Cerita Mini : Harus Bisa : Patuh Apa Takut?

 Cerita Mini True Story


 


   
                        Harus Bisa Nyanyi dan Nari: Patuh Apa Takut?

                                                                    Karya: Srisa

        Namaku Asti. Aku tinggal bersama Nanang dan Emak di rumah tua peninggalan keluarga di Tulungagung. Setiap hari, suara gamelan dari radio tua di ruang tengah seakan menjadi irama yang tak pernah berhenti dalam hidupku. Aku tumbuh di tengah keluarga yang mencintai seni—entah itu nyanyian keroncong, campur sari, atau tarian tradisional. 

“Asti, kamu nanti harus bisa nyanyi keroncong kayak Mbak Sundari Soekotjo, ya!” kata Nanang suatu sore, sembari menepuk-nepuk bahuku dengan bangga.
Aku hanya mengangguk kecil. “Iya, Nang… kalau Asti bisa.”
“Bukan kalau, tapi harus!” sahut Emak dari dapur. “Kamu itu darah seni, turunan dari ibu dan kakekmu. Nanti kalau ada pentas, Emak yang jahitkan bajunya.”

        Dulu, waktu aku masih TK, aku sudah dimasukkan ke Sanggar Tari Bagong Kusudiarjo. Aku masih kecil sekali—anggota termungil di antara para penari yang sudah bisa menari dengan gemulai. Tapi pelatihku selalu sabar. Setiap kali selesai pementasan, aku pasti digendongnya. Aku masih ingat betapa bangganya Nanang dan Emak melihatku menari Tari Batik di panggung Pabrik Gula Modjopanggoong.

        Sayangnya, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Pelatihku pindah ke Yogyakarta, dan aku dimasukkan ke Sanggar Tari Kembang Melati. Latihannya berat—harus menguasai tari klasik di awal aku belajar, yaitu Tari Klasik “Ragam” yang indah, lambat, dan harus benar-benar menjiwai gerak tarinya. Aku berusaha keras, tapi entah mengapa semangatku luntur.


“Mak, Asti kok nggak betah ya di sanggar itu. Latihannya susah dan orangnya banyak banget. Asti kayak nggak dianggap.”
Emak menatapku lama. “Kalau begitu, cari yang kamu suka, Nduk. Yang penting tetap menari.”

        Akhirnya, waktu SMP aku menemukan tempat yang membuatku jatuh cinta lagi—Sanggar Tari Tirto Kencono. Di sana aku bisa menari dengan bebas, penuh warna, seperti dulu. Tapi seiring waktu, aku mulai sadar bahwa hidup bukan cuma soal menari. Aku mulai ikut les Matematika, mempersiapkan diri untuk masa depan.

        Suatu hari, wali kelasku menunjukku ikut mengisi acara perpisahan sekolah.
“Asti, kamu nyanyi, ya. Lagu campur sari dan keroncong. Suaramu bagus!”
Aku kaget tapi senang. Aku berlatih keras dengan grup band Kalangbret, menyanyikan “Gethuk” dan “Melati dari Jaya Giri.” Ketika tampil di panggung, aku melihat Nanang dan Emak tersenyum dari barisan depan. Wajah mereka sumringah, seolah berkata ‘itu cucu kami!’

        Masuk SMA, hidupku berubah cepat. Aku ikut les Bahasa Inggris di Persahabatan English Course, les komputer, juga Bahasa Jepang. Aku mulai jarang menari, tapi sesekali tetap menerima job pentas karena permintaan keluarga. Namun suatu kali, aku mengikuti kompetisi pop singer se-Karesidenan Kediri bersama grup Walles ‘88.

        Saat pulang, Nanang tampak marah.
“Asti! Kenapa ikut lomba lagu pop? Keluarga kita itu penyanyi keroncong, bukan penyanyi pop!”
Aku menunduk. “Asti cuma ingin coba, Nang. Lagunya juga bagus, Asti dapat juara harapan satu, lho.”
Nanang mendengus pelan. “Juara bukan segalanya. Patuh itu yang penting.”

Aku diam. Entah aku patuh karena cinta atau karena takut mengecewakan mereka.

        Seiring waktu, aku berhenti menari. Aku mulai berkerudung dan lebih fokus pada kuliah di Surabaya. Tapi di sela-sela kuliah, aku tetap menyalurkan bakatku dengan ikut les organ bersama Kak Agung, kakak kelas jurusan Seni Rupa.
“Asti, kamu berbakat, lho. Sayang kalau berhenti. Tampil aja di pentas kampus nanti.”
Aku tersenyum tipis. “Lihat nanti, Kak. Aku takut keluarga nggak setuju.”

        Tapi waktu terus berjalan. Aku kehilangan satu per satu orang yang paling kucintai—Nanang, Buyut, Bapak, Emak, dan akhirnya Ibu.
        Aku duduk di depan rumah suatu sore, memandangi langit jingga yang perlahan meredup. “Asti belum sempat bikin mereka bangga sepenuhnya...” bisikku pelan.

        Kini aku sadar, mungkin dulu aku patuh bukan karena takut. Aku hanya terlalu ingin mereka bahagia. Kini, ketika semuanya telah tiada, aku ingin meneruskan semangat mereka dalam cara yang berbeda—dengan tetap mencintai seni, tapi juga mencintai diriku sendiri.

                                                                                                            Sampang, 18-10-2025; 16:35

KARYA ILMIAHKU: MAKALAH "BAPAK TULUS"

  MAKALAH BAHASA INDONESIA MENGEMBANGKAN APRESIASI PROSA BERTEMA KEHIDUPAN     Disusun oleh: Nama                               ...